Minggu, 04 Desember 2011

Rakernas PAN dan Road Map Baru Indonesia

Oleh : Laurens Bahang Dama
(Anggota DPR-RI Periode 2009-2014 Fraksi PAN)


Tanggal 10-11 Desember 2011, Partai Amanat Nasional menyelenggaran Rapat Kerja Nasional dan Silaturahim Nasional (Rakernas & Silatnas). Rakernas ini momentum besar dan tentu juga akan membahas isu-isu nasional yang juga berskala besar. Paling tidak, Rakernas kali ini PAN bisa mendorong beberapa aspek kebijakan yang tidak saja berkaitan dengan elektabilitas PAN di pemilu 2014, tapi juga berkaitan dengan kondisi kekinian bangsa, baik menyangkut kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Rakernas kali ini, tidak saja menjadi sebuah kerumunan akbar atau rutinitas organisasi belaka, tapi harus menjadi peta restorasi Indonesia. Ataupun menjadi road map untuk mengukuhkan Indonesia baru yang berdaulat secara ekonomi dan politik.

Jauh sebelum perhelatan ini, melalui desain forum publik, PAN telah mendorong beberapa isu aktual terkait aspek ekonomi dan hukum serta good governances. Diantaranya adalah soal renegoisasi kontrak karya (KK) pertambangan dan soal road map baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Hematnya, dua isu ini menjadi strategis, karena bersentuhan langsung dengan sisi vital kebernegaraan kita.

Isu renegoisasi

Dari soal renegoisasi misalnya, selama ini banyak KK pertambangan yang tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap negara, tapi masih dibiarkan bereksplorasi di Indonesia. Pemerintah terkesan lemah dan tak berdaya dihadap para kapitalis asing yang melakukan hegemonisasi di sektor energi ini.

Mestinya, berbagai koorporasi yang menjalankan bisnis ekstraktif di Indonesia, memberikan royalti sesuai ketentuan aturan yang berlaku. Dan negara berhak tegas bahkan bila perlu melakukan pemaksaan bagi koorporasi-koorporasi transnasional yang selama ini lalai dalam memberikan royalti pada pemerintah. Kita ambil contoh Friport, dalam PP No 45 Tahun 2003 tentang tari penerimaan negara baik pajak atau PNBP, royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen. Namun, dari Friport McMorran, pemerintah menerima royalti hanya sebesar 1% dan hingga saat ini belum berani melakukan renegoisasi.

Momentum Rakernas PAN kali ini, diharapkan dapat mendorong agenda besar ini, karena persoalan renegoisasi tidak saja pada soal penerimaan negara di sektor Penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tapi juga berkait harga diri sebagai sebuah bangsa. Lagi pula bisnis ekstraktif ini, berkaitan erat dengan masa depan keekologian Indoensia yang berarti berkaitan dengan masa depan anak cucu di negeri ini.

Kerusakan lingkungan (ekologis) dan terjadinya pemusnahan sistematis terhadap keanekaragaman hayati, sudah pasti terjadi di balik bisnis ekstraksi ini. Olehnya itu, persoalan renegoisasi ini harus di-endorse dalam Rakernas PAN kali ini, menjadi agenda besar yang perlu diperbincangkan. Masa depan ekologi kita, juga bergantung pada seberapa besar koorporasi-koorporasi di sektor ekstraktif itu bertanggungjawab terhadap lingkungan setelah melakukan eksplorasi pertambangan.

Bermarwah tidaknya rakernas kali ini, bergantung pada seberapa greget-nya PAN mendorong isu-isu penting yang berkait langsung dengan kepentingan negara dan masyarakat saat ini. PAN harus berani memberikan satu rekomendasi pada pemerintah untuk mendorong berbagai koorperasi sektor ekstraktif untuk memberikan royalti pada negara sesuai ketentua Undang Undang, bahkan bila perlu mencabut izin eksplorasi bagi koorporasi-koorporasi tertentu yang enggan melakukan renegoisasi KK pertambangan. Demikian juga, perlu di dorong terbentuknya payung hukum baru yang lebih progresif dan radikal untuk menetapkan road map pemberantasan korupsi di Indonesia

Isu road map pemberantasan korupsi
Selain soal renegoisasi KK pertambangan, PAN juga dalam beberapa waktu ini melalui beberapa forum publik, menggelar diskusi seputar road map pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam kaca mata PAN, KPK saat ini tidak lebih dari sebatas melakukan kontestasi atau selebrasi pemberantasan korupsi. Dari soal perseteruan KPK dan DPR hingga statemen-statemen berdimensi conflict of interest yang tidak berimplikasi terhadap pemberantasan korupsi yang sering diucapkan Ketua KPK.

Dalam hemat PAN, pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini, harus berimplikasi terhadap peningkatan penerimaan negara. Olehnya itu KPK harus fokus pada pemberantasan korupsi yang berkaitan dengan penerimaan negara, terutama korupsi pajak dan investasi obligasi yang saat ini belum dijamah KPK. Padahal di ranah potensi korupsi di ranah ini nilai triliunan rupiah.

Olehnya itu, KPK sejatinya lebih fokus pada kasus-kasus korupsi besar dari pada melakukan sleberasi pernyataan yang tidak penting. Hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI), yang digelar pada 1-15 Oktober lalu pun cukup mencengangkan. KPK, yang diharapkan menjadi terobosan dalam sistem hukum Indonesia saat ini, ternyata mendapat angka ketidakpuasan paling tinggi. Sekitar 42,7 persen publik dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi mengatakan tidak puas terhadap kinerja KPK. (Rakyat Merdeka Edisi 02 November 2011).

Berkaca dari kondisi ini, maka PAN sejatinya menjadi lokomotif utama dalam mendorong road map baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Konkretnya, dalam Rakernas yang dihadiri kader PAN seluruh Indonesia ini, melahirkan rekomendasi progresif untuk mengawal road map baru pemberantasan korupsi di Indonesia.

Problem akut Indonesia saat ini adalah korupsi. Bahkan boleh dibilang, korupsi di Indonesia saat ini sudah endemik. Korupsi tidak lagi terjadi secara partikular, tapi sudah semakin massif dan sistemik. Hemat kita, saat ini setiap lokus anggaran negara telah diciptakan lubang-lubang koruptif yang memprihatinkan. Kasarnya, ini upaya pembangkrutan Indonesia secara sistemik.

Dua isu besar di atas, harus terserap dalam perhelatan Rakernas kali ini. Karena berbicara tentang Indonesia, dalam konstelasi kekinian, tidak terlepas dari dua isu besar di atas. Isu renegoisasi dan road map baru pemberantasan korupsi adalah berkaitan dengan nafas bangsa ini.

Kita tidak bisa membiarkan pengurasan hasil bumi negeri ini dan juga membiarkan keuangan negara terus digrogoti dari segala sektor. Rakernas PAN kali ini, akan bermarwah, ketika Rakernas ini mampu menggelontrokan isu-isu besar terkait masa depan negeri ini dari berbagai dimensi. Terutama di sektor energi yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, serta pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi.

Road map Indonesia baru adalah menuju sebuah tatanan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi. Pilar ekonomi dan politik akan berdiri tegak, manakala pemerintahan yang bersih dapat diwujudkan disegala sektor. Sikap politik PAN dalam Rakernas kali ini adalah berpijak pada road map Indonesia baru dimaksud. Kita yakin, bila komitmen ini diperjuangkan, PAN akan tetap memiliki tempat di hati rakyat Indonesia. Semoga. []

Rabu, 16 November 2011

Komodo dan Masa Depan Ekonomi Masyarakat Lokal

(Oleh : Laurens Bahang Dama)


Kita berharap lolosnya Komodo sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia oleh lembaga New 7 Wonders, menjadi angin baik bagi masa depan ekonomi masyarakat lokal. Paling tidak, keberadaan komodo dikancah internasional memberikan “market values” bagi perbaikan ekonomi masyarakat setempat. Terutama di sektor kepariwisataan.

Dalam hemat saya, tujuan pokok dari memperjuangkan Komodo sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia, berkorelasi dengan perbaikan nasib ekonomi masyarakat lokal. Olehnya itu, hal lain yang juga perlu di-endorse adalah adanya infrastruktur pendukung untuk menjadikan pulau Komodo sebagai salah satu sentra kepariwisataan di Indonesia.

Implikasi dari dukungan infrastruktur di pulau Komodo tersebut, akan mendorong investor baik lokal maupun asing untuk memperluas investasi di sektor kepariwisataan. Semakin massif-nya investasi, paling tidak, akan berdampak pada bergeraknya sektor ekonomi lokal masyarakat setempat.

Olehnya itu, dalam hemat saya, seiring masih hangatnya orang memperbincangkan popularitas Komodo, maka disaat yang sama, pemerintah baik daerah maupun pusat, perlu melakukan akselerasi pembangunan yang dapat bersinergi dengan daya dorong ekonomi di pulau Komodo dan Kabupaten Manggarai Barat khususnya.

Akselerasi pembangunan infrastruktur tersebut misalnya, terkait dengan landas pacu lapangan terbang, pelabuhan dan jalan darat. Komponen vital ini akan menjadi salah satu pendorong utama bagi kelancaran investasi di sektor kepariwisataan.


Terkait dengan itu, maka pemerintah daerah pun saatnya mulai responsif melihat peluang-peluang pasar disektor kepariwsataan yang bersinergi dengan iconaklisme Komodo. Dengan demikian keberadaan Komodo mampu memberikan “benefit image” bagi pertumbuhan ekonomi di sektor kepariwisataan Kabupaten Manggarai Barat.

Dalam pandangan saya akselerasi pembangunan infrastruktur penunjang tersebut mulai bersinergi dengan pemafaatan anggaran baik APBD maupun dana perimabangan (DAU dan DAK) secara korelatif dengan gagasan menjadikan Pulau Komodo sebagai salah satu destinasi kepariwisataan. Olehnya itu skala prioritas pemerintah adalah mulai meng-cretae alokasi anggaran pembangunan sesuai dengan konsepsi di atas. Tanpa policy yang demikian, keberedaan Pulau Komdo tidak akan mampu mendorong roda perekonomian lokal secara signifikan.

Harapan kita untuk pemerintah pusat adalah, tidak berhenti pada tataran simbolik, dengan menjadikan popularitas Komodo sebatas icon atau popularitas simbolik. Pemerintah pusat, sejatinya melihat keberadaan pulau Komodo secara prospektif ekonomis. Dengan demikian, perhatian dan prioritas untuk melihat Keberadaan Komodo pun menjadi lebih konstruktuif ekonomis. Dengan cara pandang yang demikian, maka pemerintah pusat pun secara mati-matian menjadikan Pulau Komodo di NTT sebagai salah satau sumber daya ekonomi yang mumpuni.

Kita berharap, janji presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk mengucurkan bantuan sebesar Rp. 5,3 trilun diawal Februari 2011 itu segera terwujud dalam rangka merevitalisasi ekonomi NTT, teri-nclude di dalamnya adalah di sektor kepariwisataan Pulau Komodo. Tentu masyarakat NTT menunggu janji itu. Dan semoga bukan pepesan kosong belaka.

Harapan untuk menjadikan Komodo sebagai pilar bergeraknya sumber daya ekonomi lokal itu tentu bukan harapan yang main-main, tapi sebaliknya harapan besar masyarakat NTT dan khususnya masyarakat Manggarai Barat yang berada di Pulau Komodo. Kita berharap semoga pemerintah pusat maupun daerah, benar-benar responsif terhadap nama besar Komodo disatu sisi dan menjadikan Komodo sebagai salah satu sumber daya ekonomi di sisi yang lain. ***

Rabu, 12 Oktober 2011

Distribusi BBM Bersubsidi yang Berkeadilan

Oleh : Drs Laurens Bahang Dama


Saat ini hamper 59 distribusi BBM bersubsidi berada di kawasan Jawa dan Bali. Dan 53 persen dari 59 persen itu digunakan oleh kenderaan pribadi roda empat. Ada dua dimensi keadilan yang perlu ditelaah lebih jauh. Misalnya, distribusi keadilan per wilayah. Daerah-daerah terpinggir dan terbelakang, selama ini hanya mendapat sedikit dari alokasi distribsui BBM bersubsidi secara nasional.

Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, hanya mendapat 2% dari alokasi BBM bersubsidi setiap tahun. Demikian juga dengan daerah di luar Jawa dan Bali, jatanya sangat kecil. Dari dimensi keadilan peruntukkan pun demikian. Selama ini, 53 persen alokasi subsidi diterima oleh orang-orang yang terkategori mampu. Hal ini menggambarkan bahwa subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran dan dibiarkan tanpa pengendalian ekstra ketat. Lalu untuk siapa subsidi?

Dalam RAPBN 2012, pemerintah mengusulkan alokasi BBM bersubsidi adalah 40 juta kilo liter. Angka ini kemudian berubah menjadi 37,8 juta kilo liter setelah tarik menarik saat sinkorinisasi di Badan Anggaran DPR.

Angka alokasi subsidi 37,8 juta kilo liter ini menurut pemerintah adalah angka yang sudah cukup realistis, dengan menjangkarkan asumsi pada nilai tukar rupiah terhadap USD sebesar 8.800 serta Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 90 USD per barel/hari, berikut asumsi volume penggunaan BBM bersubsidi sekitar 8 persen selama lima tahun terakhir. Kendatipun demikian, angka tersebut belum bisa menjamin tidak terjadinya kebocoran subsidi dari tahun ke tahun, bila pemerintah tak mampu menawarkan program-program pengendalian yang radikal.

Pembiaran
Meski pemerintah menyediakan porsi cadangan fiskal sebesar 2,5 juta kilo liter untuk tahun depan, namun bila potensi kebocoran itu mengalami pembiaran, maka bisa jadi cadangan fiskal yang diporsikan itu tidak mampu membendung kebutuhan BBM bersubsidi akibat kebocoran atau yang tidak tepat sasaran.

Sesuai data BPH Migas, menunjukkan sejak Januari hingga Agustus 2011, telah terjadi 166 kasus penyelewengan BBM bersubsidi di seluruh Indonesia. Sampai 31 Agustus ada 166 kasus penyelewengan, dari jumlah tersebut 130 kasus masuk penyelidikan, 27 kasus masuk tahap P-21 dan sembilan kasus masuk dalam persidangan. Data ini menunjukkan bahwa peran pemerintah untuk pengendalian penggunaan BBM bersubsidi tidak berjalan maksimal. Pertanyaannya, apa bisa pemerintah melakukan efisiensi?

Bila kita cermati, tawaran-tawaran yang direkomandasikan pemerintah terkait alokasi BBM bersubsidi dalam RAPBN 2012 bersifat pengualangan semata. Misalnya, pemerintah mengusulkan bahwa, untuk mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi pada RAPBN 2012, maka diperlukan kerjasama lintas sektoral, terutama pemerintah daerah dan Kepolisian.

Padahal, solusi yang sama pernah diterapkan tahun lalu, tapi tidak mampu menyumbat kebocoran penggunaan BBM bersubsidi. Dengan demikian, politik pembiaran agar terjadi pembengkakan penggunaan BBM bersubsidi yang semakin besar dari tahun ke tahun ini dipertahankan hanya kerana menjaga pencitraan dan populisme sempit. Mestinya pemerintah realistis, bahwa menaikkan harga BBM jenis premium memiliki dimensi solutif, dari pada membiarkan kuota subsidi dalam APBN terus terkikis untuk orang-orang yang tidak berhak..

Fokus pada pengendalian
Padahal, jika kuota subsidi BBM dalam postur APBN itu terus tergerus dan berimplikasi pada inefisiensi, justru hal ini akan merugikan rakyat. Karena bila cadangan kuota BBM bersubsidi terkikis dalam postur APBN, sementara penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran itu tarsus berlangsung, maka efek pembengkakan itu akan berakibat pada tersunatnya pos anggaran lain semisal anggaran belanja modal dan pos belanja lain yang berhubungan dengan ekonomi riil.

Dari sinilah kemudian kita berharap, pemerintah tidak serta-merta fokus pada angka subsidi semata, tapi lebih fokus pada kualitas pengendalian terhadap penggunaan BBM bersubsidi di lapangan yang selama ini salah sasaran. Karena berapa pun BBM bersubsidi dialokasikan, tapi jika potensi kebocoran dibiarkan terus menggeliat, maka hal tersebut justru akan menjadi beban APBN.

Demikian juga kita berharap, dimensi keadilan perlu diperhatikan, terutama dalam segi keadilan distribusi, khususnya untuk daerah di luar Jawa dan Bali, porsinya harus berada di porsentase angka yang wajar dan adil. Lebih penting lagi, bila efisiensi subsidi BBM dapat dilakukan pemerintah, maka sebaiknya disubsidi ke sektor pendidikan, karena sebaik apapun infrastruktur, bila tidak dimbangi kapasitas sumber daya manusia, maka hasil tetap nol besar. ***

Minggu, 02 Oktober 2011

Indonesia di Ambang Krisis

Drs Laurens Bahang Dama
Oleh : Drs Laurens Bahang Dama

Anjloknya perekonomian Eropa, secara tidak langsung menghambat tatanan ekonomi dunia. Kondisi ini juga dikhawatirkan oleh kalangan pengamat beberapa hari terakhir (Sept 2011) akan berpengaruh ke Indonesia tahun depan (2012). Di tengah keluh-kesahnya pengamat dan pelaku pasar itu, pemerintah masih optimis, bahwa stabilitas ekonomi terutama di sektor pasar uang masih terjaga.

Namun disaat yang sama, aliran modal asing atau capital inflow yang selama ini menjadi topeng optoptimisme  pemerintah itu, perlahan-lahan mulai menyusut keluar. Rupiah pun beberapa hari terakhir mulai anjlok hingga nyaris mendekati di atas Rp. 9000. Jika kondisi ini terjadi secara kontinyu, maka pemerintah bisa ketar-ketir bila sewaktu-waktu gonjangan pasar uang itu terjadi secara masif di segala lini industri  pasar uang.

Memang, selama ini, pemerintah berdalih, bahwa ketersediaan dana Sisa Anggaral Lebih (SAL) akan dijadikan sebagai sumber pembiayaan apabila terjadi kekisruhan di ranah pasar uang yang berkemungkinan menyumbat laju pertumbuhan ekonomi. Demikian pun BI yang saat ini mengambil langkah untuk membeli kembali Surat Utang Negara (SUN)  untuk menjaga stabilitas pasar valas dan SUN. Akan tetapi sampai berapa lama hal tersebut bisa dilakukan BI dan pemerintah, bila krisis ekonomi Eropa itu berlangsung dalam waktu lama dan menggeliat serta berpengaruh pada sektor-sektor non moneter?

Selama ini, derasnya arus modal asing, belum benar-benar dimanfaatkan untuk investasi langsung yang bersinggungan dengan sektor riil. Akibatnya, dengan menggunungnya aliran modal asing itu, tak mampu menambah penguatan ekonomi nasional. Malah sebaliknya, pemerintah dan Bank Sentral dibuat was-was terkait kemungkinan sudden reversal atau terjadi arus balik modal asing secara tiba-tiba dan serentak. Lalau apa manfaat menggunungnya modal asing itu selama ini?

Artinya, kita hanya menimbun arus modal asing itu tanpa memanfaatkannya. Pasalnya, selama ini pemerintah belum bisa membuktikan hasil konkret aliran modal asing ke Indonesia itu kepada publik. Terutama dalam sektor riil ekonomi. Demikian pun, selama ini kita hanya mendengar dan membaca di media, bahwa cadangan devisa membaik dan inflasi tetap terjaga dengan derasnya capital inflow, tapi suatu pembuktian empirik terkait efek positif capital inflow terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi riil belum terlihat nyata.

Belajar dari Krisis 2008

Yang saya khawatirkan adalah, dengan berpaku pada ketahanan modal asing dan gonncangan pasar global, malah menggerus konsentrasi pemerintah. Pasalnya, terkait kondisi ekonomi nasional secara faktual, menarik perhatian pemerintah untuk rame-rame berbicara tentang keamanan pasar uang.

Lagi-lagi kekhawatiran kita adalah, bila seluruh sumber daya ekonomi di Indonesia, dipaksakan pemerintah untuk mengamankan sektor pasar uang yang pada akhirnya menimbulkan kebocoran ekonomi dimana-mana. Kita mestinya belajar dari krisis pada tahun 2008.

Kebijakan pemerintah terkait Bank Century yang menggemparkan itu, adalah sebahagian dari ikhtihar ekonomi pemerintah dalam wujud haram bail out untuk mengamankan stabilitas pasar uang waktu itu, yang dikhawatirkan berdampak sistemik terhadap pertahanan ekonomi nasional. Namun apa hasilnya? Sikap bunuh diri pemerintah untuk mengamankan stabilitas pasar uang itu, malah berbuah pahit dan menyayat hati seantero rakyat Indonesia, dengan menggasak uang rakyat sebesar 6,7 triliun.

Saya membayangkan seberapa banayak rakyat kecil yang terpengaruh oleh dampak sistemik bank Century? Malah sebaliknya, dana sebesar 6,7 triliun itu, bila digunakan untuk stimulus UMKM, tentu dampaknya dasyhat terhadap penguatan ekonomi domestik. Menguatnya ekonomi domestik akan menjadi perisai atau benteng raksasa untuk menghadapi krisis keuangan global pada pada saat itu. Hal ini yang tidak disadari pemerintah.    

Belajar dari krisis tahun 2008, maka untuk menghadapi kondisi krisis saat ini yang dipicu oleh jungkir-baliknya ketahanan ekonomi Eropa, maka pemerintah sebaiknya tidak melulu memprioritaskan stabilitas pasar uang, tapi juga menjangkarkan perhatian pada penguatan ekonomi domestik.

Dengan ekonomi nasional yang kuat, saya yakin kita tidak akan mudah getas oleh getaran-getaran krisis Eropa itu. Saya percaya, dengan menguatnya ekonomi domestik, pertumbuhan ekonomi akan stabilized, bahkan bisa progress. Kalau pertumbuhan ekonomi membaik yang ditandai dengan terus bergeraknya sektor riil, maka akan menimbulkan iklim pasar yang baik pula.

Hal ini tentu akan menarik investor, seiring terbentuknmya sentimen positif para pelaku pasar seiring menguatnya ekonomi domestik. Terkait dengan krisis Eropa yang tentu akan berimplikasi ke Indonesia, sejatinya tidak dilihat secara parsial atau separuh-separuh. Akan tetapi harus dilihat secara komprehensif dari segala dimensi ekonomi.

Olehnya itu, penanganan dari sisi pasar uang semata di satu sisi dan menafikan penguatan sektor riil domestik di sisi yang lain, akan membuat pemerintah bakal kelabakan, bila sewaktu, krisis Eropa itu merambah ke sektor-sektor yang tak pernah diduga sebelumnya yang bersifat non moneter.

Sikap Bank Indonesia (BI) untuk mengikat capital inflow ke instrument sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam waktu panjang memang langkah yang baik. Sebagaimana dilansir The Institute of International Finance, aliran dana ke emerging market tahun 2011 akan mencapai 960 miliar dollar AS. Bahkan, pada 2012 akan menjadi 1.009 miliar dollar AS (sumber : http://rimanews.com). Akan tetapi, apalah artinya dana sebesar itu, jika tidak dikelola dengan baik, atau tidak diinvestasikan secara langsung dan bersinggungan dengan sector riil.

Saya sependapat dengan pengamat ekonomi Aviliani bahwa capital inflow yang masuk ke perbankan dan Bank Indonesia (BI) sudah melewati batasan yang cukup alias over karena tidak ada yang menyerap. Tentu berbeda dengan China yang berani mengenakan pajak. Sementata Indonesia justru tak mau melakukan. Kalau di China mengenakan pajak di pasar modal supaya aliran masuknya tidak cepat keluar. Jika pemerintah mengambil seperti Cina, tentu capital inflow akan berkontribusi terhadap penerimaan negara.

Stabilitas politik

Untuk menciptakan stabilitas pasar, maka stabilitas politik pun harus membaik. Di tengah goncangan itu, tentu investor asing sangat sensitif dengan multi dimensional kondisi di Indonesia. Terutama kondisi politik akhir-akhir ini. Proses pemboikotan pembahasan RAPBN 2012, tentu bisa menciptakan sentimen negatif para pelaku pasar.

Pasalnya, politisasi APBN ini akan berdampak langsung pada stabilitas pemerintahan. Terutama sektor-sektor pemerintahan yang bersinggungan langsung dengan pasar. Untuk mengurangi tensi pengaruh ancaman krisis ini, pemerintah mesti menyiapkan kondisi pasar yang baik. Pastinya dibingkai dengan stabilitas politik dan law enforcement. Saya memperkirakan, dengan peruntukkan capital inflow yang tepat sasaran dan tepat kebutuhan serta stabilitas politik yang ikut melicinkan dinamisasi iklim pasar, maka kita bisa menembus ancaman badai krisis Eropa tanpa suatu hambatan berarti. Itu pun kalau pemerintah sungguh-sungguh. Semoga




Sabtu, 01 Oktober 2011

Reportase


Renegoisasi Kontrak Karya
PAN Dorong Renegoisasi Kontrak Karya Pertambangan

Fraksi PAN mendorong pemerintah untuk melakukan renegoisasi terhadap Kontrak Karya (KK) industri pertambangan. Hal  tersebut dieksplorasikan melalui kegiatan yang diselenggarakan pada Kamis, (29/8) di gedung Nusantara V DPR-RI. Ketua Fraksi PAN Tjatur Sapto pada acara tersebut menyampaikan, “Fraksi PAN sudah berencana untuk mendesainkan suatu kegiatan yang meng-endorse suatu pernyataan bersama dengan semua stake holder terkait renegoissai pertambangan yang selama ini merugikan negara dan rakyat Indonesia”. Demikian kata Tjatur.

Saat ini, pemerintah bertekad kuat merenegoisasi KK pertambangan yang selama ini merugikan negara. Pasalnya, meski Indonesia membutuhkan investasi besar untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, namun apabila investasi itu mencedarai rasa keadilan, maka sepatutnya investasi itu dibicarakan kembali (renegoisasi).

Terkait renegoisasi pertambangan dianggap mendesak, karena selama ini beberapa perusahaan asing tidak membayar royalti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Penerimaan negara dari sektor pajak relatif amat kecil bila dibandingkan volume produksi dan harga produksi lintas sektor yang dari waktu ke waktu semakin mahal.

Dr. Kartubi pengamat pertambangan menyatakan, kita menyambut gembira langkah pemerintah terkait renegoisasi KK. Sudah lama sekali pertambangan menyimpang dibiarkan. Penerimaan negara selama ini hanya sekitar 15-20% dari hasil pertambangan. Padahal kekayaan alam kita disedot habis-habisan dengan perolehan keuntungan besar oleh pihak asing.  Bila dibandingkan dengan harga produk tambang lintas sektoral, bedanya antara langit dan bumi. Kita ambil contoh Friport, dalam PP No 45 Tahun 2003 tentang tari penerimaan negara baik pajak atau PNBP,  royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen.

Namun, dari Friport McMorran, pemerintah menerima  royalti hanya sebesar 1% dan hingga saat ini belum berani melakukan renegoisasi. Fakta lain adalah terkait pembelian saham PT Newmont NTB, pemerintah bersikukuh membeli divestasi saham Newmont NTB sebesar 7%, namun, disaat yang sama, dengan saham 7% itu, pemerintah tidak eligible untuk mendapatkan posisi 1 orang komisaris. Pasalnya, untuk menduduki 1 kursi komisaris, membutuhkan kepemilikan sebesar minimal 10% saham. Boro-boro dapat posisi direktur, untuk posisi komisaris saja kita an-eligible.   

Selama ini, pendapatan kita di sektor pertambangan, khususnya minyak bumi semakin membaik, namun, hal tersebut disebabkan oleh produksi minyak anjlok tapi harga minyak bagus. Hal ini menyebabkan penerimaan negara di sektor ini membaik. Penyebab terpojoknya pemerintah dalam beberapa KK juga adalah karena masih menggunakan kontrak kerja produk kolonial. Akhirnya, pemerintah terus dibodohi oleh berbagai KK dengan pertambangan asing.

Logikanya, sebagai pemilik isi perut tanah di Indonesia sesuai semangat UUD 1945 Pasal 33, mestinya pemerintah mendapatkan royalti lebih besar. Namun faktanya, revenue pemerintah di sektor pertambangan sangat kecil dan tidak masuk akal.   

Hal lain yang juga perlu kita kritisi adalah, terkait risiko industri pertambangan. Idealnya daerah yang mengalami risiko pertambangan secara langsung, harus menerima royalti lebih besar. Karena berbagai implikasi ekologis di kawasan pertambangan yang akan merugikan rakyat sekitar.

Demikian juga selama ini, pemerintah tidak memiliki mekanisme atau alat untuk mengontrol mekanisme produksi,  biaya, harga jual dan pemasaran dalam KK. Penyebab penerimaan negara jomplang adalah, akibat sektor tambang umum masih manganut sisitim kontrak kolonial.Akibatnya negara dirugikan dari tahun ke tahun.  

Rekomendasi F-PAN adalah kembalikan sistem pengelolaan pertambangan sesuai konstitusi. Hanya Negara yang boleh menambang. Negara diwakili BUMN (Sesuai UUD 1945 Pasal 33 harus lebih progresif. Tambang tidak hanya dikuasai, tapi juga dimiliki oleh Negara). Karena BUMN sebagai entitas bisnis negara yang diberikan kuasa tambang. Sehingga ownership harus jelas milik negara.

Kontrak harus B to B kemudian posisi negara harus di atas kontrak, bukan negara sebagai yang mengontrak atau B to G, sehingga negara menjadi sejajar dengan kontraktor. Dengan demikian segala perubahan mekanisme pertambangan harus melalui persetujuan negara. Dengan catatan dalam jangka pendek royalti yang diterima negara harus disesuaikan dengan perkembangan harga jual. Karena selama ini, presentasi royalti dikunci mati pada formula harga jual sehingga negara berpotensi rugi.

Kontrak karya bukanlah hal baru, atau suatu hal yang langkah dalam dunia pertambangan. Sebab selama ini apabila terjadi KK, maka selalu ada klausul yang berkaitan dengan renegoisasi. Sehingga langka pemerintah ini  merupakan suatu hal yang sudah semestinya.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat lingkungan hidup Suripto mengatakan, renegoisasi itu kita bicara soal perundingan, kita harus mengetahui kelemahan dari pihak yang mau diajak berunding atau MNC yang mau diajak runding. Posisi pemerintah sejatinya di atas angin dalam renegoissai, karena kita adalah pemilik tambang. Selama ini kita lemah dalam soal low reinforceman. Dikatakannya, dalam klausul UU, belum teraneksasi tindak pidana atau sanksi pidana terhadap MNC yang gagal menjaga kelestarian lingkungan.

Selama ini KK kita belum meng-cover aspek ekologi secara ketat. Akibatnya lingkungan sekitar tambang rusak dimana-mana. Contohnya Friport 2003, Exon 2005, Newmont 2004 dan Minahasa, yang berakibat pada kerusakan lingkungan masif di sekitar kawasan pertambangan, tapi perangkat hukum kita tidak menjangkau itu. Dan lain pihak keberadaan MNC-MNC  itu tidak berimpec pada peningkatan sosial ekonomi di kawasan pertambangan secara wajar. Kasus-kasus seperti OPM, dan saparitisme di tempat lain,  jangan hanya dilihat dari sisi saparatisme saja, tapi juga dilihat dari sisi keteralienasian mereka dengan adanya pencemaran lingkungan yang kian ekspansif oleh MNC. Demikian pula masyarakat sekitar pertambangan yang tidak tersejahterakan oleh eksplorasi tambang.

Di Kalimantan Timur misalnya, ada sekitar 400 hektar kehilangan lahan pangan akibat tambang batu bara. Konsen pemerintah tidak sebaiknya cuma bicara royalti, tapi juga lebih memperhatikan keseimbangan ekologi dan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Bahkan renegoisasi lebih radikal ke nasionalisasi, agar kepentingan negara dan rakyat lebih diutamakan ketimbang kepentingan koorporasi.

Dalam UU sudah mengatur aspek HAM dan lingkungan dalam pertambangan. Namun kebanyakannya low reinforcemant tidak berjalan baik. Dari 67 yang sudah direnegoisasi tapi hanya enam perusahaan besar yang belum setuju untuk melakukan renegoisasi oleh pemerintah. Sejatinya, apabila 6 perusahaan itu menguasai 90 % dari saham pertambangan di Indonesia, maka sebaiknya diumumkan saja ke publik terkait perusahaan yang enggan melakukan renegoisasi..

Diakhir diskusi publik, Kartubi mengatakan “UU Migas yang digunakan pemerintah selama ini adalah hasil dari Kabinet pemerintah sebelumnya di zaman Gusdur, diamana saat itu Menteri ESDM nya SBY. Padahal UU Migas itu pernah diajukan oleh menteri sebelumnya yang juga ditolak oleh DPR karena berpotensi merugikan negara. ***

Jumat, 26 Agustus 2011

Opini

Usulan Bubarkan Badan Anggaran, Inkonstitusional
Oleh : Drs, Laurens Bahang Dama

Penulis adalah :
(Anggota Komisi XI DPR RI Periode 2009-2014)


Cullis John and Phillip Jones (1998) menyatakan bahwa secara rasional, nyaris tidak ada satu pendekatan pengalokasian anggaran yang sempurna. Karena tidak ada proses kelembagaan yang kokoh secara rasional, maka alokasi anggaran ditempatkan sebagai pilihan publik (public choice).

Dengan memosisikan politik anggaran sebagai pilihan publik ini, maka acap kali politik anggaran terjebak dan terpenjara dalam ragam kepentingan publik dan penyelewengan. Maka dengan demikian pula, untuk merehabilitasi struktur politik anggaran yang sehat, maka kelembagaan terkait, mesti dibenahi. Tidak kemudian secara serta-merta, diberangus atau membubarkan lembaga yang terkait dengan budget policy negara. Kalau ada usulan demikian, maka itu sebatas sensasi.

Wacana membubarkan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI akibat  telah dipenuh_sesaki mafia anggaran dan praktek percaloan, bukan ide baik. Lagi pula, fungsi anggaran DPR diwadahi oleh UUD 1945. Dimana salah satu fungsi DPR adalah fungsi anggaran. Dengan fungsi ini, maka DPR berperan memberikan persetujuan atau tidak terhadap rancangan Undang Undang APBN yang diajukan Presiden atau pemerintah.

Amandemen UUD 1945
Kendatipun DPR atau dalam hal ini Banggar tidak menyetujui usulan anggaran pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan atau Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL), pemerintah tetap memiliki otorisasi untuk menjalankan APBN. Tapi dengan menggunakan pagu pada APBN tahun sebelumnya sesuai Pasal 15 Ayat (6) UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Hal ini menggambarkan bahwa, Banggar tidak memiliki kewenangan lebih dari pemerintah dalam urusan APBN. Dengan demikian, tingkat penyelewengan anggaran, tidak terlalu berpotensi di Banggar.

Keberadaan Banggar sebagai alat kelengkapan DPR, adalah bersifat integrated sesuai Undang Undang. Olehnya itu, bila ada pernyataan yang menyebutkan bahwa Banggar perlu dibubarkan, karena alat kelengkapan DPR yang satu ini telah dilumuti mafia dan praktek percaloan anggaran, adalah pernyataan yang inkonstitusional. Sebab, Banggar, secara inheren bukan alat kelengkapan an sich tapi merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi dan peran DPR sesuai amanah Undang Undang Dasar 1945.

Dengan demikian, kalau mau membubarkan Banggar, maka amandemenkan dulu UUD 1945 untuk menghapuskan fungsi anggaran DPR. Lagi pula, pernyataan membubarkan Banggar, adalah pernyataan yang terburu-buru. Karena Banggar dalam kapasitas anggaran atau APBN, bukanlah pengusul anggaran, yang berpotensi menyulap atau mensiasati sedemikian rupa APBN. Karena yang berperan dalam mengusulkan anggaran adalah pemerintah dan dibahas bersama Komisi-Komisi yang ada di DPR.

Berfikir sistemik bertindak parsial
Banggar dalam kapasitas ini, hanya sebagai penyetuju atau melakukan sinkoronisasi terhadap berbagai usulan pengalokasian anggaran oleh pemerintah melalui Kemetrian atau Lembaga (K/L) yang telah dibahas di Komisi. Dengan demikian, ruang dan celah praktek percaloan itu tidak tepat bila dialamatkan pada Banggar secara serta-merta.

Usulan pembubaran Banggar tidak lebih dari cara berfikir yang sistemik tapi bertindak parsial. Karena bila sistem di Banggar telah keropos dan memberikan ruang eksploitasi yang lebar bagi penyeleweng, maka sistem ini perlu dibenahi. Dalam rangka memberikan proteksi atau menyumbat ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya praktek percaloan dan mafia anggaran. Bukan malah dibubarkan, yang pada akhirnya melahirkan implikasi konstitusi dalam tata laksana lembaga negara.

Memang secara faktual, tak dapat dinafikan juga bahwa praktek percaloan dan mafia anggaran berpotensi menggurita di Banggar, tapi ruang yang memberikan keleluasaan itu teramat kecil. Karena yang menentukan secara teknis operasional itu pemerintah, melalui Kementrian atau Lembaga (K/L). Baik melalui RKP ataupun RKAKL. Baik tidaknya proyek, serta akuntabilitas keuangan dalam APBN, adalah berkaitan dengan kontrol teknis atau operasional teknis pemerintah. DPR dalam hal ini Banggar, hanya terlibat dalam soal policy-nya saja.

Dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dengan demikian, Banggar hanya lalu lintas untuk mensinkronkan usulan pemerintah setelah RKAKL dibahas di setiap komisi.

Penyakit korupsi di Banggar adalah problem yang saling bertemali secara sistemik. Dengan demikian, pengobatannya pun harus bersifat sistemik. Tidak bersifat parsial, sebagaimana suara-suara sumbang yang mengatakan Badan Anggaran dibubarkan saja.

Jika banyak ruang yang bocor, dan memberi keleluasaan pada para pemain anggaran, maka sejatinya yang perlu di perbaiki adalah sistemnya. Terutama UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Bukan malah membubarkan Banggar, yang justru inkonstitusinal. ***

Kamis, 18 Agustus 2011

Kemerdekaan dan Bulan Huru-Hara Politik

Laurens Bahang Dama

Dipublikasikan di rubric opini detik news.com Edisi 18 Agustus 2011

Jakarta - Baru kemarin kita merayakan HUT RI yang ke 66. Idealnya, kemerdekaan itu membuat orang bebas berbicara, bebas menyatakan apa saja termasuk menuduh, asal saja tuduhan itu sesuai dan berdasarkan fakta-fakta.

Bebas berbicara itu bisa menelurkan kebaikan, bukan malah membuat runyam apalagi memperkeruh suasana.

Tuduhan pun boleh saja, bila dengan tuduhan itu, bisa membongkar tumpukan konspirasi jahat untuk menghancurkankan tatanan kebaikan. Mungkin dalam konteks Indonesia saat ini, kita membutuhkan penuduh seperti Nazaruddin.

Sedikit banyak, dia punya kemerdekaan untuk berkorupsi dan keberanian untuk menuduh teman-teman semazhab korup-isme.

Di salah satu jejaring sosial, saya membaca status seorang user yang berbunyi, "Kok Nazaruddin diam? Apa ini ada hubungannya dengan proses pembungkapan politik?" Dus memang dengan cara pandang awam, kita bisa menduga, bahwa setiba di Indonesia, Nazaruddin tidak sefokal ketika dalam pelarian (buronan).

Dalam masa pelarian, Nazaruddin menegangkan saraf otak kita, karena dengan tuduhannya di beberapa media televisi swasta itu, ia mengumbar keterlibatan sejumlah oknum elit demokrat dan KPK dalam penggarukan uang negara. Baik dalam kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games di Palembang dan sejumlah mega proyek APBN yang nilainya triliunan rupiah.

Publik berharap, setibanya Nazaruddin di Indonesia, ia bisa mengurai rasa harap cemas, sekaligus kegemasan terkait siapa saja oknum yang telah korup berjamaah bersamanya. Paling tidak, Nazaruddin bisa memperjelas pernyataan yang disampaikannya ketika dalam masa buron.

Namun kini setibanya di Indonesia, harapan publik pun mengapung, Nazaruddin seolah membungkam atau bisa saja dibungkam. Itu perkiraan saja. Bungkamnya mantan anggota DPR Komisi III ini, menguraikan sejumlah tanya, kenapa? Ada apa? Di tengah-tengah rasa harap cemas itu, publik seolah dibuat pesimis.

Konon katanya, tas hitam yang dibawa Nazaruddin itu telah dimusnahkan isinya yang berupa barang bukti otentik terkait keterlibatan beberapa oknum pejabat dalam berbagai kasus korupsi.

Desas-desus soal pemusnahan barang bukti yang dimiliki Nazaruddin itupun membuncah dalam acara diskusi di salah satu stasiun TV swasta.

Adu mulut pun terjadi antara OC Kaligis (Kuasa Hukum Nazaruddin) dan Michael Menufandu (Duta Besar Indonesia di Kolombia) terkait hilangnya barang bukti dalam tas Nazaruddin itu lewat teleconference pada 16 agustus 2011. Konon katanya, barang bukti dalam tas hitam itu hilang, ketika dalam penahannya di Colombia.

Skenario baru ini dapat pula dibaca sebagai upaya sistematis untuk menenggelamkan berbagai bukti terkait kasus besar korupsi. Nazaruddin bahkan terlihat bak macan ompong dan tak segarang seperti ketika dalam pelarian.

Dengan kata lain juga, ini pembungkaman terstruktur, untuk menghilangkan jejak berbagai kasus korupsi APBN.

Jika benar barang bukti itu hilang akibat upaya terstruktur, maka kejelian pemerintah perlu dipertanyakan? Pasalnya, pemulangan Nazaruddin itu menelan biaya besar, kurang lebih Rp 4 miliar.

Tapi jika pemulangannya itu tidak berdampak pada pengungkapan berbagai skandal korupsi uang negara, maka sama juga bohong. Atau terjebak dalam kesia-siaan dan permainan citra.

Politik saling bungkam ini, menggurat keraguan publik, bahwa mustahil korupsi di Indonesia bisa diberantas sedemikian rupa. Karena membungkamnya Nazaruddin, bisa saja kaitannya dengan politik saling sandra. Nazaruddin Menyandera elit demokrat dan KPK, sementara KPK dan Elit demokrat pun saling menyandra.

Ini seperti lingkaran setan, pun ibarat seutas tali, kita tak mengerti dimana pangkal dan ujungnya? Serba kabur. Ini baru huru-hara namanya, serba tidak jelas.

*Penulis adalah Anggota DPR dan Pemerhati Masalah Korupsi

Senin, 08 Agustus 2011

The end of Ideologi : Daniel Bell
Resensi buku

Judul buku      :The end of Ideologi
Penulis           :Daniel Bill
Tebal buku     :162
SBSN              :9799375193


Oleh : Laurens Bahang Dama


Kematian ideology. Itulah sepenggal pesan yang disampaikan Daniel Bell dalam bukunya yang berjudul Kematian Ideologi (terj). 

Dengan judulnya yang menohok itu, Daniel ingin menyampaikan pesan, bahwa kapitalisme saat ini telah menggurita dan menghegemoni. Artinya, ideologi lain telah dianggapnya mati dan tak berdaya.

Semisal kematian sosialisme yang ditandai dengan runtuhnya sosialisme Uni Soviet. Dan tentu, runtuhnya dan gagalnya sosialisme dalam membangun sistem ideologinya itu, memberikan ruang agresi yang jauh lebih luas bagi kapitalisme untuk mendeklarasikan kepenguasaannya terhadap dunia.

Dengan buku ini, Daniel ingin mengumandangkan pada masyarakat jagad, bahwa kedigdayaan kapitalisme tak tertandingkan. Dan ideologi lain mau tak mau harus tunduk dan meng-amini keniscayaan global yang kapitalistik. Dan dengan demikian pula, kapitalisme ibarat mulut raksasa yang bisa melumat sistem apa saja yang dinginkannya. 

Tulisan Daniel ini juga, membuka memori kita untuk mengingat tulisan “Kematian Sejarah” yang mengandaikan sejarah telah mati dalam genggaman tangan kapitalisme. Namun di balik semua argumentasi dan kepongahan itu, kita patut menyalami sisi lain dari kapitalisme.

Krtitik Ideologi
Kendatipun deklarasi kemenangan kapitalisme itu telah mendunia, paling tidak mendunia lewat coretan tangan beberapa teoritikus dan ideolog. Namun, hantaman demi hantaman terhadapnya (kapitalisme) pun cukup mengorek nalar kita untuk kembali melihat kemapanan dan ancaman kapitalisme sebagai suatu tata nilai yang meracuni dan mengobrak-abrik kehidupan masyarakat dunia.

Inilah kekhawatiran masyarakat di abad 21, yang kemudian memuntahkan kritik dan protes terhadap kapitalisme yang in-justice. Ketidakadilan kapitalisme itu memang dipertontonkan tanpa perasaan canggung dan berdosa lewat dominasi peran serta kerakusan untuk menggerus sumberdaya ekonomi negara-negara dunia ketiga. Termasuk lembaga donor raksasa yang senafas (kapitalistik) yang cenderung menghisap dengan argumentasi membantu. 

Lembaga-lembaga donor itu dengan serakahnya melumat sumber daya ekonomi di beberapa negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga umumnya. Mereka menganjurkan perbaikan ekonomi dengan privatisasi dan restrukrisasi.Padahal, anjuran kebijakan ekonomi tersebut hanya memberikan ruang penggarukan yang lebih besar lagi, dan juga merupakan bentuk lain dari de-nasionalisasi. 


Ancaman default yang menibani pemerintah Amerika Serikat (AS), adalah tanda tanya besar, bahwa apakah sistem kapitalisme masih dianggap dalam percaturan ideologi ekonomi dunia? Tak ayal, keraguan pun membanjir bahwa kapitalisme dan rezimnya, tidak lebih dari mesin penghisap. Membiarkan ruang segregasi terus membengkak. Negara yang miskin diperas agar tetap miskin, dan negara-negara yang hendak berkembang dieksploitasi dengan ragam tawaran dan jebakan-jebakan ideologi politik ekonomi.

Dalam konstelasi yang demikian, maka buku yang ditulis Daniel Bell patut disimak dalam perspektif yang kritis. Dan tentu proporsional.Pertanyaan yang layak adalah apakahideologi lain telah mati dan saat ini kapitalisme patut menjadi jargon dalam parktek-praktek ekonomi secara mondial ? ***

Rabu, 03 Agustus 2011

Haruskah KPK Bubar?

Tulisan ini menyikapi wacana pembubaran KPK Oleh Ketua DPR-RI Marzuki Ali. Tulisan ini dipublikasikan di Harian Umum POS KUPANG Edisi 5 Agustus 2011

Haruskah KPK Bubar?
Oleh : Drs. Laurens Bahang Dama

Seramai apapun protes terhadap pernyataan Marzuki Ali, Ketua DPR-RI itu tetap PD alias percaya diri bahwa yang disampaikan itu bertujuan baik. Namun, di balik pernyataannya, Marzuki tak menyadari bahwa ia sedang menghadang begitu tingginya aprsied publik terhadap standar moral dan etika di negara ini. Singkat kata, pernyataan Marzuki itu seolah resistensif dengan standar moral umum yang selama ini dianggap publik sejak nenek moyang hingga kini.

Bagi publik, korupsi adalah laku atau pun tindak yang a-moral. Karena dengan sengaja mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dengan cara apapun itu. Perbuatan memberikan maaf pada koruptor, adalah suatu tindakan melawan konstruksi moral dan etika yang selama ini diyakini dan dipercayai publik. Maka dengan pernyataan yang “seolah” melegalkan korupsi, tak mendapat ampun dan dilumat caci dan hujatan dari berbagai kalangan.

Berpihak pada Koruptor?
Tak heran, bahwa beberapa saat setelah seruan Marzuki terkait pembubaran KPK, publik pun menanyakan sebenarnya ia berpihak ke siapa? Koruptor? Atau KPK sebagai lembaga yang dipercayai masyarakat Indonesia dalam pemberantasan korupsi? Tak urung partai Demokrat tempatnya berkarir politik pun, turut terkerek ke dalam gelombang protes publik terkait kekonsistenan dalam memberantas korupsi.

Tapi di balik gemuruh protes itu, sesungguhnya Marzuki tak pandai membangun komunikasi publik yang baik untuk mem-publish-kan niat baiknya. Bangunan komunikasi politik yang buruk, hanya melahirkan kekisruhan di tengah situasi yang serba tegang dan tidak pasti soal sederetan kasus korupsi yang juga melibatkan partai Demokrat.

Di tengah kegamangan publik yang semakin dis-trust terhadap lembaga-lembaga hukum, termasuk KPK, Marzuki malah membuat situasi semakin keruh. Dus perbincangan hangat publik soal korupsi yang tengah melumat pencitraan partai Demokrat pun pupus, karena terkecoh dan beralih ke pernyataan Marzuki yang tak berisi itu.

Pernyataan Marzuki juga jika ditinjau dari kajian komunikasi politik, dapat dilihat sebagai bentuk upaya peralihan isu. Ataupun bisa sebagai upaya mengamputasi KPK di tengah kerja keras berbagai elemen sosial untuk me-revitalisasi peran KPK. Hal ini karena ia tidak mampu memilah_pisahkan KPK secara kelembagaan, dan pimpinan KPK dalam dimensi tertentu sebagai oknum.

Ketidakmampuan untuk memilah-milah pernyataan inilah yang kemudian, bisa kita anggap sebagai menciptakan kekisruhan untuk mengalihkan isu. Tradisi mengalihkan isu ini, terlihat lumrah dalam skenario komunikasi politik. Isu yang satu meneggelamkan isu yang lain. Akibatnya, konsen publik untuk mengkritik suatu soal, tenggelam dan mengaram menjadi arsip-arsip berita media masa yang tak berguna.

Jika soalnya adalah perilaku okunum pimpinan KPK yang terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, maka sejatinya yang dilakukan adalah menonaktifkan oknum tersebut. Demikian pun meng-immun KPK agar jauh lebih steril dari perilaku banal oknum pimpinan. Kesalahan oknum KPK tidak serta-merta digeneralisir sebagai penyakit bawaan yang sulit disembuhkan. Lalu kemudian seruan untuk membubarkan KPK. Seruan Marzuki itu adalah kekonyolan yang teramat.

Blok persepsi
Wal hasil, dalam tinjauan komunikasi politik juga, pernyataan Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat itu melawan arus keyakinan publik yang kuat bahwa korupsi adalah perilaku hitam, dan sampai kapan pun sulit dimaafkan. Bagi publik, persoalan korupsi adalah soal “hitam-putih”. Maka pembelaan Marzuki yang datang kemudian bahwa yang disampaikannya itu sebuah “pengandaian” adalah hal yang keliru dan dianggap iseng.

Kecelakaan komunikasi demikian, atau menghambur-hambur wacana iseng, dianggap tidak relevan dilakukan oleh seorang pejabat penting. Apalagi jabatan tersebut mewakili aspirasi rakyat Indonesia. Karena hal demikian, hanya akan menguras energi positif negeri ini.

Pasca pernyataan Marzuki, melahirkan blok persepsi yang tidak karuan. Bahkan persepsi itu terbelah dalam faksi-faksi kepentingan yang mudah diendus. Dan juga di sisi yang lain, efek pernyataan itu semakin memompa ketidakpercayaan publik terhadap KPK. Akibatnya, otoritas KPK kian menjadi tumpul dan loyo. Yang jelas, para koroptor itu bertepuk sorai dan kian menggila. Karena KPK yang dianggap sebagai hantu bubuyutan itu telah mengalami distrust oleh masyarakat Indonesia.

Pastinya, pasca pernyataan Marzuki itu, beragam protes pun berdatangan baik yang pro maupun yang kontra. Tentu ini suatu hal yang tidak perlu. Atau sebaiknya kita perlu meng-efisienkan energi dalam berdemokrasi, apalagi memperdebatkan hal-hal yang tidak berguna. Atau anak sekarang bilang “ga penting kaleee”. Semoga