Senin, 20 Juni 2011

"Pendidikan Kita Semakin Neolib"


Oleh : Laurens Bahang Dama
 
Kondisi pendidikan nasional saat ini memprihatinkan. Baik dari sisi kebijakan, praktek dan implikasinya terhadap peserta didik. Sisi memprihatinkan dari institusi pendidikan dimaksud misalnya, kapitalisasi dan atau komersialkisasi pendidikan yang saat ini marak terjadi. Lembaga pendidikan yang tadinya bersifat social oriented kini berubah wajah menjadi industry dan koorporasi-minded

Institusi pendidikan didirikan, bukan karena modal social dan orientasi kemanusiaan (pencerdasan manusia), akan tetapi lebih dari itu, institusi pendidikan didirikan berdasarkan modal_materi (capital). Akibatnya, mereka-mereka yang menancapkan kaki di ranah pendidikan adalah yang memiliki modal besar (kapitalis). Akibatnya lanjutannya, lembaga pendidikan didirikan hanya sebatas untuk menggerus keuntungan dan menjadi mesin disparitas sosial yang menyedihkan. Kamuflase untuk mendirikan lembaga pendidikan pun bermacam-macam, mulai dari yang bertaraf dan berstandar internasional dan label exselent lainnya.

Dimensi lain dari sisi memprihatinkan dari pendidikan nasional saat ini adalah, distorsi moral yang seolah kini menjadi fenomena dominan dari dalam institusi pendidikan. Mulai dari tawuran antar sekolah, geng sekolah, seks bebas, dan distorsi moral sejenisnya. Bentuk kekerasan psikologis semisal kebijakan sekolah yang merugikan siswa pun masih terendus dari balik tembok dan diding sekolah. Negara pun tak segan-segan memperlakukan kekerasan dalam bentuk yang lain terhadap institusi pendidikan.

Tentu kita masih ingat, dengan penetapan standar nasional nilai rata-rata kelulusan yang berakibat pada tidak sedikit siswa yang bunuh diri, depresi berat akibat kebijakan tersebut. Tentu kebijakan ini bisa dianggap lemah, karena Negara dengan otoritasnya secara serta merta menerapkan suatu kebijakan tanpa melihat aspek-aspek non pendidikan yang turut berpengaruh terhadap kebijakan tersebut.

Akumulasi dari sekian distorsi makro pendidikan di atas, seolah menohok kita untuk bertanya, bahwa dimanakah sesungguhnya frame filosofi sisitem pendidikan nasionl kita? Berorientasi manusiakah atau berorientasi angka dan pendapatan? Berorientasi sosialkah atau berorientasi koorporasi?

Dalam linescap negara (nation), filosofi pendidikan kita berpijak pada konstitusi (Hasil amandemen UUD 1945) disebutkan dalam Pasal 31, ayat 3 bahwa : "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Dalam bingkai konstitusi di atas, maka terlihatlah, bahwa penguatan moralitas keimanan untuk membentuk peradaban bangsa adalah desain besar kebijakan pendidikan nasional. Dan tentu desain moral tersebut, harus dibarengi juga dengan bentuk kebijakan yang berbasis moral sosial. Pertanyaan kemudiaan adalah, apakah bermoral, manakalah pendidikan kita semakin mahal dan tidak berpihak pada rakyat kecil dan mereka yang tidak mampu?  

Dalam hemat kami, dimensi sosial apapun, ketika tidak memiliki prospek moral kemanusiaan dan keadilan, maka harus direvolusikan, guna membentuk tatanan nilai baru atau menancapkan nilai-nilai yang sesungguhnya dalam sistem sosial dimaksud. Dalam ranah pendidikan di Indonesia pun demikian, harus dicari bingkai filosofisnya, dalam rengka mengembalikan pendidikan pada Rahim social yang sesungguhnya. Tentu, dalam kerangka negara (nation) sistem pendidikan nasional dikembalikan pada filosofi sesungguhnya yang terkandung dalam UUD 1945. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Dalam Undang Undang juga menjelaskan kewajiban Negara terhadap pendidikan yang layak bagi warganya. Pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupkan bangsa. Hal tersebut didetailkan lebih lanjut pada batang tubuh UUD 1945 pasal 31 ayat 1-5 yang mengatur mengenai masalah pendidikan di Indonesia. Pada pasal tersebut dikatakan bahwa: (1)      Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. (2)   Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang 

Jika bercermin pada dimensi filosofi pendidikan dimaksud, maka sesungguhnya sistem pendidikan kita masih bias kemanusiaan dan keadilan. Karena sistem pendidikan kita tidak lebih dari mesin kapitalisme yang terus menggilas esensi kamanusiaan dan keadilan dalam ranah pendidikan. Sistem pendidikan kita, telah melahirkan hirarki atau kelas-kelas social baru dalam tubuh pendidikan. Pemisahan antara si kaya dan miskin begitu Nampak terjadi dalam ranah pendidikan kita. Di ranah pendidikan perguruna tinggi misalnya, dengan adanya pemberlakuan BHMN terhadap perguruan tinggi, meniscayakan adanya privatisasi perguruan tinggi negeri. Hal ini pula menggambarkan bahwa, kita telah mengalami pergeseran paradigm pendidikan, dari yang pancasilais menjadi cenderung Neolib.  

Pada pasal 37 ayat 1 UU BHP disebutkan bahwa kekayaan awal BHPP, BHPPD, atau BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan Akibat dari adanya mekanisme ini adalah meskipun BHP tersebut didirikan oleh pemerintah, kekayaannya tetap terpisah dari keuangan Negara. Kekayaan dan pendapatan BHP dikelola secara mandiri oleh institusi tersebut secara transparan dan akuntabel (pasal 37 ayat 5). Mekanisme pengelolaannya tentu serupa dengan mekanisme pengelolaan kekayaan dan pendapatan pada suatu badan hukum. Dari sisi pendanaan, Pasal 41 UU BHP menjelaskan mengenai pendanaan dari Badan Hukum Pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Pada pasal tersebut terlihat bahwa baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, tetap terdapat porsi-porsi pembiayaan yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan otomatis harus dipenuhi sendiri oleh Badan Hukum Pendidikan tersebut, baik sumber pendapatan yang berasal dari peserta didik maupun bukan, selain itu masih ada pembagian pendanaan antara BHP dan Pemerintah yang tidak jelas porsinya (lihat pasal 41). Dari sinilah terbuka beberapa mekanisme usaha bagi BHP untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Persis seperti badan hukum (perusahaan) menjalankan usahanya. Hal ini tentunya membuka lebar liberalisasi dan komersialisasi dalam institusi pendidikan.

Apalagi dalam paradigm industrialisasi, institusi pendidikan oleh pemerintah mengkategorikan sebagai bentuk usaha yang di dalamnya diperbolehkan kepemilikan saham oleh pihak asing atau swasta. Tragis, sistem pendidikan kita masuk pada fase baru dengan tendensi profit. Bagi perguruan tinggi negeri yang biasanya disubsidi pemerintah, kini dipaksakan harus bisa berdiri sendiri tanpa subsidi. Akibat dari kebijakan tersebut, PTN-PTN tersebut secara serta merta dikomersilkan guna bisa survive di tengah-tengah kompetisi pasar pendidikan. Hal ini tentu berbeda, dengan Perguruan Tinggi swasta yang selama ini sudah terbiasa dengan manajemen yayasan atau tanpa subsidi pemerintah.

Untuk anak desa dengan sumber pendapatan orang tua tidak tetap sebagai petani atau pedagang kaki lima, jangan harap bisa mengenyam pendidikan di kampus-kampus kapitalis seperti Universitas Indonesia, UGM dan perguruan tinggi kawakan sejenisnya. Itu baru strata satunya, belum lagi program pasca sarjana yang biaya kuliahnya tiap tahun kian mahal. 

Dengan berbagai fenomena itu, sejatinya kita membutuhkan suatu revolusi sistemik, dalam rangka mendekonstruksi realitas pendidikan yang memprihatinkan. Tentu revolusi dimaksud, dalam rangka mempurifikasikan ideolologi pendidikan nasional yang senafas dengan pancasila dan UUD 1945. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar