Kamis, 12 Januari 2012

Defisit Kemanusiaan dan Musim Radikalisme Rakyat

NTT Online News
Jumat, 06 Januari 2012 23:40
Oleh Laurens Bahang Dama
(Anggota DPR-RI Periode 2009-2014)


Diakhir tahun 2011 yang lalu, ada sederet panjang peristiwa kekerasan yang memilukan bangsa ini. Dari peristiwa Masuji-Sumatera Selatan hingga petaka berdarah yang terjadi di Bima-Nusa Tenggara Barat (NTB). Peristiwa demi peristiwa ini, seakan menggambarkan defisitnya takaran nilai kemanusiaan Bangsa ini.
Bahkan defisit nilai kemanusiaan itu, seakan mematenkan bahwa polisi sebagai alat negara, terlihat garang dan banal terhadap rakyat yang seharusnya diayomi dan dilindungi.

Kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan juga terlihat melembaga di institusi kepolisian. Hal ini dapat dilihat dari begitu mudahnya aparat polisi memuntahkan peluru tajam mematikan dalam penanganan berbagai aksi masa belakangan ini.

Jika kita timbang-timbang, maka polisi sebagai alat negara, sejatinya juga pandai memainkan instrument-instrumen sosial dalam menyikapi berbagai aksi massa (dalam bentuk apapun itu) dari pada menggunakan instrument militeristik yang mematikan. Instrumen sosial dimaksud adalah, lebih menggunakan cara-cara persuasif dengan berbagai alternatif pendekatan sosial-humanistik.

Sebagai elemen Kamtibmas, mestinya polisi lebih pandai menguasai pendekatan sosiologis dalam memenej dan meredam berbagai potensi konflik yang menggejala di masyarakat. Yang kita lihat dari berbagai penanganan polisi terhadap aksi massa, terutama dua peristiwa yang terjadi diakhir tahun 2011, polisi seakan memposisikan diri sebagai bagian koorporasi dan mengambil posisi vis a vis dengan masyarakat. Pertanyaannya, polisi berpihak ke siapa? Rakyat? Atau korporasi?

Dalam berbagai terstimoni yang dipublikasikan berbagai media, sejak konflik penguasaan atas tanah rakyat Masuji dan sekitarnya, serta penolakan rakyat Bima terhadap keberadaan tambang, polisi acap kali mengintimidasi bahkan menggunakan kekerasan untuk mengusir masyarakat yang kekeh memperjuangkan haknya.

Apapun caranya, sejak POLRI dipisahkan dari kelembagaan ABRI, maka secara fakta maupun juridis, watak kemiliteran polisi pun berfusi menjadi cenderung sipilistik. Paradigma kepolisian tidak lagi menggunakan cara-cara represif, tapi lebih pada pendekatan sosial humanis.

Dengan terpisahnya polisi dari kelembagaan ABRI, maka wajah polisi yang militeris seharusnya bermetamorfosa menjadi cenderung sipilis. Tuntutan reformasi kepolisian sekaligus menjadi bagian inheren menuju proses transisi demokrasi itu, rupanya tidak mampu dijiwai institusi kepolisian secara seksama. Akibatnya, wajah polisi hari ini tak ubahnya seperti monster pembunuh yang menakutkan. Kondisi ini terjadi, dan semakin menggeliat di tengah harap cemasnya kita terhadap diterimanya kembali polisi di tengah-tengah masyarakat pasca reformasi.

Musim Radikalisme

Anarkisme masyarakat Masuji dalam mempertahankan hak tanah ulayat, dan penolakan keras masyarakat Bima-NTB terhadap keberadaan pertambangan emas, adalah fakta, bahwa persekongkolan penguasa daerah dan koorporasi kini mendapat pertentangan keras dari rakyat.

Bagi pemerintah, potensi alam adalah modal (capital) sementara bagi rakyat, potensi alam adalah kehidupan dan masa depan (future). Pemerintah melihat potensi alam secara instan-kapital, sementara masyarakat setempat melihat alam dengan orientasi nilai, yang tidak saja bertumpu pada pendekatan dan kerakusan material an sich.

Cara pandang masyarakat agraris terhadap alam ini, sudah terbentuk sekian lama. Bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada alam, kekayaan alam tidak saja menjadi relasi fungsional materialistik, tapi sekaligus sebagai relasi fungsional_spiritual. Alam tidak lagi dilihat sebagai obyek, tapi merupakan subyek kehidupan. Maka alam pun acapkali didekati secara etik. Tidak bringas dan dieksploitasi secara rakus. Bahkan dijaga, dirawat dan dilestarikan. Karena alam tidak saja menjadi hamparan ruang, tapi juga menjadi ruh kehidupan. Cara pandang masyarakat terhadap alam yang demikian, telah dipertahankan selama berabad-abad.

Pertentangan antara paradigm alam yang materialistik dengan paradigm etik inilah, yang membuat pemerintah terjebak dalam kerakusan dan keserakahan. Bahkan rela merampas hak-hak rakyat, mengintimidasi dan membunuh sekalipun. Petaka berdarah di Masuji-Sumsel dan Bima-NTB contohnya.

Dengan cara pandang demikian, maka pemerintah dan rakyatnya terposisikan dalam dua kubu pertentangan eksterm yang sulit dilerai. Semakin ekspansif pemerintah daerah ingin menopang kapasitas fiskalnya dengan memberikan ruang eksplorasi pertambangan tanpa peduli pada hak-hak rakyat, maka semakin masif pula radikalisme perlawanan rakyat terpupuk.

Hal ini yang tidak disadari pemerintah. Kendatipun apa yang dilakukan pemerintah terkait pertambangan bertujuan baik, namun ketika disaat yang sama terjadi peminggiran hak rakyat maka maka radikalisme perlawanan akan menjadi bom waktu yang setiap saat akan meledak.

Namun nyatanya, potensi-potensi konflik ini tidak didalami pemerintah, bahkan pemerintah semakin liar mengeskplorasi kekayaan alam tanpa peduli terhadap masyarakat sekitar. Inilah musim radikalisme rakyat. Bila hal ini dibiarkan, maka tidak heran, bila peristiwa seperti Masuji dan Bima akan berulang.

Cara pandang pemerintah terhadap alam sudah saatnya dirubah. Rakyat tidak lagi dijadikan obyek pelengkap penderita, alam tidak lagi dilihat sebagai modal (capital) an sich. Rakyat mesti menjadi titik tolak setiap kebijakan dan bisnis pemerintah. Khususnya terkait bisnis-bisnis pertambangan yang bersinggungan dengan hak vital rakyat. Jika tidak, maka kekerasan dan radikalisme akan menjadi musiman. ***

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar