Rabu, 12 Oktober 2011

Distribusi BBM Bersubsidi yang Berkeadilan

Oleh : Drs Laurens Bahang Dama


Saat ini hamper 59 distribusi BBM bersubsidi berada di kawasan Jawa dan Bali. Dan 53 persen dari 59 persen itu digunakan oleh kenderaan pribadi roda empat. Ada dua dimensi keadilan yang perlu ditelaah lebih jauh. Misalnya, distribusi keadilan per wilayah. Daerah-daerah terpinggir dan terbelakang, selama ini hanya mendapat sedikit dari alokasi distribsui BBM bersubsidi secara nasional.

Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, hanya mendapat 2% dari alokasi BBM bersubsidi setiap tahun. Demikian juga dengan daerah di luar Jawa dan Bali, jatanya sangat kecil. Dari dimensi keadilan peruntukkan pun demikian. Selama ini, 53 persen alokasi subsidi diterima oleh orang-orang yang terkategori mampu. Hal ini menggambarkan bahwa subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran dan dibiarkan tanpa pengendalian ekstra ketat. Lalu untuk siapa subsidi?

Dalam RAPBN 2012, pemerintah mengusulkan alokasi BBM bersubsidi adalah 40 juta kilo liter. Angka ini kemudian berubah menjadi 37,8 juta kilo liter setelah tarik menarik saat sinkorinisasi di Badan Anggaran DPR.

Angka alokasi subsidi 37,8 juta kilo liter ini menurut pemerintah adalah angka yang sudah cukup realistis, dengan menjangkarkan asumsi pada nilai tukar rupiah terhadap USD sebesar 8.800 serta Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 90 USD per barel/hari, berikut asumsi volume penggunaan BBM bersubsidi sekitar 8 persen selama lima tahun terakhir. Kendatipun demikian, angka tersebut belum bisa menjamin tidak terjadinya kebocoran subsidi dari tahun ke tahun, bila pemerintah tak mampu menawarkan program-program pengendalian yang radikal.

Pembiaran
Meski pemerintah menyediakan porsi cadangan fiskal sebesar 2,5 juta kilo liter untuk tahun depan, namun bila potensi kebocoran itu mengalami pembiaran, maka bisa jadi cadangan fiskal yang diporsikan itu tidak mampu membendung kebutuhan BBM bersubsidi akibat kebocoran atau yang tidak tepat sasaran.

Sesuai data BPH Migas, menunjukkan sejak Januari hingga Agustus 2011, telah terjadi 166 kasus penyelewengan BBM bersubsidi di seluruh Indonesia. Sampai 31 Agustus ada 166 kasus penyelewengan, dari jumlah tersebut 130 kasus masuk penyelidikan, 27 kasus masuk tahap P-21 dan sembilan kasus masuk dalam persidangan. Data ini menunjukkan bahwa peran pemerintah untuk pengendalian penggunaan BBM bersubsidi tidak berjalan maksimal. Pertanyaannya, apa bisa pemerintah melakukan efisiensi?

Bila kita cermati, tawaran-tawaran yang direkomandasikan pemerintah terkait alokasi BBM bersubsidi dalam RAPBN 2012 bersifat pengualangan semata. Misalnya, pemerintah mengusulkan bahwa, untuk mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi pada RAPBN 2012, maka diperlukan kerjasama lintas sektoral, terutama pemerintah daerah dan Kepolisian.

Padahal, solusi yang sama pernah diterapkan tahun lalu, tapi tidak mampu menyumbat kebocoran penggunaan BBM bersubsidi. Dengan demikian, politik pembiaran agar terjadi pembengkakan penggunaan BBM bersubsidi yang semakin besar dari tahun ke tahun ini dipertahankan hanya kerana menjaga pencitraan dan populisme sempit. Mestinya pemerintah realistis, bahwa menaikkan harga BBM jenis premium memiliki dimensi solutif, dari pada membiarkan kuota subsidi dalam APBN terus terkikis untuk orang-orang yang tidak berhak..

Fokus pada pengendalian
Padahal, jika kuota subsidi BBM dalam postur APBN itu terus tergerus dan berimplikasi pada inefisiensi, justru hal ini akan merugikan rakyat. Karena bila cadangan kuota BBM bersubsidi terkikis dalam postur APBN, sementara penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran itu tarsus berlangsung, maka efek pembengkakan itu akan berakibat pada tersunatnya pos anggaran lain semisal anggaran belanja modal dan pos belanja lain yang berhubungan dengan ekonomi riil.

Dari sinilah kemudian kita berharap, pemerintah tidak serta-merta fokus pada angka subsidi semata, tapi lebih fokus pada kualitas pengendalian terhadap penggunaan BBM bersubsidi di lapangan yang selama ini salah sasaran. Karena berapa pun BBM bersubsidi dialokasikan, tapi jika potensi kebocoran dibiarkan terus menggeliat, maka hal tersebut justru akan menjadi beban APBN.

Demikian juga kita berharap, dimensi keadilan perlu diperhatikan, terutama dalam segi keadilan distribusi, khususnya untuk daerah di luar Jawa dan Bali, porsinya harus berada di porsentase angka yang wajar dan adil. Lebih penting lagi, bila efisiensi subsidi BBM dapat dilakukan pemerintah, maka sebaiknya disubsidi ke sektor pendidikan, karena sebaik apapun infrastruktur, bila tidak dimbangi kapasitas sumber daya manusia, maka hasil tetap nol besar. ***

Minggu, 02 Oktober 2011

Indonesia di Ambang Krisis

Drs Laurens Bahang Dama
Oleh : Drs Laurens Bahang Dama

Anjloknya perekonomian Eropa, secara tidak langsung menghambat tatanan ekonomi dunia. Kondisi ini juga dikhawatirkan oleh kalangan pengamat beberapa hari terakhir (Sept 2011) akan berpengaruh ke Indonesia tahun depan (2012). Di tengah keluh-kesahnya pengamat dan pelaku pasar itu, pemerintah masih optimis, bahwa stabilitas ekonomi terutama di sektor pasar uang masih terjaga.

Namun disaat yang sama, aliran modal asing atau capital inflow yang selama ini menjadi topeng optoptimisme  pemerintah itu, perlahan-lahan mulai menyusut keluar. Rupiah pun beberapa hari terakhir mulai anjlok hingga nyaris mendekati di atas Rp. 9000. Jika kondisi ini terjadi secara kontinyu, maka pemerintah bisa ketar-ketir bila sewaktu-waktu gonjangan pasar uang itu terjadi secara masif di segala lini industri  pasar uang.

Memang, selama ini, pemerintah berdalih, bahwa ketersediaan dana Sisa Anggaral Lebih (SAL) akan dijadikan sebagai sumber pembiayaan apabila terjadi kekisruhan di ranah pasar uang yang berkemungkinan menyumbat laju pertumbuhan ekonomi. Demikian pun BI yang saat ini mengambil langkah untuk membeli kembali Surat Utang Negara (SUN)  untuk menjaga stabilitas pasar valas dan SUN. Akan tetapi sampai berapa lama hal tersebut bisa dilakukan BI dan pemerintah, bila krisis ekonomi Eropa itu berlangsung dalam waktu lama dan menggeliat serta berpengaruh pada sektor-sektor non moneter?

Selama ini, derasnya arus modal asing, belum benar-benar dimanfaatkan untuk investasi langsung yang bersinggungan dengan sektor riil. Akibatnya, dengan menggunungnya aliran modal asing itu, tak mampu menambah penguatan ekonomi nasional. Malah sebaliknya, pemerintah dan Bank Sentral dibuat was-was terkait kemungkinan sudden reversal atau terjadi arus balik modal asing secara tiba-tiba dan serentak. Lalau apa manfaat menggunungnya modal asing itu selama ini?

Artinya, kita hanya menimbun arus modal asing itu tanpa memanfaatkannya. Pasalnya, selama ini pemerintah belum bisa membuktikan hasil konkret aliran modal asing ke Indonesia itu kepada publik. Terutama dalam sektor riil ekonomi. Demikian pun, selama ini kita hanya mendengar dan membaca di media, bahwa cadangan devisa membaik dan inflasi tetap terjaga dengan derasnya capital inflow, tapi suatu pembuktian empirik terkait efek positif capital inflow terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi riil belum terlihat nyata.

Belajar dari Krisis 2008

Yang saya khawatirkan adalah, dengan berpaku pada ketahanan modal asing dan gonncangan pasar global, malah menggerus konsentrasi pemerintah. Pasalnya, terkait kondisi ekonomi nasional secara faktual, menarik perhatian pemerintah untuk rame-rame berbicara tentang keamanan pasar uang.

Lagi-lagi kekhawatiran kita adalah, bila seluruh sumber daya ekonomi di Indonesia, dipaksakan pemerintah untuk mengamankan sektor pasar uang yang pada akhirnya menimbulkan kebocoran ekonomi dimana-mana. Kita mestinya belajar dari krisis pada tahun 2008.

Kebijakan pemerintah terkait Bank Century yang menggemparkan itu, adalah sebahagian dari ikhtihar ekonomi pemerintah dalam wujud haram bail out untuk mengamankan stabilitas pasar uang waktu itu, yang dikhawatirkan berdampak sistemik terhadap pertahanan ekonomi nasional. Namun apa hasilnya? Sikap bunuh diri pemerintah untuk mengamankan stabilitas pasar uang itu, malah berbuah pahit dan menyayat hati seantero rakyat Indonesia, dengan menggasak uang rakyat sebesar 6,7 triliun.

Saya membayangkan seberapa banayak rakyat kecil yang terpengaruh oleh dampak sistemik bank Century? Malah sebaliknya, dana sebesar 6,7 triliun itu, bila digunakan untuk stimulus UMKM, tentu dampaknya dasyhat terhadap penguatan ekonomi domestik. Menguatnya ekonomi domestik akan menjadi perisai atau benteng raksasa untuk menghadapi krisis keuangan global pada pada saat itu. Hal ini yang tidak disadari pemerintah.    

Belajar dari krisis tahun 2008, maka untuk menghadapi kondisi krisis saat ini yang dipicu oleh jungkir-baliknya ketahanan ekonomi Eropa, maka pemerintah sebaiknya tidak melulu memprioritaskan stabilitas pasar uang, tapi juga menjangkarkan perhatian pada penguatan ekonomi domestik.

Dengan ekonomi nasional yang kuat, saya yakin kita tidak akan mudah getas oleh getaran-getaran krisis Eropa itu. Saya percaya, dengan menguatnya ekonomi domestik, pertumbuhan ekonomi akan stabilized, bahkan bisa progress. Kalau pertumbuhan ekonomi membaik yang ditandai dengan terus bergeraknya sektor riil, maka akan menimbulkan iklim pasar yang baik pula.

Hal ini tentu akan menarik investor, seiring terbentuknmya sentimen positif para pelaku pasar seiring menguatnya ekonomi domestik. Terkait dengan krisis Eropa yang tentu akan berimplikasi ke Indonesia, sejatinya tidak dilihat secara parsial atau separuh-separuh. Akan tetapi harus dilihat secara komprehensif dari segala dimensi ekonomi.

Olehnya itu, penanganan dari sisi pasar uang semata di satu sisi dan menafikan penguatan sektor riil domestik di sisi yang lain, akan membuat pemerintah bakal kelabakan, bila sewaktu, krisis Eropa itu merambah ke sektor-sektor yang tak pernah diduga sebelumnya yang bersifat non moneter.

Sikap Bank Indonesia (BI) untuk mengikat capital inflow ke instrument sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam waktu panjang memang langkah yang baik. Sebagaimana dilansir The Institute of International Finance, aliran dana ke emerging market tahun 2011 akan mencapai 960 miliar dollar AS. Bahkan, pada 2012 akan menjadi 1.009 miliar dollar AS (sumber : http://rimanews.com). Akan tetapi, apalah artinya dana sebesar itu, jika tidak dikelola dengan baik, atau tidak diinvestasikan secara langsung dan bersinggungan dengan sector riil.

Saya sependapat dengan pengamat ekonomi Aviliani bahwa capital inflow yang masuk ke perbankan dan Bank Indonesia (BI) sudah melewati batasan yang cukup alias over karena tidak ada yang menyerap. Tentu berbeda dengan China yang berani mengenakan pajak. Sementata Indonesia justru tak mau melakukan. Kalau di China mengenakan pajak di pasar modal supaya aliran masuknya tidak cepat keluar. Jika pemerintah mengambil seperti Cina, tentu capital inflow akan berkontribusi terhadap penerimaan negara.

Stabilitas politik

Untuk menciptakan stabilitas pasar, maka stabilitas politik pun harus membaik. Di tengah goncangan itu, tentu investor asing sangat sensitif dengan multi dimensional kondisi di Indonesia. Terutama kondisi politik akhir-akhir ini. Proses pemboikotan pembahasan RAPBN 2012, tentu bisa menciptakan sentimen negatif para pelaku pasar.

Pasalnya, politisasi APBN ini akan berdampak langsung pada stabilitas pemerintahan. Terutama sektor-sektor pemerintahan yang bersinggungan langsung dengan pasar. Untuk mengurangi tensi pengaruh ancaman krisis ini, pemerintah mesti menyiapkan kondisi pasar yang baik. Pastinya dibingkai dengan stabilitas politik dan law enforcement. Saya memperkirakan, dengan peruntukkan capital inflow yang tepat sasaran dan tepat kebutuhan serta stabilitas politik yang ikut melicinkan dinamisasi iklim pasar, maka kita bisa menembus ancaman badai krisis Eropa tanpa suatu hambatan berarti. Itu pun kalau pemerintah sungguh-sungguh. Semoga




Sabtu, 01 Oktober 2011

Reportase


Renegoisasi Kontrak Karya
PAN Dorong Renegoisasi Kontrak Karya Pertambangan

Fraksi PAN mendorong pemerintah untuk melakukan renegoisasi terhadap Kontrak Karya (KK) industri pertambangan. Hal  tersebut dieksplorasikan melalui kegiatan yang diselenggarakan pada Kamis, (29/8) di gedung Nusantara V DPR-RI. Ketua Fraksi PAN Tjatur Sapto pada acara tersebut menyampaikan, “Fraksi PAN sudah berencana untuk mendesainkan suatu kegiatan yang meng-endorse suatu pernyataan bersama dengan semua stake holder terkait renegoissai pertambangan yang selama ini merugikan negara dan rakyat Indonesia”. Demikian kata Tjatur.

Saat ini, pemerintah bertekad kuat merenegoisasi KK pertambangan yang selama ini merugikan negara. Pasalnya, meski Indonesia membutuhkan investasi besar untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, namun apabila investasi itu mencedarai rasa keadilan, maka sepatutnya investasi itu dibicarakan kembali (renegoisasi).

Terkait renegoisasi pertambangan dianggap mendesak, karena selama ini beberapa perusahaan asing tidak membayar royalti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Penerimaan negara dari sektor pajak relatif amat kecil bila dibandingkan volume produksi dan harga produksi lintas sektor yang dari waktu ke waktu semakin mahal.

Dr. Kartubi pengamat pertambangan menyatakan, kita menyambut gembira langkah pemerintah terkait renegoisasi KK. Sudah lama sekali pertambangan menyimpang dibiarkan. Penerimaan negara selama ini hanya sekitar 15-20% dari hasil pertambangan. Padahal kekayaan alam kita disedot habis-habisan dengan perolehan keuntungan besar oleh pihak asing.  Bila dibandingkan dengan harga produk tambang lintas sektoral, bedanya antara langit dan bumi. Kita ambil contoh Friport, dalam PP No 45 Tahun 2003 tentang tari penerimaan negara baik pajak atau PNBP,  royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen.

Namun, dari Friport McMorran, pemerintah menerima  royalti hanya sebesar 1% dan hingga saat ini belum berani melakukan renegoisasi. Fakta lain adalah terkait pembelian saham PT Newmont NTB, pemerintah bersikukuh membeli divestasi saham Newmont NTB sebesar 7%, namun, disaat yang sama, dengan saham 7% itu, pemerintah tidak eligible untuk mendapatkan posisi 1 orang komisaris. Pasalnya, untuk menduduki 1 kursi komisaris, membutuhkan kepemilikan sebesar minimal 10% saham. Boro-boro dapat posisi direktur, untuk posisi komisaris saja kita an-eligible.   

Selama ini, pendapatan kita di sektor pertambangan, khususnya minyak bumi semakin membaik, namun, hal tersebut disebabkan oleh produksi minyak anjlok tapi harga minyak bagus. Hal ini menyebabkan penerimaan negara di sektor ini membaik. Penyebab terpojoknya pemerintah dalam beberapa KK juga adalah karena masih menggunakan kontrak kerja produk kolonial. Akhirnya, pemerintah terus dibodohi oleh berbagai KK dengan pertambangan asing.

Logikanya, sebagai pemilik isi perut tanah di Indonesia sesuai semangat UUD 1945 Pasal 33, mestinya pemerintah mendapatkan royalti lebih besar. Namun faktanya, revenue pemerintah di sektor pertambangan sangat kecil dan tidak masuk akal.   

Hal lain yang juga perlu kita kritisi adalah, terkait risiko industri pertambangan. Idealnya daerah yang mengalami risiko pertambangan secara langsung, harus menerima royalti lebih besar. Karena berbagai implikasi ekologis di kawasan pertambangan yang akan merugikan rakyat sekitar.

Demikian juga selama ini, pemerintah tidak memiliki mekanisme atau alat untuk mengontrol mekanisme produksi,  biaya, harga jual dan pemasaran dalam KK. Penyebab penerimaan negara jomplang adalah, akibat sektor tambang umum masih manganut sisitim kontrak kolonial.Akibatnya negara dirugikan dari tahun ke tahun.  

Rekomendasi F-PAN adalah kembalikan sistem pengelolaan pertambangan sesuai konstitusi. Hanya Negara yang boleh menambang. Negara diwakili BUMN (Sesuai UUD 1945 Pasal 33 harus lebih progresif. Tambang tidak hanya dikuasai, tapi juga dimiliki oleh Negara). Karena BUMN sebagai entitas bisnis negara yang diberikan kuasa tambang. Sehingga ownership harus jelas milik negara.

Kontrak harus B to B kemudian posisi negara harus di atas kontrak, bukan negara sebagai yang mengontrak atau B to G, sehingga negara menjadi sejajar dengan kontraktor. Dengan demikian segala perubahan mekanisme pertambangan harus melalui persetujuan negara. Dengan catatan dalam jangka pendek royalti yang diterima negara harus disesuaikan dengan perkembangan harga jual. Karena selama ini, presentasi royalti dikunci mati pada formula harga jual sehingga negara berpotensi rugi.

Kontrak karya bukanlah hal baru, atau suatu hal yang langkah dalam dunia pertambangan. Sebab selama ini apabila terjadi KK, maka selalu ada klausul yang berkaitan dengan renegoisasi. Sehingga langka pemerintah ini  merupakan suatu hal yang sudah semestinya.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat lingkungan hidup Suripto mengatakan, renegoisasi itu kita bicara soal perundingan, kita harus mengetahui kelemahan dari pihak yang mau diajak berunding atau MNC yang mau diajak runding. Posisi pemerintah sejatinya di atas angin dalam renegoissai, karena kita adalah pemilik tambang. Selama ini kita lemah dalam soal low reinforceman. Dikatakannya, dalam klausul UU, belum teraneksasi tindak pidana atau sanksi pidana terhadap MNC yang gagal menjaga kelestarian lingkungan.

Selama ini KK kita belum meng-cover aspek ekologi secara ketat. Akibatnya lingkungan sekitar tambang rusak dimana-mana. Contohnya Friport 2003, Exon 2005, Newmont 2004 dan Minahasa, yang berakibat pada kerusakan lingkungan masif di sekitar kawasan pertambangan, tapi perangkat hukum kita tidak menjangkau itu. Dan lain pihak keberadaan MNC-MNC  itu tidak berimpec pada peningkatan sosial ekonomi di kawasan pertambangan secara wajar. Kasus-kasus seperti OPM, dan saparitisme di tempat lain,  jangan hanya dilihat dari sisi saparatisme saja, tapi juga dilihat dari sisi keteralienasian mereka dengan adanya pencemaran lingkungan yang kian ekspansif oleh MNC. Demikian pula masyarakat sekitar pertambangan yang tidak tersejahterakan oleh eksplorasi tambang.

Di Kalimantan Timur misalnya, ada sekitar 400 hektar kehilangan lahan pangan akibat tambang batu bara. Konsen pemerintah tidak sebaiknya cuma bicara royalti, tapi juga lebih memperhatikan keseimbangan ekologi dan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Bahkan renegoisasi lebih radikal ke nasionalisasi, agar kepentingan negara dan rakyat lebih diutamakan ketimbang kepentingan koorporasi.

Dalam UU sudah mengatur aspek HAM dan lingkungan dalam pertambangan. Namun kebanyakannya low reinforcemant tidak berjalan baik. Dari 67 yang sudah direnegoisasi tapi hanya enam perusahaan besar yang belum setuju untuk melakukan renegoisasi oleh pemerintah. Sejatinya, apabila 6 perusahaan itu menguasai 90 % dari saham pertambangan di Indonesia, maka sebaiknya diumumkan saja ke publik terkait perusahaan yang enggan melakukan renegoisasi..

Diakhir diskusi publik, Kartubi mengatakan “UU Migas yang digunakan pemerintah selama ini adalah hasil dari Kabinet pemerintah sebelumnya di zaman Gusdur, diamana saat itu Menteri ESDM nya SBY. Padahal UU Migas itu pernah diajukan oleh menteri sebelumnya yang juga ditolak oleh DPR karena berpotensi merugikan negara. ***