Selasa, 01 April 2014

8Aksi Nyata Laurens Bahang Dama (LBD)

1.Diawal sebagai anggota DPR-RI, LBD ditugaskan Fraksi PAN di Komisi XI. Sesuai domain kerja komisi XI di bidang keuangan, perbankan, lembaga keuangan non bank dan moneter, ia dikenal sebagai anggota Komisi XI yang kritis dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu terlihat diberbagi isu-isu terkait Kementerian/Lembaga mitra. Salah satunya adalah disaat ia mewakili Fraski PAN sebagai anggota Pansus Bailout bank Century. Sebagai anggota Pansus, ia benar-benar kritis menyikapi kejahatan industri perbankan pada kasus Century. Kekritisan Laurens itulah yang membuat wajahnya acap kali tampil di layar kaca tv maupun halaman depan media cetak nasional sejak tahun 2010. 2.Di Komisi XI DPR-RI juga LBD acap kali mengkritisi kebijakan makro ekonomi yang tidak mencerminkan keberpihakan pada rakyat kecil. Kekritisannya sering menghiasi halaman media dan dalam rapat komisi. Dimomen-momen itu, LBD teguh menyuarakan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas, dimana peningkatan pertumbuhan ekonomi harus menekan tingkat tingginya pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. 3.Selama di Komisi XI, dari sisi legislasi, Laurens dan rekan-rekannya berhasil menghasilkan beberapa Undang Undang (UU) penting terkait sistem keuangan dan perbankan nasional, diantaranya UU nomor 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, dan beberapa UU yang saat ini menjadi prioritas di Prolegnas DPR-RI. 4.Selain sebagai anggota Komisi XI, di alat kelengkapan DPR-RI, Drs. Laurens Bahang Dama juga ditugaskan Fraksi PAN sebagai anggota Badan Anggaran DPR-RI dari tahun 2010-2012. Sebagai anggota Banggar, banyak hal terkait politik anggaran yang sudah diperjuangkannya. Khususnya terkait Dana Transfer daerah yang olehnya perlu juga dipertimbangkan aspek keterisoliran daerah. Selama ini, dana transfer daerah hanya menggunakan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah. Menurut Laurens, tingkat keterjangkauan atau keterisolasian juga harus menjadi variabel penentu jumlah anggaran transfer daerah. Usulannya ini pun menjadi catatan Kementerian keuangan dalam mengalokasikan dana transfer daerah (DAU&DAK). 5.Di Banggar juga Laurens bersama rekan-rekannya memperjuangkan anggaran percepatan pembangunan infrastruktur di Nusa Tenggara Timur sebesar 5,6 Triliun dari APBN. Usulan dan perjuangan melalui politik anggaran di Banggar inilah, dana percepatan pembangunan NTT telah menjadi review pemerintah pusat. 6.Selama menjabat sebagai anggota Banggar (2010-2012), ia pun terdepan mendorong terciptanya transparansi anggaran. Hal ini dalam rangka menciptakan politik anggaran yang sehat dan bersih di DPR. Berkat kinerja dan kredibilitas selama di Komisi XI inilah, ia diamanahkan Fraksi PAN sebagai Ketua Komisi V DPR-RI saat ini. Tentu diamanahkannya sebagai ketua komisi V itu, berdasarkan kualitas dan integritas LBD selama menjadi anggota DPR-RI. 7.Dengan amanah barunya sebagai Ketua Komisi V, ia memiliki ekspektasi besar terkait infrastruktur di daerah kawasan Indonesia Timur, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pasalnya, NTT dan kawasan Timur Indonesia lainnya hingga saat ini masih jauh tertinggal terkait ketersediaan infrastruktur vital. Olehnya itu, menurut LBD, melalaui kementerian mitra komisi V seperti Kementerian Perhubungan, PU, Perumahan Rakyat, Kementerian Daerah Tertinggal, akan didorong, agar prioritas program kementerian nya lebih banyak memperhatian NTT dan kawasan Timur Indonesia lainnya dalam segi pembangunan melalui MP3EI. 8.Salah satu wujud nyata dari kepedulianya terhadap pembangunan daerah adalah, mengadvokasi bantuan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) ke beberapa Kabupaten di NTT sebesar Rp.250 juta/desa dan program rumah swadaya sebesar Rp.7,5 juta/rumah di setiap desa. Tentu semua ini merupakan wujud dari kepeduliannya terhadap kondisi daerah dan masyarakat di NTT. Demikian pun program-program bantuan air bersih dan peralatan pertanian yang saat ini masih terus diperjuangkannya.

Selasa, 02 Juli 2013

Deskripsi Perjalanan Karir dan Pengabdian LBD

Sebelum menduduki Jabatan Sebagai Wakil Rakyat di DPR-RI Masa Bakti 2009-20014, Drs Laurens Bahang Dama (LBD) telah menapaki separuh hidupnya di dunia entrepreneurship. Di dunia ini (entrepreneurship), ia memualai karirnya sebagai staf biasa hingga menanjak ke posisinya saat ini. Namun ketangguhan dan keuletaninilah, ia mampu menekuni usahanya secara profesional hingga saat ini. Keterpurukan kondisi masyarakat dan daerah di NTT, adalah panggilan buatnya untuk terjun di ranah politik, dan pilihannya masuk Partai Amanat Nasional (PAN) diinspirasi oleh semnagat reformasi dan keteguhan perjuangan PAN bersama rakyat kecil. Akhirnya, pilihan jalan juang di PAN mengantarkanya sebagai wakil rakyat di Parlemen untuk memperjuangkan cita-cita daerah dan masyarakat NTT yang dicintainya. Berikut adalah rekam jejak Bapak Drs. Laurens Bahang Dama selama menjadi anggota DPR-RI Periode 2009-2010. Sebagai Anggota DPR-RI Komisi XI Diawal sebagai anggota DPR-RI, Drs. Laurens Bahang Dama ditugaskan Fraksi PAN di Komisi XI. Sesuai domain kerja komisi XI di bidang keuangan, perbankan, lembaga keuangan non bank dan moneter, Laurens terkenal sebagai anggota Komisi XI yang kritis dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu terlihat diberbagi isu-isu terkait kementerian/lembaga mitra. Salah satunya adalah disaat ia mewakili Fraski PAN sebagai anggota Pansus Bailout bank Century. Sebagai anggota Pansus, ia benar-benar kritis menyikapi kejahatan industri perbankan pada kasus Century. Kekritisan Laurens itulah yang membuat wajahnya acap kali tampil di layar kaca maupun halaman depan media cetak nasional sejak tahun 2010. Di Komisi XI DPR-RI juga Laurens acap kali mengkritisi kebijakan makro ekonomi yang tidak mencerminkan keberpihakan pada rakyat. Hal itu acapkali terlihat dimedia dan dalam rapat komisi. Dimomen-momen itu, ia teguh menyuarakan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas, dimana antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat pengurangan dan kemiskinan harus saling berbanding lurus. Selama di Komisi XI, dari sisi legislasi, Laurens dan rekan-rekannya berhasil memproduksi beberapa Unadang Undang (UU) penting terkait sistem keuangan dan perbankan nasional, diantaranya UU nomor 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, dan beberapa UU yang saat ini menjadi prioritas di Prolegnas DPR-RI. Sebagai Anggota Badan Anggaran Selain sebagai anggota Komisi XI, di alat kelengkapan DPR-RI, Drs. Laurens Bahang Dama juga ditugaskan Fraksi PAN sebagai anggota Badan Anggaran DPR-RI dari tahun 2010-2012. Sebagai anggota Banggar, banyak hal terkait politik anggaran yang sudah diperjuangkannya. Khususnya terkait Dana Transfer daerah yang olehnya perlu juga dipertimbangkan aspek keterisoliran daerah. Selama ini, dana transfer daerah hanya menggunakan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah. Menurut Laurens, tingkat keterjangkauan atau keterisolasian juga harus menjadi variabel penentu juamlah anggaran transfer daerah. Usulannya ini pun menjadi catatan Kementerian keuangan dalam mengalokasikan dana transfer daerah (DAU&DAK). Di Banggar juga Laurens bersama rekan-rekannya memperjuangkan anggaran percepatan pembangunan infrastruktur di Nusa Tenggara Timur sebesar 5,6 Triliun dari APBN. Usulan dan perjuangan melalui politik anggaran di Banggar inilah, dana percepatan pembangunan NTT telah menjadi telah menjadi review pemerintah pusat. Selama menjabat sebagai anggota Banggar, ia pun acap kali mendorong terciptanya transparansi anggaran. Hal ini dalam rangka menciptakan politik anggaran yang sehat dan bersih di DPR. Sebagai Ketua Komisi VI DPR-RI Berkat kinerja dan kridibilitas selama di Komisi XI inilah, ia diamanahkan Fraksi PAN khususnya Ketua Umum PAN Dr. Ir M. Hatta Rajasa sebagai Ketua Komisi V DPR-RI saat ini. Tentu diamanahkannya sebagai ketua komisi V itu, berdasarkan kualitas dan integritasnya selama menjadi anggota DPR-RI. Dengan amanah barunya sebagai Ketua Komisi V, ia memiliki ekspektasi besar terkait infrastruktur di daerah kawasan Indonesia Timur, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pasalnya, NTT dan kawasan Timur Indonesia lainnya hingga saat ini masih jauh tertinggal terkait ketersediaan infrastruktur vital. Olehnya itu menurut Laurens, melalaui kementerian mitra komisisi V seperti Kementerian Perhubungan, PU, Perumahan Rakyat, Kementerian Daerah Tertinggal, akan didorong agar prioritas program kementeriannya lebih banyak memperhatian NTT dan kawasan Timur Indonesia lainnya. Salah satu wujud nyata dari kepedulianya terhadap pembangunan daerah adalah, mengadvokasi bantuan Percepatan pembangunan infrastruktur Pedesaan (PPIP) ke beberapa Kabupaten di NTT sebesar Rp.250.000/desa dan program rumah swadaya sebesar Rp.7.500/ruma di setiap desa. Tentu semua ini merupakan wujud dari kepeduliannya terhadap kondisi daerah dan masyarakat di NTT. Sebagai Ketua Anggota MPR Sebagai anggota MPR, Drs. Laurens Bahang Dama pun secara rutin (6 kali/tahun) melakukan sosialisasi empat pilar bangsa, dalam rangka menumbuhkan pengetahuan dibidang : Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Sosialisasi 4 pilar bangsa ini secara rutin diselenggarakan di berbagai sekolah, ormas keagamaan, perguruan tinggi dan institusi sosial lainnya yang ada di NTT dan di daerah lain luar NTT. LBD dan Sorotan Media Selama menjadi anggota DPR, Laurens berkeyakinan bahwa politik gagasan adalah paradigma ideal baginya sebagai politisi yang bernilai. Dorongan inilah yang menjadikannya aktif menjadi nara sumber di beberapa media. Tulisan-tulisnnya (opini) pun kerap mengisi halaman surat kabar, baik di tingkat lokal (NTT) dan nasional. Selain itu, ia pun kerap menjadi narasumber di berbagai acara talk show, loka karya, seminar, simposium baik di tingkat lokal maupun nasional dengan berbagai materi dan isu terkait wilayah kerjanya sebagai anggota DPR-RI. Semua fase-fase yang dilewatinya ini merupakan komitmen nilai dalam berpolitik. Dengan berbagai cita-cita dan semangat pengabdiannya yang besar itu, tentu 5 tahun bukan waktu yang cukup untuk mewujudkannya. Dorongan yang sama pula menjadi panggilan baginya untuk maju kembali sebagai wakil rakyat (Caleg DPR-RI) Partai Amanat Nasional Dapil I NTT Nomor Urut 1. Atas segala perhatian dan do’anya, dengan kerendahan hati, kami datang kehadapan Bapak/Ibu/Sdr/i untuk meminta doa restu. Atas perhatiannya kami haturkan limpah terima kasih. Amin.

Senin, 05 Maret 2012

Ekonomi 2012, Masih Optimiskah Pemerintah?

Oleh : Drs. Laurens Bahang Dama


Wakil Mentri Keuangan Anny Ratnawati bulan lalu (Februari 2012) menegaskan, meski kita membatasi atau menaikkan harga BBM bersubsidi, namun kebijakan tersebut belum bisa membuat surplus APBN 2012. Pasalnya, saat ini harga minyak dunia terhadap harga minyak di Indonesia atau Indonesia Crude Prices (ICP) semakin mahal, demikian juga target kemampuan produksi minyak dalam negeri atau lifting kita yang semakin merosot.

Tidak hanya itu, potensi membengkaknya defisit pun sulit ditampik. Soalnya adalah, meningkatnya harga minyak dunia atau ICP akan berefek pada pengikisan anggaran dalam APBN. Akibatnya pemerintah terpaksa mencari sumber anggaran lain, untuk menyumbat besarnya pengeluaran atau pembiyaan defisit. Baik melalui pinjaman dan fasilitas lainnya sebagai bantalan anggaran untuk menopang APBN 2012.

Dengan kapasitas produksi atau pencapaian lifting pada tahun 2011 yang hanya 905.000 bph, jauh dari rasio kebutuhan minyak dalam negeri sebesar 1, 242 juta barel oil ekuivalen per hari. Itu berarti ketergantungan kita terhadap minyak impor saat ini adalah sebesar Rp. Rp.337.000 barel per hari (bph). Atau setara dengan 349,570,100,000. Itu artinya, apabila anggaran APBN yang ada saat ini bocor akibat terlampaunya harga minyak atau ICP dalam asumsi makro APBN 2012 dan kebocoran subsidi, yang berarti pemerintah harus mencari sumber anggaran tambahan.

Hal tersebut tentu akan berakibat pada membengkaknya defisit, karena Setiap kenaikan harga minyak 1 dollar AS per barrel di atas asumsi akan menambah defisit APBN Rp 0,8 triliun. Belum lagi dengan lifting yang lebih rendah, defisit akan bertambah. Sebab, setiap lifting lebih rendah 10.000 barrel per hari dari target, penerimaan migas akan lebih rendah Rp 2,7 triliun. Dengan demikian, anggaran yang ada dalam APBN tidak mencukupi dan berimbang dengan kecenderungan meroketnya harga minyak dunia.

Sebab eksternal

Dua hari lalu, tepatnya 20 Februari 2012, Iran memberhentikan penjualan minyaknya ke negara-negara kawasan Eropa sebagai bentuk konfrontasi Iran terhadap Amerika yang memboikot negara para mullah itu. Dalam hemat kita, kondisi ini akan memprovokasi harga minyak dunia terus meroket. Apalagi sampai diperparah dengan penutupan selat Harmoz yang menjadi jalur supply minyak di kawasan Timur Tengah. Implikasi langsungnya akan merangsak ke negara-negara produsen minyak termasuk Indonesia. Pasalnya hingga saat ini, kita masih bergantung pada minyak impor, akibat target pencapaian lifting kita yang hingga saat ini masih belum mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri.

Dalam asumsi makro APBN 2012, pemerintah menargetkan pencapaian lifting kita sebesar 950 000 bph. Sementara lifting yang dicapai tahun 2011 baru 905. 000 bph. Artinya, kinerja industri perminyakan kita harus digenjot kemampuan produksinya untuk menyumbat kekuarangan target lifting sebesar 45.000 bph. Di kondisi yang lain, beban APBN untuk jenis bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pun berpotensi menggerus APBN. Pasalnya fasilitas subsidi yang mestinya diperuntukkan bagi rakyat kecil itu pun cenderung salah sasaran. BBM bersubsidi selama ini lebih banyak digunakan oleh orang-orang mampu termasuk sektor industri. Akibat tidak tepat sasarannya subsidi tersebut, APBN terbebani dan tergerus dari tahun ke tahun.

Saat ini, kita masih dalam kondisi yang kurang fit dalam menghadapi meroketnya harga minyak dunia. Mahalnya harga minyak jenis pertamax akibat krisis minyak dunia, membuat semua kelas masyarakat termasuk kelas menengah ke atas beralih ke BBM jenis premium (bersubsidi).

Tentu kita faham, bahwa bila penggunaan BBM bersubsidi melampaui kapasitas yang disediakan pemerintah, maka pastinya APBN kita terpaksa harus jebol lagi, untuk menyumbat kemungkinan menipisnya stok BBM bersubsidi. Itu pun jika kita masih memiliki kapasitas anggaran yang mencukupi. Jika tidak, maka pemerintah berhutang lagi. Dan itu berarti celah defisit dalam APBN akan melebar. Dalam UU APBN 2012, defisit kita tidak boleh lebih 3 persen. Namun jika kita lihat, potensi membesarnya defisit itu ada di depan mata, bahkan bila tanpa road map yang jelas terhadap harga minyak, bisa-bisa angka defisit kita melebihi 3 persen dari APBN 2012. Ditahun 2012 ini, kuota BBM bersubsidi yang disiapkan pemerintah dalam APBN 2012 adalah 40 juta kilo liter BBM Premium, atau setara dengan Rp 123,599 triliun. Stok dana ini berkemungkinan terus menipis, seiring membengkaknya subsisidi yang salah sasaran, naiknya harga minyak dunia terhadap ICP serta lifting yang tidak memenuhi target.

Road map baru pemerintah

Menurut data Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas, kuota konsumsi BBM bersubsidi sepanjang kuartal I-2011 hanya 9,1 juta kilo liter (dari total kuota BBM subsidi menurut APBN 2011 sebesar Rp 38,5 juta KL). Namun, ternyata saat itu, konsumsinya mencapai 9,6 juta kilo liter. Jumlah konsumsi naik 6,6% dibandingkan dengan konsumsi diperiode yang sama tahun lalu (2010) yang hanya mencapai 9,08 juta kilo liter. (Kontan, 16/4).

Logikanya, bila ekspektasi masyarakat untuk membeli kenderaan bermotor semakin besar dalam kurun waktu kuartal II-III 2011 saja, maka stok BBM bersubsidi kita akan terkikis perlahan-lahan. Ditambah lagi selama kuartal I-2011, produksi minyak mentah Indonesia merosot menjadi 22.500 barel per hari. Demikian juga lifting minyak selama 2011 yang hanya berkisar 905.000 bph. Jauh dari asumsi makro APBN 2011 sebesar 970.000 bph.

Belajar dari besarnya beban subsidi yang kemudian tidak tepat sasaran pada tahun 2011 itu, maka saat ini pemerintah mesti ekstra hati-hati dalam memanfaatkan dana subsidi pada APBN 2012, karena jika kita telaah, risiko-risiko terkait potensi tergerusnya anggaran subsidi tersebut ada di depan mata. Mulai dari meroketnya harga minyak dunia terhadap Indonesia atau ICP, hingga target produksi minyak mentah dalam negeri atau lifting yang tidak mencapai target asumsi APBN 2012.

Dengan dua kondisi tersebut, maka sejatinya pemerintah sudah memiliki road map terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Termasuk regulasi terhadap kompensasi BBM, manakalah pemerintah pada akhirnya menaikkan harga BBM. Demikian juga sudah saatnya pemerintah memiliki road map terkait diversifikasi atau mencari energi alternatif untuk meminimalisasi ketergantungan terhadap sumber energi minyak. Demikian pun upaya pemerintah untuk meningkatkan tingkat produktifitas sumur minyak untuk mencapai target lifting. Jika tidak, pemerintah akan terjebak, dalam pesimisme yang tak berakhir ditahun 2012 ini. []

Selasa, 17 Januari 2012

PBI Nomor 13 Tahun 2011 Belum Responsif

Peraturan Bang Indonesia No 13 Tahun 2011 saat ini belum responsif menanggapi berbagai fakta kekerasan terhadap pemilik kartu kredit. Pasalnya, PBI yang diharapkan menjadi pemecah masalah terhadap fenomena kekerasan oleh debt collector malah menjadi tidak jelas juntrungannya.

Kerancuhan tersebut dapat dilihat dari penggunaan alih daya yang porsinya diberikan pada tugas penunjang atau pendukung usaha perbankan malah dianeksasikan pada tugas pokok perbankan (lihat bagian penjelasan pada PBI No 13 Th 2011).

Penjelasan ini bertentangan dengan Pasal 4 bahwa : Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan
pendukung usaha Bank.

Sejatinya, kegiatan penagihan kredit merupakan bagian inheren dari tugas pokok perbankan yang berdasarkan UU ketenagakerjaan tidak boleh di outsourcing. Sementara oleh salah satu Diputi Gubernur BI pada RDP dengan Komisi XI DPR RI pada tanggal 17 Jan 2011 menjelaskan bahwa alih daya boleh digunakan pada untuk kredit bermasalah. Dengan penjelasan ini, maka BI belum sungguh-sungguh mencari jalan terbaik untuk melindungi nasabah dari kebanalan debt collector yang bukan lagi menjadi rahasia umum.

Kendatipun demikian, dalam bab penjelasan PBI tersebut masih terkesan rancuh dan tidak menukik pokok soal secara kontekstual Hal itulah yang membuat saya begitu "kekeh" mempersoalkan pasal terkait "alih daya" sebagaimana yang juga dipersoalkan oleh anggota DPR Komisi XI lainnya.

Sejak kasus kematian Irjen Octa di kantor City Bank, berbagai pihak ramai memperbincangkan prinsip kehati-hatian perbankan dalam melakukan pelayanan pada konsumen. Demikian juga kasus penganiayaan debt collector terhadap nasabah kartu kredit Bank UOB Muji Harjo. Muji memiliki utang kartu kredit di bank UOB senilai RP 12 juta, karena belum mampu bayar, ia dianiaya debt collector hingga menaggung beban perawatan akibat aniaya sebesar Rp 70 juta. Dan tentu berbagai tindakan kekerasan lainnya oleh debt collector yang perlu dijawab komprehensif oleh PBI No 13 Tahun 2011.

Dalam kesempatan yang sama, Komisi XI DPR RI menekankan agar BI sebagai otoritas regulasi perbankan, harus memiliki devisi khusus untuk melayani pengaduan konsumen perbankan. Pasalnya, selama ini, pengaduan konsumen atau nasabah atas pelayanan bank, tidak terselesaikan dengan baik. Padahal ini tugas BI. Dalam kasus Muji misalnya, ia sudah menulis surat pengaduan kepada Gubernur BI (Darmin Nasution), tapi pengaduan tersebut tidak digubris, akibatnya Muji menulis surat terbuka di www.kompasiana.com.

Akibat belum jelasnya PBI No 13 Th 2011 dalam meng-cover berbagai persoalan buruknya pelayanan bank terhadap konsumen (nasabah), maka Komisi XI DPR RI pun menunda pembahasan terkait PBI dan dilanjutkan setelah adanya perbaikan komprehensif terhadap PBI No 13 Tahun 2011. []

Kamis, 12 Januari 2012

Defisit Kemanusiaan dan Musim Radikalisme Rakyat

NTT Online News
Jumat, 06 Januari 2012 23:40
Oleh Laurens Bahang Dama
(Anggota DPR-RI Periode 2009-2014)


Diakhir tahun 2011 yang lalu, ada sederet panjang peristiwa kekerasan yang memilukan bangsa ini. Dari peristiwa Masuji-Sumatera Selatan hingga petaka berdarah yang terjadi di Bima-Nusa Tenggara Barat (NTB). Peristiwa demi peristiwa ini, seakan menggambarkan defisitnya takaran nilai kemanusiaan Bangsa ini.
Bahkan defisit nilai kemanusiaan itu, seakan mematenkan bahwa polisi sebagai alat negara, terlihat garang dan banal terhadap rakyat yang seharusnya diayomi dan dilindungi.

Kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan juga terlihat melembaga di institusi kepolisian. Hal ini dapat dilihat dari begitu mudahnya aparat polisi memuntahkan peluru tajam mematikan dalam penanganan berbagai aksi masa belakangan ini.

Jika kita timbang-timbang, maka polisi sebagai alat negara, sejatinya juga pandai memainkan instrument-instrumen sosial dalam menyikapi berbagai aksi massa (dalam bentuk apapun itu) dari pada menggunakan instrument militeristik yang mematikan. Instrumen sosial dimaksud adalah, lebih menggunakan cara-cara persuasif dengan berbagai alternatif pendekatan sosial-humanistik.

Sebagai elemen Kamtibmas, mestinya polisi lebih pandai menguasai pendekatan sosiologis dalam memenej dan meredam berbagai potensi konflik yang menggejala di masyarakat. Yang kita lihat dari berbagai penanganan polisi terhadap aksi massa, terutama dua peristiwa yang terjadi diakhir tahun 2011, polisi seakan memposisikan diri sebagai bagian koorporasi dan mengambil posisi vis a vis dengan masyarakat. Pertanyaannya, polisi berpihak ke siapa? Rakyat? Atau korporasi?

Dalam berbagai terstimoni yang dipublikasikan berbagai media, sejak konflik penguasaan atas tanah rakyat Masuji dan sekitarnya, serta penolakan rakyat Bima terhadap keberadaan tambang, polisi acap kali mengintimidasi bahkan menggunakan kekerasan untuk mengusir masyarakat yang kekeh memperjuangkan haknya.

Apapun caranya, sejak POLRI dipisahkan dari kelembagaan ABRI, maka secara fakta maupun juridis, watak kemiliteran polisi pun berfusi menjadi cenderung sipilistik. Paradigma kepolisian tidak lagi menggunakan cara-cara represif, tapi lebih pada pendekatan sosial humanis.

Dengan terpisahnya polisi dari kelembagaan ABRI, maka wajah polisi yang militeris seharusnya bermetamorfosa menjadi cenderung sipilis. Tuntutan reformasi kepolisian sekaligus menjadi bagian inheren menuju proses transisi demokrasi itu, rupanya tidak mampu dijiwai institusi kepolisian secara seksama. Akibatnya, wajah polisi hari ini tak ubahnya seperti monster pembunuh yang menakutkan. Kondisi ini terjadi, dan semakin menggeliat di tengah harap cemasnya kita terhadap diterimanya kembali polisi di tengah-tengah masyarakat pasca reformasi.

Musim Radikalisme

Anarkisme masyarakat Masuji dalam mempertahankan hak tanah ulayat, dan penolakan keras masyarakat Bima-NTB terhadap keberadaan pertambangan emas, adalah fakta, bahwa persekongkolan penguasa daerah dan koorporasi kini mendapat pertentangan keras dari rakyat.

Bagi pemerintah, potensi alam adalah modal (capital) sementara bagi rakyat, potensi alam adalah kehidupan dan masa depan (future). Pemerintah melihat potensi alam secara instan-kapital, sementara masyarakat setempat melihat alam dengan orientasi nilai, yang tidak saja bertumpu pada pendekatan dan kerakusan material an sich.

Cara pandang masyarakat agraris terhadap alam ini, sudah terbentuk sekian lama. Bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada alam, kekayaan alam tidak saja menjadi relasi fungsional materialistik, tapi sekaligus sebagai relasi fungsional_spiritual. Alam tidak lagi dilihat sebagai obyek, tapi merupakan subyek kehidupan. Maka alam pun acapkali didekati secara etik. Tidak bringas dan dieksploitasi secara rakus. Bahkan dijaga, dirawat dan dilestarikan. Karena alam tidak saja menjadi hamparan ruang, tapi juga menjadi ruh kehidupan. Cara pandang masyarakat terhadap alam yang demikian, telah dipertahankan selama berabad-abad.

Pertentangan antara paradigm alam yang materialistik dengan paradigm etik inilah, yang membuat pemerintah terjebak dalam kerakusan dan keserakahan. Bahkan rela merampas hak-hak rakyat, mengintimidasi dan membunuh sekalipun. Petaka berdarah di Masuji-Sumsel dan Bima-NTB contohnya.

Dengan cara pandang demikian, maka pemerintah dan rakyatnya terposisikan dalam dua kubu pertentangan eksterm yang sulit dilerai. Semakin ekspansif pemerintah daerah ingin menopang kapasitas fiskalnya dengan memberikan ruang eksplorasi pertambangan tanpa peduli pada hak-hak rakyat, maka semakin masif pula radikalisme perlawanan rakyat terpupuk.

Hal ini yang tidak disadari pemerintah. Kendatipun apa yang dilakukan pemerintah terkait pertambangan bertujuan baik, namun ketika disaat yang sama terjadi peminggiran hak rakyat maka maka radikalisme perlawanan akan menjadi bom waktu yang setiap saat akan meledak.

Namun nyatanya, potensi-potensi konflik ini tidak didalami pemerintah, bahkan pemerintah semakin liar mengeskplorasi kekayaan alam tanpa peduli terhadap masyarakat sekitar. Inilah musim radikalisme rakyat. Bila hal ini dibiarkan, maka tidak heran, bila peristiwa seperti Masuji dan Bima akan berulang.

Cara pandang pemerintah terhadap alam sudah saatnya dirubah. Rakyat tidak lagi dijadikan obyek pelengkap penderita, alam tidak lagi dilihat sebagai modal (capital) an sich. Rakyat mesti menjadi titik tolak setiap kebijakan dan bisnis pemerintah. Khususnya terkait bisnis-bisnis pertambangan yang bersinggungan dengan hak vital rakyat. Jika tidak, maka kekerasan dan radikalisme akan menjadi musiman. ***

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial

Minggu, 04 Desember 2011

Rakernas PAN dan Road Map Baru Indonesia

Oleh : Laurens Bahang Dama
(Anggota DPR-RI Periode 2009-2014 Fraksi PAN)


Tanggal 10-11 Desember 2011, Partai Amanat Nasional menyelenggaran Rapat Kerja Nasional dan Silaturahim Nasional (Rakernas & Silatnas). Rakernas ini momentum besar dan tentu juga akan membahas isu-isu nasional yang juga berskala besar. Paling tidak, Rakernas kali ini PAN bisa mendorong beberapa aspek kebijakan yang tidak saja berkaitan dengan elektabilitas PAN di pemilu 2014, tapi juga berkaitan dengan kondisi kekinian bangsa, baik menyangkut kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Rakernas kali ini, tidak saja menjadi sebuah kerumunan akbar atau rutinitas organisasi belaka, tapi harus menjadi peta restorasi Indonesia. Ataupun menjadi road map untuk mengukuhkan Indonesia baru yang berdaulat secara ekonomi dan politik.

Jauh sebelum perhelatan ini, melalui desain forum publik, PAN telah mendorong beberapa isu aktual terkait aspek ekonomi dan hukum serta good governances. Diantaranya adalah soal renegoisasi kontrak karya (KK) pertambangan dan soal road map baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Hematnya, dua isu ini menjadi strategis, karena bersentuhan langsung dengan sisi vital kebernegaraan kita.

Isu renegoisasi

Dari soal renegoisasi misalnya, selama ini banyak KK pertambangan yang tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap negara, tapi masih dibiarkan bereksplorasi di Indonesia. Pemerintah terkesan lemah dan tak berdaya dihadap para kapitalis asing yang melakukan hegemonisasi di sektor energi ini.

Mestinya, berbagai koorporasi yang menjalankan bisnis ekstraktif di Indonesia, memberikan royalti sesuai ketentuan aturan yang berlaku. Dan negara berhak tegas bahkan bila perlu melakukan pemaksaan bagi koorporasi-koorporasi transnasional yang selama ini lalai dalam memberikan royalti pada pemerintah. Kita ambil contoh Friport, dalam PP No 45 Tahun 2003 tentang tari penerimaan negara baik pajak atau PNBP, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen. Namun, dari Friport McMorran, pemerintah menerima royalti hanya sebesar 1% dan hingga saat ini belum berani melakukan renegoisasi.

Momentum Rakernas PAN kali ini, diharapkan dapat mendorong agenda besar ini, karena persoalan renegoisasi tidak saja pada soal penerimaan negara di sektor Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tapi juga berkait harga diri sebagai sebuah bangsa. Lagi pula bisnis ekstraktif ini, berkaitan erat dengan masa depan keekologian Indoensia yang berarti berkaitan dengan masa depan anak cucu di negeri ini.

Kerusakan lingkungan (ekologis) dan terjadinya pemusnahan sistematis terhadap keanekaragaman hayati, sudah pasti terjadi di balik bisnis ekstraksi ini. Olehnya itu, persoalan renegoisasi ini harus di-endorse dalam Rakernas PAN kali ini, menjadi agenda besar yang perlu diperbincangkan. Masa depan ekologi kita, juga bergantung pada seberapa besar koorporasi-koorporasi di sektor ekstraktif itu bertanggungjawab terhadap lingkungan setelah melakukan eksplorasi pertambangan.

Bermarwah tidaknya rakernas kali ini, bergantung pada seberapa greget-nya PAN mendorong isu-isu penting yang berkait langsung dengan kepentingan negara dan masyarakat saat ini. PAN harus berani memberikan satu rekomendasi pada pemerintah untuk mendorong berbagai koorperasi sektor ekstraktif untuk memberikan royalti pada negara sesuai ketentua Undang Undang, bahkan bila perlu mencabut izin eksplorasi bagi koorporasi-koorporasi tertentu yang enggan melakukan renegoisasi KK pertambangan. Demikian juga, perlu di dorong terbentuknya payung hukum baru yang lebih progresif dan radikal untuk menetapkan road map pemberantasan korupsi di Indonesia

Isu road map pemberantasan korupsi
Selain soal renegoisasi KK pertambangan, PAN juga dalam beberapa waktu ini melalui beberapa forum publik, menggelar diskusi seputar road map pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam kaca mata PAN, KPK saat ini tidak lebih dari sebatas melakukan kontestasi atau selebrasi pemberantasan korupsi. Dari soal perseteruan KPK dan DPR hingga statemen-statemen berdimensi conflict of interest yang tidak berimplikasi terhadap pemberantasan korupsi yang sering diucapkan Ketua KPK.

Dalam hemat PAN, pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini, harus berimplikasi terhadap peningkatan penerimaan negara. Olehnya itu KPK harus fokus pada pemberantasan korupsi yang berkaitan dengan penerimaan negara, terutama korupsi pajak dan investasi obligasi yang saat ini belum dijamah KPK. Padahal di ranah potensi korupsi di ranah ini nilai triliunan rupiah.

Olehnya itu, KPK sejatinya lebih fokus pada kasus-kasus korupsi besar dari pada melakukan sleberasi pernyataan yang tidak penting. Hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI), yang digelar pada 1-15 Oktober lalu pun cukup mencengangkan. KPK, yang diharapkan menjadi terobosan dalam sistem hukum Indonesia saat ini, ternyata mendapat angka ketidakpuasan paling tinggi. Sekitar 42,7 persen publik dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi mengatakan tidak puas terhadap kinerja KPK. (Rakyat Merdeka Edisi 02 November 2011).

Berkaca dari kondisi ini, maka PAN sejatinya menjadi lokomotif utama dalam mendorong road map baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Konkretnya, dalam Rakernas yang dihadiri kader PAN seluruh Indonesia ini, melahirkan rekomendasi progresif untuk mengawal road map baru pemberantasan korupsi di Indonesia.

Problem akut Indonesia saat ini adalah korupsi. Bahkan boleh dibilang, korupsi di Indonesia saat ini sudah endemik. Korupsi tidak lagi terjadi secara partikular, tapi sudah semakin massif dan sistemik. Hemat kita, saat ini setiap lokus anggaran negara telah diciptakan lubang-lubang koruptif yang memprihatinkan. Kasarnya, ini upaya pembangkrutan Indonesia secara sistemik.

Dua isu besar di atas, harus terserap dalam perhelatan Rakernas kali ini. Karena berbicara tentang Indonesia, dalam konstelasi kekinian, tidak terlepas dari dua isu besar di atas. Isu renegoisasi dan road map baru pemberantasan korupsi adalah berkaitan dengan nafas bangsa ini.

Kita tidak bisa membiarkan pengurasan hasil bumi negeri ini dan juga membiarkan keuangan negara terus digrogoti dari segala sektor. Rakernas PAN kali ini, akan bermarwah, ketika Rakernas ini mampu menggelontrokan isu-isu besar terkait masa depan negeri ini dari berbagai dimensi. Terutama di sektor energi yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, serta pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi.

Road map Indonesia baru adalah menuju sebuah tatanan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi. Pilar ekonomi dan politik akan berdiri tegak, manakala pemerintahan yang bersih dapat diwujudkan disegala sektor. Sikap politik PAN dalam Rakernas kali ini adalah berpijak pada road map Indonesia baru dimaksud. Kita yakin, bila komitmen ini diperjuangkan, PAN akan tetap memiliki tempat di hati rakyat Indonesia. Semoga. []

Rabu, 16 November 2011

Komodo dan Masa Depan Ekonomi Masyarakat Lokal

(Oleh : Laurens Bahang Dama)


Kita berharap lolosnya Komodo sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia oleh lembaga New 7 Wonders, menjadi angin baik bagi masa depan ekonomi masyarakat lokal. Paling tidak, keberadaan komodo dikancah internasional memberikan “market values” bagi perbaikan ekonomi masyarakat setempat. Terutama di sektor kepariwisataan.

Dalam hemat saya, tujuan pokok dari memperjuangkan Komodo sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia, berkorelasi dengan perbaikan nasib ekonomi masyarakat lokal. Olehnya itu, hal lain yang juga perlu di-endorse adalah adanya infrastruktur pendukung untuk menjadikan pulau Komodo sebagai salah satu sentra kepariwisataan di Indonesia.

Implikasi dari dukungan infrastruktur di pulau Komodo tersebut, akan mendorong investor baik lokal maupun asing untuk memperluas investasi di sektor kepariwisataan. Semakin massif-nya investasi, paling tidak, akan berdampak pada bergeraknya sektor ekonomi lokal masyarakat setempat.

Olehnya itu, dalam hemat saya, seiring masih hangatnya orang memperbincangkan popularitas Komodo, maka disaat yang sama, pemerintah baik daerah maupun pusat, perlu melakukan akselerasi pembangunan yang dapat bersinergi dengan daya dorong ekonomi di pulau Komodo dan Kabupaten Manggarai Barat khususnya.

Akselerasi pembangunan infrastruktur tersebut misalnya, terkait dengan landas pacu lapangan terbang, pelabuhan dan jalan darat. Komponen vital ini akan menjadi salah satu pendorong utama bagi kelancaran investasi di sektor kepariwisataan.


Terkait dengan itu, maka pemerintah daerah pun saatnya mulai responsif melihat peluang-peluang pasar disektor kepariwsataan yang bersinergi dengan iconaklisme Komodo. Dengan demikian keberadaan Komodo mampu memberikan “benefit image” bagi pertumbuhan ekonomi di sektor kepariwisataan Kabupaten Manggarai Barat.

Dalam pandangan saya akselerasi pembangunan infrastruktur penunjang tersebut mulai bersinergi dengan pemafaatan anggaran baik APBD maupun dana perimabangan (DAU dan DAK) secara korelatif dengan gagasan menjadikan Pulau Komodo sebagai salah satu destinasi kepariwisataan. Olehnya itu skala prioritas pemerintah adalah mulai meng-cretae alokasi anggaran pembangunan sesuai dengan konsepsi di atas. Tanpa policy yang demikian, keberedaan Pulau Komdo tidak akan mampu mendorong roda perekonomian lokal secara signifikan.

Harapan kita untuk pemerintah pusat adalah, tidak berhenti pada tataran simbolik, dengan menjadikan popularitas Komodo sebatas icon atau popularitas simbolik. Pemerintah pusat, sejatinya melihat keberadaan pulau Komodo secara prospektif ekonomis. Dengan demikian, perhatian dan prioritas untuk melihat Keberadaan Komodo pun menjadi lebih konstruktuif ekonomis. Dengan cara pandang yang demikian, maka pemerintah pusat pun secara mati-matian menjadikan Pulau Komodo di NTT sebagai salah satau sumber daya ekonomi yang mumpuni.

Kita berharap, janji presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk mengucurkan bantuan sebesar Rp. 5,3 trilun diawal Februari 2011 itu segera terwujud dalam rangka merevitalisasi ekonomi NTT, teri-nclude di dalamnya adalah di sektor kepariwisataan Pulau Komodo. Tentu masyarakat NTT menunggu janji itu. Dan semoga bukan pepesan kosong belaka.

Harapan untuk menjadikan Komodo sebagai pilar bergeraknya sumber daya ekonomi lokal itu tentu bukan harapan yang main-main, tapi sebaliknya harapan besar masyarakat NTT dan khususnya masyarakat Manggarai Barat yang berada di Pulau Komodo. Kita berharap semoga pemerintah pusat maupun daerah, benar-benar responsif terhadap nama besar Komodo disatu sisi dan menjadikan Komodo sebagai salah satu sumber daya ekonomi di sisi yang lain. ***