Kamis, 30 Juni 2011

Konglomerasi Media


Oleh : Drs, Laurens Bahang Dama


Konglomerasi Media
"Chairul Tanjung Beli detik.com". Itulah judul berita salah satu media cetak nasional Kamis, (30/06). Sebagai orang yang bersimpati pada kerja dan idealisme pers, kok saya merasa, pers kita saat ini telah mengalami pengkooptasian pada kepentingan dan capital. Atau kasarnya, pers kita saat ini semakin mengalami konglomerasi. Tentu kondisi ini akan berakibat pada pergeseran paradigma pers. Dari paradigma sosial kritis menjadi paradigma pasar (market)

Paradigma pasar, meniscayakan pers kita akan berubah kelamin menjadi cenderung market-oriented. Ini naif, sekaligus mencedarai demokrasi kita. Padahal, pers adalah salah satu penyangga kokohnya demokrasi. Proses checks and balances tidak akan berjalan, manakala peran pers dilumpuhkan, atau sengaja dilumpuhkan, dengan menggantungkannya pada kemampuan modal an sich

Kendatipun modal diperlukan, tetapi kapitalisasi pers hanya akan merubah ruh keindependensian dan semangat kritisismenya. Di Indonesia saat ini, tidak sedikit media pers yang terkungkung dalam kepentingan pemilik modal. Logikanya adalah, kritik media tidak mungkin bersebrangan dengan pemodalnya. Kondisi inilah yang terjadi, bahwa pers kita telah tersegmentasi dalam kelompok kepentingan. Akibatnya, kita sulit mengidentifikasi keindependensian sebuah berita, manakalah berita tersebut bersentuhan dengan zona kepentingan yang melibatkan si pemodal. 

Bahasa media saat ini, sulit ditemukan social intrest dan kemurnian idealisme serta keberpihakan sosialnya. Saat ini, kita begitu mudah mengendus desain kepentingan apa di balik sebuah berita. Karena pengkooptasian pers dalam politik kepentingan itu, bukan rahasia umum lagi.

Sebab dari pengkroposan peran media ini, mengakibatkan mesin demokrasi kita berjalan tanpa kualitas.Kasarnya demokrasi kita berjalan hanya karena digerakkan oleh desain kepentingan.

Publik atau masyarakat pembaca hanya mampu dibentuk opininya, dengan harapan agar terkooptasi dalam politik kepentingan. Bukan proses pencerdasan demokrasi yang genuine.

Sampai pada titik ini, kita semestinya mampu menghentikan lajunya arus konglomerasi yang mengkooptasikan pers dalam proses industrialisme sempit. Itu pun kalau kita masih memiliki cita-cita demokrasi yang sama. Jika tidak, kita akan tetap gamang dalam memposisikan dimana seharusnya dunia pers berdialektika. 

Saat ini kita boleh akui bahwa dunia pers beitu berkembang pesat. Akan tetapi perkembangan atau menjamurnya pers tersebut, bukan serta-merta menandakan membaiknya peran social-demokratic pers. Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya pers (secara kuantitatif) tersebut, bisa juga berarti "pers merupakan lahan baru untuk proses pengkapitalisasian nilai demokrasi".



Rabu, 29 Juni 2011

Mau Kemana Politik Anggaran Kita?

Politik Anggaran?
Banyak hal yang perlu kita kritisi terkait postur APBN 2012. Pasalnya, asumsi yang disampaikan pemerintah, belum begitu signifikan dalam menggerakkan sektor riil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara subtantif. Hal ini  terlihat dari sempitnya ruang fiskal yang menggambarkan bahwa RAPBN kita hanya terfokus pada belanja-belanja terikat yang bersifat rutin dan tidak ekspansif.

Dengan demikian, bisa juga dikatakan bahwa RAPBN kita selama ini hanya terjebak pada rutinitas-rutinitas politik anggaran yang tidak berimplikasi signifikan pada perbaikan nasib rakyat. Akibat politik anggaran yang rigid tersebut juga, kita menemukan banyak kelemahan pada RAPBN 2012 yang tidak pro job dan pro poor sebagaimana yang dijanjikan SBY pada pemilu 2009.

Misalnya saja, untuk RAPBN 2012 ini, Menteri Keuangan mengusulkan agar dana sisa anggaran lebih (SAL) digunakan sebagai sumber pendanaan untuk mengurangi beban penambahan utang baru. Padahal, pada rapat sebelumnya, DPR sebegitu ngototnya terkait realisasi defisit yang untargeted pada pembangunan infrastruktur.

Bahkan DPR begitu kritis soal pemerintah yang terkesan seolah-olah berspekulasi agar anggaran defisit itu di-SAL-kan. Soalnya adalah, mau diapakan dana SAL itu? Yang dapat kita tangkap adalah, serapan anggaran yang lemah pada ranah infrastruktur, adalah pokok soal.

Pertumbuhan ekonomi tidak reliabel
Sejatinya, defisit dan SAL lebih diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur. Makanya, meski disimpan di kantong SAL, peruntukkan harus tetap pada ranah infrastruktur untuk periode anggaran berikutnya.

Pemerintah berdalaih bahwa, salah satu pengganjal investasi dalam negeri adalah kuatnya aliran capital inflow. Pemerintah khawatir, bila sewaktu-waktu capital inflow kita melambat, maka akan mengganggu stabilitas pasar Surat Berharga Negara (SBN). Untuk itu, penggunaan dana SAL untuk menjaga stabilitas pasar dan i
nvestasi dalam bentuk SBN adalah suatu keharusan.

Kita dapat berkesimpulan juga bahwa, pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini tidak reliabel. Pasalnya, klaim pertumbuhan itu lebih ditopang oleh interaksi pasar uang yang sangat bergantung pada dinamika eksternal (pasar uang global). Bukan penguatan infrastruktur dalam negeri dan riil ekonomi nasional.

Padahal kita tahu, bahwa negara yang kualitas ekonominya baik, adalah yang paling besar belanja infrastrukturnya. Pasar uang adalah salah satu sektor ekonomi padat modal. Saat ini, kita membutuhkan ekonomi padat karya yang mampu menyerap banyak angkatan kerja. Dalam rangka menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan.  

Demikian juga pasar uang dan komponennya seperti capital inflow mesti dibutuhkan, tapi tidak berimplikasi signifikan dalam menggerakan sektor riil. Modal asing dan sejenisnya, hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal besar (kapitalis/kartel) yang selama ini menciptakan tirani dalam pasar uang. Soalnya adalah pemerintah ini berpihak kemana? Rakyat atau kartel?

Kalau sampai pemanfaatan SAL untuk SBN dan sumber pendanaan beban penambahan utang ini disetujui DPR, maka kebijakan ini akan melahirkan implikasi ekonomi dan politik yang luar biasa. Atau tidak bedanya dengan kasus BLBI dan Bailout Century. Masalahnya adalah bila dana SAL yang hendak dijadikan sumber dana mengurangi beban penambahan utang dan sumber pendanaan untuk menjaga  stabilitas pasar surat berharga Negara (SBN) itu berjumlah puluhan triliun rupiah yang semestinya diperuntukkan bagi belanja infrastruktur.  

Utang yang mengutangkan
Saat ini, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang mencatat bahwa khusus untuk tahun ini (2011), kebutuhan untuk pembiayaan mencapai Rp. 288,76 triliun. Dengan rincian pengunaan adalah : Pembiayaan defisit Rp.124,7 triliun, dan kewajiban pembayaran utang Rp. 148,14 triliun.

Dalam beberpa press konferens, pemerintah mengklaim bahwa rasio pinjaman terhadap PDB terus menurun. Padahal, efektivitas pengelolaan utang tidak bisa dilihat hanya dari penurunan defisit, dan menurunnya rasio pinjaman terhadap PDB, akan tetapi yang perlu menjadi catatan kritis adalah, apakah pembiayaan utang tersebut berimplikasi pada sektor riil? Jika implikasinya rendah, maka utang tersebut tidak berkontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi, sementara di sisi yang lain, pemerintah terus membayar beban bunga dan sewaktu-waktu terancam oleh risiko utang.

Ada sejumlah anomali kebijakan makro ekonomi yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Khususnya terkait dengan manfaat dan tujuan pengelolaan utang. Sebagaimana diketahui, pembiayaan defisit APBN merupakan keputusan politik antara pemerintah dan DPR-RI antara lain kemanfaatannya untuk: 1). Menjaga stimulus fiskal melalui misalnya pembangunan infrastruktur, pertanian dan energi,dan proyek padat karya. 2). Pengembangan peningkatan kesejahteraan masyarakat misalnya PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH, Subsidi. 3). Mendukung pemulihan dunia usaha termasuk misalnya insentif pajak. 4). Mempertahankan anggaran pendidikan 20%. 5). Peningkatan anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista). Namun, persoaloannya adalah, bisakah pemerintah menunjukkan data terkait sejauh mana tingkat penyerapan anggaran “khususnya yang bersumber dari utang” terhadap lima komponen di atas? Ternyata hingga saat ini, indikator tersebut belum bisa ditunjukkan pemerintah, baik dalam bentuk data dan program.

Jika kita bersandar pada tujuan penggunaan utang dimaksud, maka bila tingkat penyerapan pada lima komponen di atas rendah, hal tersebut menandakan bahwa pengelolaan utang oleh pemerintah tidak memiliki ekses kemanfaatan bagi negara. Lalu untuk apa kita berhutang?

Selama ini, ada kecenderungan pemerintah untuk menyimpaan anggaran defisit yang tidak terserap pada kantong SAL dan Silpa. Sebenarnya ada banyak sisa anggaran yang setiap tahunnya mengucur dan terus berulang dari tahun ke tahun. Anggaran di pusat masih bersisah sekitar 15 % sedangkan anggaran dari daerah mencapai Rp 60 hingga 70 triliun.

Sepanjang 2005-2010, realisasi defisit anggaran terbesar terjadi pada 2009 dengan besaran mencapai Rp88,6 triliun atau sekira 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan realisasi 2010, defisit anggaran hanya sekira 0,7 persen atau sekira Rp 45,8 triliun. Padahal, dalam asumsi makro APBN-P 2010, defisit anggaran dipatok pada kisaran 2,1 persen.

Anehnya, meski ada sisa anggaran sejumlah itu, pemerintah masih tetap berhutang. Pertanyaannya, untuk apa utang? Sementara masih ada sisa anggaran yang tidak terpakai? Bukankah hal tersebut merupakan bentuk inefisiensi anggaran?

Rendahnya realisasi penyerapan defisit juga, membuktikan bahwa, pemerintah belum matang dalam menyusun rencana pembangunan. Semestinya, rencana anggaran dalam APBN sudah terintegrasi secara baik dengan target realisasinya. Pemerintah selalu berdalih bahwa ada hambatan. Sementara jenis hambatan yang sama terjadi dari tahun ke tahun. Apa artinya itu?

Apakah gembar-gembor pemerintah terkait penghematan anggaran birokrasi berhubungan erat dengan semakin mengecilkan ekspektasi utang pemerintah? Hal ini tentu bisa berdasarkan logika, bahwa bila pemerintah hemat, maka hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat efisiensi dan penurunan potensi utang. Namun apabila penghematan birokrasi dilakukan sementara ekspektasi utang terus meningkat, maka hal tersebut sebagai indikasi bahwa pemerintah gagal dalam pengelolaan utang negara. ***

Jumat, 24 Juni 2011

"Pemerintah Kok Pro Kartel?"

Agus Martowardoyo (Menkeu)
Review : Laurens Bahang Dama

Dalam rapat membahasan asumsi dasar RAPBN 2012 pada Kamis (23/6),  Menteri Keuangan mengusulkan agar dana sisa anggaran lebih (SAL) digunakan sebagai sumber untuk mengurangi beban penambahan utang baru. Padahal pada rapat sebelumnya, DPR (Banggar) sebegitu ngototnya terkait realisasi defisit yang untargeted.

Bahkan DPR begitu kritis soal pemerintah yang terkesan seolah-olah berspekulasi agar anggaran defisit itu di-SAL-kan.Soalnya adalah mau diapakan dana SAL itu? Yang saya tangkap adalah, serapan anggaran yang lemah pada ranah infrastruktur adalah pokok soal.Sejatinya, Defisit dan SAL lebih diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur. Makanya, meski disimpan di kantong SAL, peruntukkan harus tetap pada ranah infrastruktur.

Pemerintah berdalaih bahwa, salah satu pengganjal investasi dalam negeri adalah kuatnya aliran capital inflow. Pemerintah khawatir, bila sewaktu-waktu capital inflow kita melambat, maka akan mengganggu stabilitas investasi dalam negeri.Untuk itu Penggunaan dana SAL untuk menjaga stabilitas pasar dan ivestasi dalam bentuk SBN adalah suatu keharusan.

Dengan demikian, pemerintah mesti mempersiapkan Surat Berharga Negara (SBN) yang bersumber dari dana SAL untuk mengantisipasi hal demikian. Yang saya tidak habis fikir, kok mau-maunya menteri keuangan masuk dan ikut sibuk dalam urusan-urusan  moneter terkait SBN. Lalau apa kerja BI?  Padahal yang kita tahu, wilayah mainannya menteri keuangan adalah di ranah fiskal. Ini suatu hal yang rancu.!

Saya berkesimpulan, pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini tidak reliabel. Pasalnya klaim pertumbuhan itu lebih ditopang oleh interaksi pasar uang yang sangat bergantung pada dinamika eksternal (pasar global). Bukan penguatan infrastruktur dalam negeri dan riil ekonomi nasional.

Padahal, pasar uang dan komponennya seperti capital inflow tidak berimplikasi signifikan dalam menggerakan sektor riil. Modal asing dan sejenisnya, hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal besar (kapitalis/kartel) yang selama ini menciptakan tirani dalam pasar uang. Soalnya adalah pemerintah ini berpihak kemana? Rakyat atau kartel?

Kalau sampai pemanfaatan SAL untuk SBN dan sumber pendanaan beban penambahan utang ini disetujui DPR, hemat saya akan melahirkan implikasi ekonomi dan politik yang luar biasa. Masalahnya adalah bila dana SAL itu dijadikan sebagai sumber dana untuk mengurangi beban penambahan utang dan sumber pendanaan untuk menjaga stabilitas SBN itu berjumlah puluhan triliun rupiah. Yang saya fikirkan adalah, usulan ini dijadikan kebijakan, maka tidak bedanya dengan BLBI dan Bail Out Bank Century. Aneh !

Rabu, 22 Juni 2011

Maraknya Praktek Fraud di Perbankan Kita

Bank Mega
Kerisauan terhadap tindakan kejahatan perbankan ini diutarakan Laurens Bahang Dama anggota Komisi XI DPR-RI pada rapat kerja dengan pihak bank Mega, BI, PPATK, Pemkab Batubara dan PT Elnusa pada Selasa (22/06) di gedung nusantara I DPR-RI.

Menurut Laurens, bila praktek fraud terus terjadi dalam perbankan nasional, maka hal ini akan berakibat pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap perbankan negeri.

Kekhawatiran ini menurutnya bisa berakibat pada gangguan stabilitas moneter. "Masyarakat akan takut menyimpan uang di bank bila ancaman bocornya dana nasabah ini terus terjadi di perbankan kita".

Melalui rapat kerja itu juga, ia menegaskan, sebagai otoritas moneter, BI mesti lebih ekstra protektif mengontrol dan mengawasi geliat perbankan nakal yang saat ini marak terjadi. Kasus bank Mega adalah satu dari sekian kasus tindak kejahatan perbankan yang belum terdeteksi oleh hukum secara massif. Dan hampir tindak kejahatan perbankan ini, lebih sering terjadi akibat lemahnya pengendalian internal bank.

Meski SOP kita protectable, tapi implementasinya melibatkan oknum yang integritas moralnya rendah, juga merupakan faktor penting yang mesti diperhatikan pimpinan bank.

Drs. Laurens Bahang Dama
Ia juga mensinyalir, akhir-akhir ini motif tindak kejahatan perbankan modusnya hampir sama, yakni dana nasabah diinvestasikan oleh pihak perbankan dan mengambil keuntungan sepihak. Akibat dari tindakan sepihak ini, berbuntut pada raibnya dana nasabah.

Hal lain yang perlu juga diperhatikan perbankan kita menurut anggota DPR asal NTT ini adalah praktek cashback yang cenderung memancing para nasabah berbuat nekat.

Dalam kasus Pemkab Batubara misalnya, mereka (oknum Pemda) nekat memindahkan uang miliaran rupiah dari bank daerah (Bank Sumut) tanpa sepengetahuan Bupati setempat, hanya karena tawaran dana  cashback yang menggiurkan. Bisa saja motif cashbach ini akan berakibat pada meluasnya tindak kejahatan perbankan.

Modus seperti ini, terjadi pada Citibank dan Bank Mega. Dan pastinya bila regulasi BI dan khususnya dalam melakukan fungsi deteksi dini lemah, maka tindak kejahatan serupa terus terjadi. DPR khususnya komisi XI sebagai mitra kerja perbankan, saat ini harus lebih investigatif dalam menulusuri berbagai gejala tindak kejahatan perbankan yang semakin memprihatinkan. 

Dalam kaitan dengan raibnya dana PT Elnusa dan Pemerintah Kabupaten Batubara, Laurens berharap agar dana milik dua institusi tersebut harus dikembalikan. Sementara proses hukum harus terus berjalan. Saat ini ada indikasi tindak pencucian uang yang mesti diungkap tuntas oleh DPR. Demikian pungkasnya.*** (MS)

Senin, 20 Juni 2011

"Pendidikan Kita Semakin Neolib"


Oleh : Laurens Bahang Dama
 
Kondisi pendidikan nasional saat ini memprihatinkan. Baik dari sisi kebijakan, praktek dan implikasinya terhadap peserta didik. Sisi memprihatinkan dari institusi pendidikan dimaksud misalnya, kapitalisasi dan atau komersialkisasi pendidikan yang saat ini marak terjadi. Lembaga pendidikan yang tadinya bersifat social oriented kini berubah wajah menjadi industry dan koorporasi-minded

Institusi pendidikan didirikan, bukan karena modal social dan orientasi kemanusiaan (pencerdasan manusia), akan tetapi lebih dari itu, institusi pendidikan didirikan berdasarkan modal_materi (capital). Akibatnya, mereka-mereka yang menancapkan kaki di ranah pendidikan adalah yang memiliki modal besar (kapitalis). Akibatnya lanjutannya, lembaga pendidikan didirikan hanya sebatas untuk menggerus keuntungan dan menjadi mesin disparitas sosial yang menyedihkan. Kamuflase untuk mendirikan lembaga pendidikan pun bermacam-macam, mulai dari yang bertaraf dan berstandar internasional dan label exselent lainnya.

Dimensi lain dari sisi memprihatinkan dari pendidikan nasional saat ini adalah, distorsi moral yang seolah kini menjadi fenomena dominan dari dalam institusi pendidikan. Mulai dari tawuran antar sekolah, geng sekolah, seks bebas, dan distorsi moral sejenisnya. Bentuk kekerasan psikologis semisal kebijakan sekolah yang merugikan siswa pun masih terendus dari balik tembok dan diding sekolah. Negara pun tak segan-segan memperlakukan kekerasan dalam bentuk yang lain terhadap institusi pendidikan.

Tentu kita masih ingat, dengan penetapan standar nasional nilai rata-rata kelulusan yang berakibat pada tidak sedikit siswa yang bunuh diri, depresi berat akibat kebijakan tersebut. Tentu kebijakan ini bisa dianggap lemah, karena Negara dengan otoritasnya secara serta merta menerapkan suatu kebijakan tanpa melihat aspek-aspek non pendidikan yang turut berpengaruh terhadap kebijakan tersebut.

Akumulasi dari sekian distorsi makro pendidikan di atas, seolah menohok kita untuk bertanya, bahwa dimanakah sesungguhnya frame filosofi sisitem pendidikan nasionl kita? Berorientasi manusiakah atau berorientasi angka dan pendapatan? Berorientasi sosialkah atau berorientasi koorporasi?

Dalam linescap negara (nation), filosofi pendidikan kita berpijak pada konstitusi (Hasil amandemen UUD 1945) disebutkan dalam Pasal 31, ayat 3 bahwa : "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Dalam bingkai konstitusi di atas, maka terlihatlah, bahwa penguatan moralitas keimanan untuk membentuk peradaban bangsa adalah desain besar kebijakan pendidikan nasional. Dan tentu desain moral tersebut, harus dibarengi juga dengan bentuk kebijakan yang berbasis moral sosial. Pertanyaan kemudiaan adalah, apakah bermoral, manakalah pendidikan kita semakin mahal dan tidak berpihak pada rakyat kecil dan mereka yang tidak mampu?  

Dalam hemat kami, dimensi sosial apapun, ketika tidak memiliki prospek moral kemanusiaan dan keadilan, maka harus direvolusikan, guna membentuk tatanan nilai baru atau menancapkan nilai-nilai yang sesungguhnya dalam sistem sosial dimaksud. Dalam ranah pendidikan di Indonesia pun demikian, harus dicari bingkai filosofisnya, dalam rengka mengembalikan pendidikan pada Rahim social yang sesungguhnya. Tentu, dalam kerangka negara (nation) sistem pendidikan nasional dikembalikan pada filosofi sesungguhnya yang terkandung dalam UUD 1945. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Dalam Undang Undang juga menjelaskan kewajiban Negara terhadap pendidikan yang layak bagi warganya. Pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupkan bangsa. Hal tersebut didetailkan lebih lanjut pada batang tubuh UUD 1945 pasal 31 ayat 1-5 yang mengatur mengenai masalah pendidikan di Indonesia. Pada pasal tersebut dikatakan bahwa: (1)      Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. (2)   Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang 

Jika bercermin pada dimensi filosofi pendidikan dimaksud, maka sesungguhnya sistem pendidikan kita masih bias kemanusiaan dan keadilan. Karena sistem pendidikan kita tidak lebih dari mesin kapitalisme yang terus menggilas esensi kamanusiaan dan keadilan dalam ranah pendidikan. Sistem pendidikan kita, telah melahirkan hirarki atau kelas-kelas social baru dalam tubuh pendidikan. Pemisahan antara si kaya dan miskin begitu Nampak terjadi dalam ranah pendidikan kita. Di ranah pendidikan perguruna tinggi misalnya, dengan adanya pemberlakuan BHMN terhadap perguruan tinggi, meniscayakan adanya privatisasi perguruan tinggi negeri. Hal ini pula menggambarkan bahwa, kita telah mengalami pergeseran paradigm pendidikan, dari yang pancasilais menjadi cenderung Neolib.  

Pada pasal 37 ayat 1 UU BHP disebutkan bahwa kekayaan awal BHPP, BHPPD, atau BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan Akibat dari adanya mekanisme ini adalah meskipun BHP tersebut didirikan oleh pemerintah, kekayaannya tetap terpisah dari keuangan Negara. Kekayaan dan pendapatan BHP dikelola secara mandiri oleh institusi tersebut secara transparan dan akuntabel (pasal 37 ayat 5). Mekanisme pengelolaannya tentu serupa dengan mekanisme pengelolaan kekayaan dan pendapatan pada suatu badan hukum. Dari sisi pendanaan, Pasal 41 UU BHP menjelaskan mengenai pendanaan dari Badan Hukum Pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Pada pasal tersebut terlihat bahwa baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, tetap terdapat porsi-porsi pembiayaan yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan otomatis harus dipenuhi sendiri oleh Badan Hukum Pendidikan tersebut, baik sumber pendapatan yang berasal dari peserta didik maupun bukan, selain itu masih ada pembagian pendanaan antara BHP dan Pemerintah yang tidak jelas porsinya (lihat pasal 41). Dari sinilah terbuka beberapa mekanisme usaha bagi BHP untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Persis seperti badan hukum (perusahaan) menjalankan usahanya. Hal ini tentunya membuka lebar liberalisasi dan komersialisasi dalam institusi pendidikan.

Apalagi dalam paradigm industrialisasi, institusi pendidikan oleh pemerintah mengkategorikan sebagai bentuk usaha yang di dalamnya diperbolehkan kepemilikan saham oleh pihak asing atau swasta. Tragis, sistem pendidikan kita masuk pada fase baru dengan tendensi profit. Bagi perguruan tinggi negeri yang biasanya disubsidi pemerintah, kini dipaksakan harus bisa berdiri sendiri tanpa subsidi. Akibat dari kebijakan tersebut, PTN-PTN tersebut secara serta merta dikomersilkan guna bisa survive di tengah-tengah kompetisi pasar pendidikan. Hal ini tentu berbeda, dengan Perguruan Tinggi swasta yang selama ini sudah terbiasa dengan manajemen yayasan atau tanpa subsidi pemerintah.

Untuk anak desa dengan sumber pendapatan orang tua tidak tetap sebagai petani atau pedagang kaki lima, jangan harap bisa mengenyam pendidikan di kampus-kampus kapitalis seperti Universitas Indonesia, UGM dan perguruan tinggi kawakan sejenisnya. Itu baru strata satunya, belum lagi program pasca sarjana yang biaya kuliahnya tiap tahun kian mahal. 

Dengan berbagai fenomena itu, sejatinya kita membutuhkan suatu revolusi sistemik, dalam rangka mendekonstruksi realitas pendidikan yang memprihatinkan. Tentu revolusi dimaksud, dalam rangka mempurifikasikan ideolologi pendidikan nasional yang senafas dengan pancasila dan UUD 1945. ***


Jumat, 17 Juni 2011

"Saya Berbuat Untuk NTT"

Pada acara audance dengan FORMADA NTT
Hal tersebut disampaikan Laurens Bahang Dama pada pertemuan dengan Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian (FORMADA) pada Jumat (17/06). Dalam pertemuan tersebut, Laurens menjelaskan, keterwikalnya di DPR bukan sebatas dan terkanal oleh kelembagaan dan identitas politik. Ia berharap anggota DPR lain pun mind-set nya sama. Hal ini dalam rangka merespon agenda percepatan pembangunan NTT. Kata Laurens, saya hanya ingin berbuat untuk NTT, partai hanyalah alat perjuangan.

Menurut Laurens, dalam RAPBN 2012, ia dan tentu anggota DPR asal NTT lainnya yang ada di Komisi XI dan Badan Anggaran (Banggar) telah bekerja keras untuk memperjuangkan percepatan pembangunan NTT.Hal tersebut terlihat pada RKA 2011. 

Dalam RKA tersebut, NTT termasuk salah satu propinsi yang mendapat fokus percepatan pembangunan. "Kita tentu harus mengawal agenda ini". Demikian kata Laurens. Dan untuk mengawal agenda tersebut, segala perbedaan dan ego sektoral politik harus mencair pada satu titik kepentingan yang sama, yakni untuk pembangunan NTT.

Menurut Sekretaris Umum Kaukus Ekonomi Konstitusi ini, ego sektoral sempit tersebut terasa hingga di daerah. Kadang ada Kepala Daerah yang tidak mau menerima kunjungan, hanya karena berbeda baju partai. Padahal, Menurut dia, keterwakilan dirinya bukan semata keterwakilan partai politik, tetapi secara ideal ia merupakan representasi dari masyarakat NTT di parlemen. Dengan demikian pembatasan-pembatasan sempit dengan baju parpol bukanlah cara berfikir yang baik untuk pembangunan NTT ke depan.

Politik anggaran kita untuk NTT kadang mentok pada perbedaan-perbedaan yang tidak penting ini. Oleh sebab itu, menurut Laurens, ke depan tensi perbedaan ini harus diperkecil. Dalam rangka menyamakan persepsi terkait agenda percepatan pembangunan NTT. *** (MS) 




Rabu, 15 Juni 2011

PAN Usul Defisit APBN 2012 1,4 hingga 2%

Jakarta-Melalui Laurens Bahang Dama, Fraksi PAN mengusulkan defisit APBN 2012 sebesar 1,4-2%. Hal tersebut disampaikan pada rapat Panitia Kerja Asumsi Dasar APBN 2012. Angka tersebut dikatakan Laurens dalam rangka memacu pemerintah untuk meningkatkan penyerapan jauh lebih besar lagi. Dalam rangka memacuh pertumbuhan ekonomi. Defisit besar boleh-boleh saja, yang penting bermanfaat bagi perbaikan ekonomi. Menurut dia, selama ini, defisit kurang berimplikasi pada perbaikan pertumbuhan ekonomi, pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan.Hal tersebut dipengaruhi oleh rendahnya tingkat penyerapan defisit untuk hal-hal produktif yang berkaitan pertumbuhan ekonomi.

Selama ini, peruntukkan defisit APBN tidak jelas, dan terkesan seolah-olah hanya diperuntukkan bagi dana saldo anggaran lebih (SAL) dan sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa). Semestinya, efektifitas dan produktifitas defisit lebih dilihat pada tingkat penyerapannya, dan implikasi penyerapan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kalau realisasi defisit rendah, bagaimana mungkin diharapkan bisa berpengaruh positif terhadap PDB?

Pemerintah mengklaim bahwa penyerapan defisit sudah efektif, hal tersebut dapat dilihat pada tingkat penerimaan yang semakin membaik. Menurut Laurens, tingkat penerimaan tidak bisa dilihat sebagai ukuran efektifnya penyerapan defisit, akan tetapi hal tersebut merupakan hasil dari target penerimaan, "tidak serta-merta digeneralisir seperti itu". Demikian pungkas Laurens.

Dalam rapat yang sama Laurens menegaskan, meski penyerapan defisit tidak maksimal, akan tetapi beban pembiayaan atau beban bunga utang (defisit) terus dibayar oleh pemerintah. Hal ini justru membebani APBN dan menimbulkan inefisiensi anggaran. Olehnya itu menurut dia, satu-satunya cara adalah pemerintah mesti bekerja keras untuk meningkatkan penyerapan defisit pada sektor-sektor yang produktif. Besar kecilnya defisit tidak menjadi soal menurut anggota DPR asal NTT ini, yang penting kemanfaatannya jelas.

Pada RAPBN 2012, pemerintah mengusulkan defisit 1,4 - 1,6 %. Kecilnya defisit APBN ini menurut pemerintah dalam rangka menghilangkan risiko hutang. Menurut Laurens, seharusnya pemerintah jujur, bahwa kecilnya asumsi defisit tersebut, sebagai akibat dari "ketakutan" pemerintah dalam penyerapannya. Olehnya itu dia beranggapan asumsi defisit pemerintah tidak berdasar dan tanpa menggunakan ukuran-ukuran ekonomi yang kuat. Olehnya itu, dalam rapat Badan Anggaran Rabu, (16/6), mengambil range sementara defisit APBN 2012 sebesar 1,4 sampai 1,9 %.


Dalam rapat asumsi dasar APBN 2012 itu, menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya pemerintah mesti menekan belanja infestasi yang tidak perlu, misalnya pembelian difestasi saham PT Newmont NTB dan infestasi di luar rencana belanja lainnya. Defisit mesti digunakan untuk belanja modal dan investasi yang dapat menggerakkan sektor riil.

Selama ini, ruang fiskal dalam APBN terlalu rigid, sempit dan bersifat rutinitas (tidak ekspansif). Contoh dari sempitnya ruang fiskal dimaksud adalah masih besarnya alokasi anggaran yang sifatnya mengikat, seperti anggaran rutin untuk subsidi, pembayaran bunga utang dan belanja pegawai atau perjalanan dinas yang inefisiensi.

Untuk saat ini saja, pembiayaan dalam negeri cukup besar, dan sebahagian besar dihabiskan untuk belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp.830 triliun. Beban terbesar ada pada belanja pegawai sebesar Rp.181 triliun. Olehnya itu, rapat Badan Anggaran terkait asumsi dasar APBN 2012 mensepakati agar ke depan anggaran APBN untuk belanja pegawai, khususnya perjalanan dinas harus ditekan. Dalam rangka menciptakan efisiensi anggaran.

Belanja pegawai dan atau perjalanan dinas kurang-lebih 1-1,5% dari total APBN. Dalam rapat itu juga memutuskan bahwa, bila ditahun 2011 belanja barang tidak terserap hingga 13% dari APBN, maka ke depan Badan Anggaran menghendaki pemotongan anggaran untuk belanja barang hingga 13%. Hal tersebut dilakukan untuk mengukur sejauh mana tingkat penyerapan anggaran di tahun 2012 kelak. *** (MS)

Selasa, 14 Juni 2011

“Perlu Merubah Siklus Anggaran”

Acara Audances dengan Mahasiswa UMY
Jakarta-Demikian yang dikatakan Anggota DPR-RI Komisi XI Drs, Laurens Bahang Dama pada acara audance dengan Mahasiswa Ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin, (14/06).

Menurut Laurens, selama ini penyerapan anggaran kita cenderung lamban. Hal ini disebabkan oleh penetapan siklus anggaran waktunya terlalu lamban dan mepet. Akibatnya proses tender yang dilakukan oleh kementerian/lembaga (K/L) pun agak lambat.

Penyerapan anggaran baru dipercepat ketika dimasa akhir tahun. Sementara dimasa-masa akhir tahun itu, pemerintah sudah mulai siap-siap membahasa dan mengesahkan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk tahun anggaran berikutnya.

Kondisi-kondisi inilah menurut Laurens menjadi penyebab lambannya percepatan pembangunan. Ke depan anggoata DPR asal NTT ini berharap, adanya reformasi siklus anggaran, dalam rangka mengefektifkan  percepatan pembangunan. Jika tidak demikian, percepatan pembangunan yang selama ini digaung-gaungkan pemerintah hanya berhenti sebagai slogan belaka.

Dalam acara yang sama, Laurens juga mengatakan, politik anggaran mesti melihat aspek-aspek vital percepatan pembangunan. Dan hal ini berkaitan erat dengan pemerintah daerah. Selama ini, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ditransfer ke daerah secara lancar. Akan tetapi, indikator pembangunan infrastruktur itu belum menggerakkan sektor ekonomi riil secara signifikan.

Masalahnya, pemerintah daerah belum memiliki prioritas pembangunan. Terkadang strategi pembangunan daerah itu unconnected dengan kebutuhan riil daerah. Akibatnya, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di daerah tetap stagnan dari tahun ke tahun. Demikian yang disampaikan Laurens, dalam acara audances yang dihadiri sekitar 50 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). ***

Menyoal Pertumbuhan Ekonomi 2012

Jakarta-Dalam acara diskusi yang digelar Televisi Republik Indonesia (TVRI) Rabu (9/6) dengan tema asumsi makro APBN 2012, Laurens Bahang Dama anggota DPR-RI Komisi XI menyatakan, pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang disampaikan pemerintah dalam asumsi makro APBN, mestinya berkorelasi dengan beberapa hal pokok, yaitu perluasan lapangan kerja, dan penurunan angka kemiskinan.
Oleh Laurens dikatakan, saat ini presentase tingkat kemiskinan kita masih tinggi, yakni sebesar 12,5% dari total penduduk Indonesia. Atau jumlah orang miskin di Indonesia hampir mendekati 30 juta jiwa. Belum lagi kelompon near poor atau mereka yang rentan dengan kemiskinan. Deviasi antara penurunan angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Artinya, mereka yang sudah bekerja tapi masih saja miskin atau rentan dengan kemiskinan pun bisa menjadi soal serius bagi pemerintah.

Mestinya, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang optimistik itu, relevan dengan desain pencapaian yang dilakukan pemerintah, yaitu  strategi ekonomi yang berbasiskan perluasan lapangan kerja. Pemerintah lebih baik menekankan sektor ekonomi padat karya (labor intensive). Dengan demikian penyerapan tenaga kerja bisa terjadi. Bukan melulu konservatif dan mengimami investasi asing yang padat modal (capital intensive).
Kritik Laurens dalam acara diskusi live tersebut, jika dilihat dari sandaran ekonomi kita, pemerintah terlalu berlebihan, menaruh harapan pada stabilitas ekonomi global. Hal ini menggambarkan bahwa desain ekonomi nasional belum independen dan masih bersifat simbiotik.

Sejatinya, jika pemerintah benar-benar serius membangunan ekonomi dalam negeri, key words-nya cuma satu, seluruh sumber daya ekonomi kita ditujukan pada peluasan lapangan kerja. Hal ini akan berimplikasi pada dua hal, pengangguran akan berkurang dan secara otomatis tingkat kemiskinan pun akan tertekan. Kata Laurens itu pun bila pemerintah sungguh-sungguh.

Salah satu bentuk kesungguhan pemerintah adalah dengan menggerakkan sektor UMKM secara maksimal. Kata Laurens, pendekatan ekonomi pemerintah saat ini cenderung koorporasi-minded. Padahal UMKM merupakan salah satu sektor ekonomi riil yang paling besar berandil dalam menyerap angkatan kerja.
Saat ini, satu-satunya faktor penghambat bagi UMKM adalah tersumbatnya jalur atau akses untuk mendapatkan modal serta masih besarnya bunga KUR di Indonesia. Social responsibility perbankan kita masih rendah dalam menggerakkan UMKM. Demikian pun pemerintah, belum begitu berani mengintervensi perbankan untuk lebih berpihak pada pelaku UMKM.

Kita bisa melihat Cina, mereka sebegitu ekspansif dan menggeliat di kawasan Asia. Itu karena desain ekonominya jelas. Di sana (Cina), bunga kredit KUR-nya cuma 3%, dan itu langsung diintervensi pemerintah pusat. Hasilnya, produk Cina menjadi raja di hampir seluruh pasar Asia termasuk Indonesia. Meskipun secara demokgrafi penduduk Cina terbilang cukup besar. Tapi mereka mampu memperkecil tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Saat ini, siap tidak siap, Indonesia akan menghadapi era masyarakat Ekonomi Asia pada tahun 2015 kelak. Suatu era yang memaksa kita untuk berpacu dan menggerakkan segala sumber daya ekonomi nasional. Jika kondisi perekonomian kita masih biasa-biasa saja seperti hari ini, maka jangan harap kita mampu menjadi kompetitor terbaik di kawasan Asia.*** (MS)

Senin, 13 Juni 2011

Revitalisasi Energi

Pertamina pesimis ihwal beban lifting yang diberikan pemerintah dalam asumsi makro APBN 2012 “katanya” terlalu besar. Pesimisme ini kemudian menggurat sejumlah soal yang perlu kita cerna. Pasalnya, salah satu sebab ketergantungan kita terhadap minyak dunia, adalah dikarenakan produksi dalam negeri kita belum mengalami peningkatan.

Ketergantungan terhadap minyak dunia ini, menyebabkan tingkat kegetasan ekonomi kita khusus disektor energi begitu rapuh dan sangat bergantung pada minyak dunia.

Lihat saja, ketika terjadi resesi politik Timur tengah yang berimplikasi pada fluktuasi harga minyak dunia, pengaruhnya terhadap ICP kita begitu signifikan. Yang menjadi core point kita adalah. faktor minyak memiliki multy player efect terhadap sektor vital ekonomi nasional.

Misalnya saja, ketiga terjadi kenaikan harga minyak, maka biaya produksi pun membengkak. Dengan beban biaya produksi yang membengkak itu, serta-merta akan mempengaruhi harga barang. Khususnya terkait kebutuhan pokok. Yang pasti, inflasi tak terhindarkan.

Saat ini, selain ide konversi, yang kita butuhkan juga adalah terkait revitalisasi sumur-sumur minyak yang ada di Indonesia. Meski lebih banyak sumur tua, bila direvitalisasi dengan baik, maka akan cukup membantu lifting minyak kita. ***

Selasa, 07 Juni 2011

Analisis Terhadap APBN 2012

Jika dilihat secara menyeluruh, kerangka asumsi Makro ekonomi yang disampaikan oleh pemerintah untuk APBN 2012, maka kerangka asumsi makro tersebut berorientasi pertumbuhan (angka) an sich. Hal ini dapat dilihat dari sebegitu besarnya pemerintah menaruh harapan pada stabilitas ekonomi global dan capital inflow. Bukan penguatan kapasitas fiskal berbasiskan penerimaan domestik dan pertumbuhan ekspor serta sector ekonomi domestic lainnya (pertanian, energi, industri, dan perdagangan). Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakefektifan pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang komprehensif serta belum jelasnya grand design ekonomi nasional. Kondisi ini dapat dilihat dari beberapa dimensi : Pertama : Ketika negara lain mengalami kenaikan pertumbuhan, tidak serta merta Indonesia juga mengalami percepatan pertumbuhan, oleh pemerintah selalu dikatakan ada faktor lain (selain faktor global) mengapa pertumbuhan tidak mencapai target maksimal? Artinya, pemerintah tidak memiliki standar dan desain jelas terkait upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kedua : Pada sisi yang lain, ketergantungan terhadap kondisi luar negeri juga mengabaikan makna dan potensi pertumbuhan yang disokong oleh produksi dan jual beli yang terjadi dalam negeri.
Selain kedua aspek ini, pertumbuhan ekonomi (6,5%-6,9) yang bersandar pada stabilitas ekonomi global yang dioptimiskan pemerintah, dipersoal oleh beberapa hal :

Pertama : Ada sejumlah kebijakan strategis yang akan mempengaruh arah ekonomi nasional pada tahun 2012. Diantaranya adalah, dengan bersandar pada membaiknya perekonomian dunia, melahirkan dua dimensi pengaruh terhadap perekonomian nasional. Pertama : Perdagangan dunia diperkirakan sedikit lebih besar sehingga tahun depan ekspor kita akan lebih baik dari tahun ini. Akan tetapi, dengan membaiknya perekonomian dunia tersebut, akan mempengaruhi perbedaan pertumbuhan ekonomi Negara maju. Atau semakin kecil perbedaan antara pertumbuhan ekonomi Negara maju dengan Indonesia. Karena semakin kecil perbedaannya, maka capital inflow-nya juga akan semakin kecil, atau tidak sebesar tahun ini. Ditahun ini pertumbuhan capital inflow kita membaik karena perbedaan ekonomi di Indonesia dan Negara-negara maju agak besar, sehingga memacuh masuknya capital inflow. Kondisi ini akan berdampak pada nilai tukar dan aspek makro lainnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan pemerintah dalam APBN 2012 sebesar 6,5-6,9% adalah angka-angka yang rapuh dan perlu ditelaah lagi. Agar tidak memberikan harapan di atas kertas semata. 



Kedua : Kapasitas perekonomian nasional sudah terpakai secara penuh. Dengan demikian supplay side mulai penuh terutama di sector infrstruktur. Dengan demikian, jika tidak ada perkembangan yang berarti dalam pembangunan infrastruktur, maka dengan demikian, untuk memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 6,5 – 6,0 % sebagaimana yang diasumsikan pemerintah akan mengalami hambatan berarti. Perekonomian kita bisah tumbuh tetapi range-nya kecil. Dan kalau dipaksakan naik, maka inflasinya yang akan melonjak cepat.




Ketiga : Kendatipun ke depan Indonesia diperkirakan memperoleh investmant grade, dengan demikian harapan ketertarikan investor asing akan lebih baik dari tahun ini. Namun, hal tersebut perlu disokong oleh pertumbuhan infrastruktur yang baik. Namun, yang perlu menjadi catatan kita adalah, pencapaian insfrastruktur yang baik itu, tidak bisa disulap dalam satu tahun. Dengan kondisi yang demikian, maka asumsi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang disampaikan oleh Pemerintah dalam asumsi makro APBN 2012 terlalu besar mulut dan optimistic.
Selain hal‐hal di atas, bicara pertumbuhan juga berbicara mengenai 3 hal.
Pertama,neraca perdagangan (trade balance), antara ekspor dan impor barang. Kedua, neraca jasa (service balance), terdiri sektor jasa faktor seperti repatriasi laba perusahaan, pendapatan tenaga kerja kita di luar negeri dan tenaga kerja asing di Indonesia, dan pembayaran bunga pinjaman; dan non faktor seperti: transportasi, asuransi, pariwisata, jasa keuangan, dan jasa profesional. Kalau antara pertama dan kedua digabung, disebut akun semasa (current account). Dan
Ketiga, neraca modal (capital account) berupa arus atau lalu lintas modal atau uang. Kalau ketiga transaksi luar negeri tersebut dikonsolidasi, maka kita mengenal istilah neraca pembayaran (balance of payment). Neraca pembayaran inilah yang juga yang mempengaruhi besaran cadangan devisa
Jika menghitung trade balance, Indonesia selalu menunjukkan surplus. Namun, ketika masuk pada service balance, sejak lama kita mengalami defisit struktural dalam perdagangan jasa.
Dalam laju pertumbuhan tahun 2010 misalnya, pertumbuhan sector perdagangan jasa tergolong lamban terhadap pertumbuhan PDB sektoral. Bahkan target yang telah dicapai pada tahun 2007 sebesar 6,3% malah menurun menjadi 6,1 ditahun 2010.

Padahal jika dilihat, sector jasa merupakan salah satu sector ekonomi yang paling produktif Dalam menggerakkan sector rill terutama terkait dengan perluasan lapangan pekerjaan dan penurunan tingkat kemiskinan. Selama ini kebijakan pemerintah lebih banyak ditekankan pada capital account dan mengabaikan service balance.
Karena itu, pertumbuhan sangat digantungkan oleh modal asing sembari mengabaikan perbaikan pelayanan publik yang sebenarnya menyokong bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Padahal potensi mengembangkan surplus neraca jasa sangat besar, ini ditandai banyaknya pasien yang berobat ke luar negeri, dan pekerja dan perusahaan Indonesia yang berkantor di negara lain. Pertanyaannya, apakah dalam asumsi makro APBN 2012 ini, pemerintah bersungguh-sungguh dalam mendorong pertumbuhan neraca jasa (service balance) sebagai salah satu komponen pijakan pertumbuhan ekonomi nasional? Dengan hanya semata-mata bersimbiosis pada stabilitas ekonomi global, maka jangan harap pertumbuhan ekonomi kita bisa berdampak pada pertumbuhan sector riil. 

Jadi, ke depan jika pemerintah serius ingin mengembangkan perekonomian dalam negeri, maka neraca jasa harus mendapat prioritas. Dalam prakteknya, neraca jasa ini bisa dinaikkan apabila kebijakan publik pemerintah mendukung bagi kedekatan akses masyarakat yang berjumlah ebih 200 juta ini ke pelayanan publik yang optimal.
Negara mesti berperan lebih baik, mengedepankan kemungkinan terjadi transaksi dalam negeri dan menyiapkan transaksi internasional yang sehat.
Dengan pendekatan ini, maka pertumbuhan akan menyentuh sektor riil, bukan ekonomi perbankan dan pasar finansial yang blunder, karena seolah menjamin pertumbuhan dan cadangan devisa negara, tetapi sebenarnya negara sedang disandera oleh modal luar negeri.

Dengan cara demikian, maka kebijakan stimulus fiskal (termasuk insentif pajak) mesti ditinjau ulang untuk menggerakkan sektor riil ekonomi masyarakat, dan mengurangi sebesarbesarnya investasi non sektor riil yang tidak berdampak pada masyarakat. Pendekatan ini juga mengurangi investasi asing di pasar modal, untuk mengurangi masalah dalam negeri dan secara fundamental menyentuh sektor riil.
Dalam RKP 2012 Pemerintah memiliki target dengan indikator utama : Pertumbuhan ekonomi : 6,5-6,9%, tingkat pengangguran dari 6,4-6,6 % kemudian penurunan angka kemiskinan 10,5-11,5 %. Yang menjadi core point kita adalah, apakah apakah dengan asumsi pertumbuhan yang demikian, penurunan pengagruran bisa didorong oleh pemerintah jauh lebih baik dari tahun ini?  Pada tahun 2010, berdasarkan data pemerintah presentase kemiskinan kita 13,33% sedangkan pengangguran 7,41%. Artinya bahwa ada selisih 5,94% dan itu adalah jumlah orang-orang yang bekerja tetapi masih miskin.
Menurut hemat saya dalam asumsi makro APBN ini kita perlu menekankan beberapa hal : Pertama : Investasi lebih didorong kearah sector yang lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan. Investasi lebih didorong ke sector padat karya tidak melulu padat modal

Kedua : Dalam asumsi makro APBN 2012 ini, sebaiknya pemerintah memasukkan suatu sitem pengkategorian kelompok masyarakat hamper miskin (near poor) dalam program penurunan presentase tingkat kemiskinan. Karena kelompok near poor ini semakin bertambah dan berisiko memberikan sumbangsih betmabhanya penduduk miskin.

Dengan orientasi pengetatan fiskal, maka dalam asumsi makro APBN 2012 cenderung tidak ekspansif, hal tersebut dapat dilihat dari asumsi devisit yang disampaikan pemerintah. Padahal, devisit dalam dimensi tertentu diperlukan untuk sector-sektor produktif yang berdampak pada sector riil.
Kepariwisataan belum ter-cover dalam asumsi makro APBN 2012, padahal, sector kepariwisataan tergolong salah satu sector ekonomi yang memberikan sumbangsih terhadap peningkatan PDB
Asumsi makro APBN 2012 terhadap sector energ cenderung jalan di tempat, karena hanya mengandalkan produksi dalam negeri yang juga masih rendah. Dalam asumsi makro APBN 2012, sebaiknya pemerintah sudah merencanakan perlunya diversifikasi sector energi. Tidak hanya dikonfersi dari minyak ke gas, tapi juga perlu beralih ke revitalisasi energy biotik. Agar kita tidak terus bergantung pada minyak impor