Senin, 05 Maret 2012

Ekonomi 2012, Masih Optimiskah Pemerintah?

Oleh : Drs. Laurens Bahang Dama


Wakil Mentri Keuangan Anny Ratnawati bulan lalu (Februari 2012) menegaskan, meski kita membatasi atau menaikkan harga BBM bersubsidi, namun kebijakan tersebut belum bisa membuat surplus APBN 2012. Pasalnya, saat ini harga minyak dunia terhadap harga minyak di Indonesia atau Indonesia Crude Prices (ICP) semakin mahal, demikian juga target kemampuan produksi minyak dalam negeri atau lifting kita yang semakin merosot.

Tidak hanya itu, potensi membengkaknya defisit pun sulit ditampik. Soalnya adalah, meningkatnya harga minyak dunia atau ICP akan berefek pada pengikisan anggaran dalam APBN. Akibatnya pemerintah terpaksa mencari sumber anggaran lain, untuk menyumbat besarnya pengeluaran atau pembiyaan defisit. Baik melalui pinjaman dan fasilitas lainnya sebagai bantalan anggaran untuk menopang APBN 2012.

Dengan kapasitas produksi atau pencapaian lifting pada tahun 2011 yang hanya 905.000 bph, jauh dari rasio kebutuhan minyak dalam negeri sebesar 1, 242 juta barel oil ekuivalen per hari. Itu berarti ketergantungan kita terhadap minyak impor saat ini adalah sebesar Rp. Rp.337.000 barel per hari (bph). Atau setara dengan 349,570,100,000. Itu artinya, apabila anggaran APBN yang ada saat ini bocor akibat terlampaunya harga minyak atau ICP dalam asumsi makro APBN 2012 dan kebocoran subsidi, yang berarti pemerintah harus mencari sumber anggaran tambahan.

Hal tersebut tentu akan berakibat pada membengkaknya defisit, karena Setiap kenaikan harga minyak 1 dollar AS per barrel di atas asumsi akan menambah defisit APBN Rp 0,8 triliun. Belum lagi dengan lifting yang lebih rendah, defisit akan bertambah. Sebab, setiap lifting lebih rendah 10.000 barrel per hari dari target, penerimaan migas akan lebih rendah Rp 2,7 triliun. Dengan demikian, anggaran yang ada dalam APBN tidak mencukupi dan berimbang dengan kecenderungan meroketnya harga minyak dunia.

Sebab eksternal

Dua hari lalu, tepatnya 20 Februari 2012, Iran memberhentikan penjualan minyaknya ke negara-negara kawasan Eropa sebagai bentuk konfrontasi Iran terhadap Amerika yang memboikot negara para mullah itu. Dalam hemat kita, kondisi ini akan memprovokasi harga minyak dunia terus meroket. Apalagi sampai diperparah dengan penutupan selat Harmoz yang menjadi jalur supply minyak di kawasan Timur Tengah. Implikasi langsungnya akan merangsak ke negara-negara produsen minyak termasuk Indonesia. Pasalnya hingga saat ini, kita masih bergantung pada minyak impor, akibat target pencapaian lifting kita yang hingga saat ini masih belum mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri.

Dalam asumsi makro APBN 2012, pemerintah menargetkan pencapaian lifting kita sebesar 950 000 bph. Sementara lifting yang dicapai tahun 2011 baru 905. 000 bph. Artinya, kinerja industri perminyakan kita harus digenjot kemampuan produksinya untuk menyumbat kekuarangan target lifting sebesar 45.000 bph. Di kondisi yang lain, beban APBN untuk jenis bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pun berpotensi menggerus APBN. Pasalnya fasilitas subsidi yang mestinya diperuntukkan bagi rakyat kecil itu pun cenderung salah sasaran. BBM bersubsidi selama ini lebih banyak digunakan oleh orang-orang mampu termasuk sektor industri. Akibat tidak tepat sasarannya subsidi tersebut, APBN terbebani dan tergerus dari tahun ke tahun.

Saat ini, kita masih dalam kondisi yang kurang fit dalam menghadapi meroketnya harga minyak dunia. Mahalnya harga minyak jenis pertamax akibat krisis minyak dunia, membuat semua kelas masyarakat termasuk kelas menengah ke atas beralih ke BBM jenis premium (bersubsidi).

Tentu kita faham, bahwa bila penggunaan BBM bersubsidi melampaui kapasitas yang disediakan pemerintah, maka pastinya APBN kita terpaksa harus jebol lagi, untuk menyumbat kemungkinan menipisnya stok BBM bersubsidi. Itu pun jika kita masih memiliki kapasitas anggaran yang mencukupi. Jika tidak, maka pemerintah berhutang lagi. Dan itu berarti celah defisit dalam APBN akan melebar. Dalam UU APBN 2012, defisit kita tidak boleh lebih 3 persen. Namun jika kita lihat, potensi membesarnya defisit itu ada di depan mata, bahkan bila tanpa road map yang jelas terhadap harga minyak, bisa-bisa angka defisit kita melebihi 3 persen dari APBN 2012. Ditahun 2012 ini, kuota BBM bersubsidi yang disiapkan pemerintah dalam APBN 2012 adalah 40 juta kilo liter BBM Premium, atau setara dengan Rp 123,599 triliun. Stok dana ini berkemungkinan terus menipis, seiring membengkaknya subsisidi yang salah sasaran, naiknya harga minyak dunia terhadap ICP serta lifting yang tidak memenuhi target.

Road map baru pemerintah

Menurut data Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas, kuota konsumsi BBM bersubsidi sepanjang kuartal I-2011 hanya 9,1 juta kilo liter (dari total kuota BBM subsidi menurut APBN 2011 sebesar Rp 38,5 juta KL). Namun, ternyata saat itu, konsumsinya mencapai 9,6 juta kilo liter. Jumlah konsumsi naik 6,6% dibandingkan dengan konsumsi diperiode yang sama tahun lalu (2010) yang hanya mencapai 9,08 juta kilo liter. (Kontan, 16/4).

Logikanya, bila ekspektasi masyarakat untuk membeli kenderaan bermotor semakin besar dalam kurun waktu kuartal II-III 2011 saja, maka stok BBM bersubsidi kita akan terkikis perlahan-lahan. Ditambah lagi selama kuartal I-2011, produksi minyak mentah Indonesia merosot menjadi 22.500 barel per hari. Demikian juga lifting minyak selama 2011 yang hanya berkisar 905.000 bph. Jauh dari asumsi makro APBN 2011 sebesar 970.000 bph.

Belajar dari besarnya beban subsidi yang kemudian tidak tepat sasaran pada tahun 2011 itu, maka saat ini pemerintah mesti ekstra hati-hati dalam memanfaatkan dana subsidi pada APBN 2012, karena jika kita telaah, risiko-risiko terkait potensi tergerusnya anggaran subsidi tersebut ada di depan mata. Mulai dari meroketnya harga minyak dunia terhadap Indonesia atau ICP, hingga target produksi minyak mentah dalam negeri atau lifting yang tidak mencapai target asumsi APBN 2012.

Dengan dua kondisi tersebut, maka sejatinya pemerintah sudah memiliki road map terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Termasuk regulasi terhadap kompensasi BBM, manakalah pemerintah pada akhirnya menaikkan harga BBM. Demikian juga sudah saatnya pemerintah memiliki road map terkait diversifikasi atau mencari energi alternatif untuk meminimalisasi ketergantungan terhadap sumber energi minyak. Demikian pun upaya pemerintah untuk meningkatkan tingkat produktifitas sumur minyak untuk mencapai target lifting. Jika tidak, pemerintah akan terjebak, dalam pesimisme yang tak berakhir ditahun 2012 ini. []

Selasa, 17 Januari 2012

PBI Nomor 13 Tahun 2011 Belum Responsif

Peraturan Bang Indonesia No 13 Tahun 2011 saat ini belum responsif menanggapi berbagai fakta kekerasan terhadap pemilik kartu kredit. Pasalnya, PBI yang diharapkan menjadi pemecah masalah terhadap fenomena kekerasan oleh debt collector malah menjadi tidak jelas juntrungannya.

Kerancuhan tersebut dapat dilihat dari penggunaan alih daya yang porsinya diberikan pada tugas penunjang atau pendukung usaha perbankan malah dianeksasikan pada tugas pokok perbankan (lihat bagian penjelasan pada PBI No 13 Th 2011).

Penjelasan ini bertentangan dengan Pasal 4 bahwa : Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha Bank dan pada alur kegiatan
pendukung usaha Bank.

Sejatinya, kegiatan penagihan kredit merupakan bagian inheren dari tugas pokok perbankan yang berdasarkan UU ketenagakerjaan tidak boleh di outsourcing. Sementara oleh salah satu Diputi Gubernur BI pada RDP dengan Komisi XI DPR RI pada tanggal 17 Jan 2011 menjelaskan bahwa alih daya boleh digunakan pada untuk kredit bermasalah. Dengan penjelasan ini, maka BI belum sungguh-sungguh mencari jalan terbaik untuk melindungi nasabah dari kebanalan debt collector yang bukan lagi menjadi rahasia umum.

Kendatipun demikian, dalam bab penjelasan PBI tersebut masih terkesan rancuh dan tidak menukik pokok soal secara kontekstual Hal itulah yang membuat saya begitu "kekeh" mempersoalkan pasal terkait "alih daya" sebagaimana yang juga dipersoalkan oleh anggota DPR Komisi XI lainnya.

Sejak kasus kematian Irjen Octa di kantor City Bank, berbagai pihak ramai memperbincangkan prinsip kehati-hatian perbankan dalam melakukan pelayanan pada konsumen. Demikian juga kasus penganiayaan debt collector terhadap nasabah kartu kredit Bank UOB Muji Harjo. Muji memiliki utang kartu kredit di bank UOB senilai RP 12 juta, karena belum mampu bayar, ia dianiaya debt collector hingga menaggung beban perawatan akibat aniaya sebesar Rp 70 juta. Dan tentu berbagai tindakan kekerasan lainnya oleh debt collector yang perlu dijawab komprehensif oleh PBI No 13 Tahun 2011.

Dalam kesempatan yang sama, Komisi XI DPR RI menekankan agar BI sebagai otoritas regulasi perbankan, harus memiliki devisi khusus untuk melayani pengaduan konsumen perbankan. Pasalnya, selama ini, pengaduan konsumen atau nasabah atas pelayanan bank, tidak terselesaikan dengan baik. Padahal ini tugas BI. Dalam kasus Muji misalnya, ia sudah menulis surat pengaduan kepada Gubernur BI (Darmin Nasution), tapi pengaduan tersebut tidak digubris, akibatnya Muji menulis surat terbuka di www.kompasiana.com.

Akibat belum jelasnya PBI No 13 Th 2011 dalam meng-cover berbagai persoalan buruknya pelayanan bank terhadap konsumen (nasabah), maka Komisi XI DPR RI pun menunda pembahasan terkait PBI dan dilanjutkan setelah adanya perbaikan komprehensif terhadap PBI No 13 Tahun 2011. []

Kamis, 12 Januari 2012

Defisit Kemanusiaan dan Musim Radikalisme Rakyat

NTT Online News
Jumat, 06 Januari 2012 23:40
Oleh Laurens Bahang Dama
(Anggota DPR-RI Periode 2009-2014)


Diakhir tahun 2011 yang lalu, ada sederet panjang peristiwa kekerasan yang memilukan bangsa ini. Dari peristiwa Masuji-Sumatera Selatan hingga petaka berdarah yang terjadi di Bima-Nusa Tenggara Barat (NTB). Peristiwa demi peristiwa ini, seakan menggambarkan defisitnya takaran nilai kemanusiaan Bangsa ini.
Bahkan defisit nilai kemanusiaan itu, seakan mematenkan bahwa polisi sebagai alat negara, terlihat garang dan banal terhadap rakyat yang seharusnya diayomi dan dilindungi.

Kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan juga terlihat melembaga di institusi kepolisian. Hal ini dapat dilihat dari begitu mudahnya aparat polisi memuntahkan peluru tajam mematikan dalam penanganan berbagai aksi masa belakangan ini.

Jika kita timbang-timbang, maka polisi sebagai alat negara, sejatinya juga pandai memainkan instrument-instrumen sosial dalam menyikapi berbagai aksi massa (dalam bentuk apapun itu) dari pada menggunakan instrument militeristik yang mematikan. Instrumen sosial dimaksud adalah, lebih menggunakan cara-cara persuasif dengan berbagai alternatif pendekatan sosial-humanistik.

Sebagai elemen Kamtibmas, mestinya polisi lebih pandai menguasai pendekatan sosiologis dalam memenej dan meredam berbagai potensi konflik yang menggejala di masyarakat. Yang kita lihat dari berbagai penanganan polisi terhadap aksi massa, terutama dua peristiwa yang terjadi diakhir tahun 2011, polisi seakan memposisikan diri sebagai bagian koorporasi dan mengambil posisi vis a vis dengan masyarakat. Pertanyaannya, polisi berpihak ke siapa? Rakyat? Atau korporasi?

Dalam berbagai terstimoni yang dipublikasikan berbagai media, sejak konflik penguasaan atas tanah rakyat Masuji dan sekitarnya, serta penolakan rakyat Bima terhadap keberadaan tambang, polisi acap kali mengintimidasi bahkan menggunakan kekerasan untuk mengusir masyarakat yang kekeh memperjuangkan haknya.

Apapun caranya, sejak POLRI dipisahkan dari kelembagaan ABRI, maka secara fakta maupun juridis, watak kemiliteran polisi pun berfusi menjadi cenderung sipilistik. Paradigma kepolisian tidak lagi menggunakan cara-cara represif, tapi lebih pada pendekatan sosial humanis.

Dengan terpisahnya polisi dari kelembagaan ABRI, maka wajah polisi yang militeris seharusnya bermetamorfosa menjadi cenderung sipilis. Tuntutan reformasi kepolisian sekaligus menjadi bagian inheren menuju proses transisi demokrasi itu, rupanya tidak mampu dijiwai institusi kepolisian secara seksama. Akibatnya, wajah polisi hari ini tak ubahnya seperti monster pembunuh yang menakutkan. Kondisi ini terjadi, dan semakin menggeliat di tengah harap cemasnya kita terhadap diterimanya kembali polisi di tengah-tengah masyarakat pasca reformasi.

Musim Radikalisme

Anarkisme masyarakat Masuji dalam mempertahankan hak tanah ulayat, dan penolakan keras masyarakat Bima-NTB terhadap keberadaan pertambangan emas, adalah fakta, bahwa persekongkolan penguasa daerah dan koorporasi kini mendapat pertentangan keras dari rakyat.

Bagi pemerintah, potensi alam adalah modal (capital) sementara bagi rakyat, potensi alam adalah kehidupan dan masa depan (future). Pemerintah melihat potensi alam secara instan-kapital, sementara masyarakat setempat melihat alam dengan orientasi nilai, yang tidak saja bertumpu pada pendekatan dan kerakusan material an sich.

Cara pandang masyarakat agraris terhadap alam ini, sudah terbentuk sekian lama. Bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada alam, kekayaan alam tidak saja menjadi relasi fungsional materialistik, tapi sekaligus sebagai relasi fungsional_spiritual. Alam tidak lagi dilihat sebagai obyek, tapi merupakan subyek kehidupan. Maka alam pun acapkali didekati secara etik. Tidak bringas dan dieksploitasi secara rakus. Bahkan dijaga, dirawat dan dilestarikan. Karena alam tidak saja menjadi hamparan ruang, tapi juga menjadi ruh kehidupan. Cara pandang masyarakat terhadap alam yang demikian, telah dipertahankan selama berabad-abad.

Pertentangan antara paradigm alam yang materialistik dengan paradigm etik inilah, yang membuat pemerintah terjebak dalam kerakusan dan keserakahan. Bahkan rela merampas hak-hak rakyat, mengintimidasi dan membunuh sekalipun. Petaka berdarah di Masuji-Sumsel dan Bima-NTB contohnya.

Dengan cara pandang demikian, maka pemerintah dan rakyatnya terposisikan dalam dua kubu pertentangan eksterm yang sulit dilerai. Semakin ekspansif pemerintah daerah ingin menopang kapasitas fiskalnya dengan memberikan ruang eksplorasi pertambangan tanpa peduli pada hak-hak rakyat, maka semakin masif pula radikalisme perlawanan rakyat terpupuk.

Hal ini yang tidak disadari pemerintah. Kendatipun apa yang dilakukan pemerintah terkait pertambangan bertujuan baik, namun ketika disaat yang sama terjadi peminggiran hak rakyat maka maka radikalisme perlawanan akan menjadi bom waktu yang setiap saat akan meledak.

Namun nyatanya, potensi-potensi konflik ini tidak didalami pemerintah, bahkan pemerintah semakin liar mengeskplorasi kekayaan alam tanpa peduli terhadap masyarakat sekitar. Inilah musim radikalisme rakyat. Bila hal ini dibiarkan, maka tidak heran, bila peristiwa seperti Masuji dan Bima akan berulang.

Cara pandang pemerintah terhadap alam sudah saatnya dirubah. Rakyat tidak lagi dijadikan obyek pelengkap penderita, alam tidak lagi dilihat sebagai modal (capital) an sich. Rakyat mesti menjadi titik tolak setiap kebijakan dan bisnis pemerintah. Khususnya terkait bisnis-bisnis pertambangan yang bersinggungan dengan hak vital rakyat. Jika tidak, maka kekerasan dan radikalisme akan menjadi musiman. ***

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial