Minggu, 31 Juli 2011

Reideologisasi Pancasila


Revitalisasi Pilar Bangsa
Sebagai sebuah negara, Indonesia terkonstruksi atas basis nilai dan ideologi yang menjadi landas pijak kehidupan masyarakatnya. Landas pijak ideologi tersebut adalah Pancasila dan UUD 1945 serta turunan nilai lainnya yang mengakar dan lahir sejak Indonesia ini ada.

Tentu Pancasila serta UUD 1945 ini, tidak lahir dari suatu ruang hampa atau diimpor secara serta-merta ke dalam tubuh republik ini menjadi satu falsafah bernegara. 

Pancasila dan UUD 1945, adalah suatu pelembagaan nilai-nilai luhur yang diwariskan sejak nenek moyang kita ada. Olehnya itu, Pancasila dan UUD 1945 adalah ultimate dari kecerdasan anak bangsa untuk mendirikan republik ini.

Karena Pancasila lahir dari rahim sosiologis masyarakat Indonesia, maka keberedaannya pun sekaligus menjadi kontrak sosial masyarakat Indonesia yang ragam dan plural. Dari sila 1-5 Pancasila, mewariskan semangat yang komprehensif bagi penataan perilaku orang per-orang, komunitas hingga masyarakat Indonesia secara luas dari berbagai etnis dan ras. Jika sejenak kita dalami, maka Pancasila dari ayat 1-5, memeliki beberapa aspek dasar ideologis. Diantaranya :
Pertama : Ketuhanan sebagai dasar spirit moralitas (sila 1). Kedua : Meletakkan dasar-dasar kemanusiaan berdasarkan perspektif keadilan dan keadaban (sila 2). Ketiga : Persatuan sebagai simbol kekuatan, sekaligus menepis perbedaan-perbedaan primordial/sektarian yang menjurus pada dikotomisasi dan suprioritas kelompok mayoritas terhadap minoritas  (sila 3). Keempat : Demokrasi sebagai frame politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam bentuk perwakilan melalui suatu mekanisme demokrasi yang sehat/jujur dan adil (sila 4). Kelima : Finalisasi puncak praktek bernegara secara ideal adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (sila 5).

Dari kelima substansi makna Pancasila di atas, maka terlihat jelaslah bahwa, sebagai ideologi negara, Pancasila secara rinci dan sistematis meletakkan frame negara (state) dalam satu tujuan yang dan cita-cita yang mulia (welfare state)

Namun dalam perjalanannya, nilai-nilai Pancasila di atas kian tergerus dan tenggelam dalam hegemoni globalisme. Suatu fase sejarah yang meniscayakan tidak ada lagi batas-batas dalam interaksi masyarakat dunia. 

Terkooptasinya sistem negara dalam arus hegemoni globalisme ini, mempertontonkan bahwa betapa Pancasila kian pupus dari dalam relung batin dan perilaku bernegara kita secara masif.

Akibatnya, sistem politik, ekonomi dan sosial budaya kita kian terkooptasi dalam semangat neoliberalisme-kapitalistik. Ekonomi kita cenederung berpihak ke asing, pendidikan kita semakin komersial, sementara sistem politik kita semakin liberalistik dan  jauh dari semangat keIndonesiaan yang etik dan humanis dan populis.
 
Menurut hemat saya, dalam posisi yang demikian, revitalisasi pilar kebangsaan seperti Pancasila, harus dilakukan secara terus-menerus. Dalam rangka memperbaiki kondisi negara yang ada agar jauh lebih baik.

Euforia reformasi dan de-legitimasi terhadap orde baru secara membabi-buta, telah membuat kita seolah memuntahkan begitu saja pilar-pilar kehidupan berbangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh rezim orde baru, tanpa pertimbangan risiko-risikonya masa depan Indonesia.

Di sekolah-sekolah, dari SD-Perguruan Tinggi, penataran P4 dihapuskan, sebagai akibat dari akumulasi dendamisme terhadap rezim yang sedemikian menggunung. Kita diibaratkan bangsa yang mengalami musim peceklik ideologi pasca orde baru. 

Walhasil saat ini, sistem reformasi jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kita hanya melakukan reformasi secara struktural, tapi secara substansial ideologis kita belum mampu.

Revitalisasi dan reideologisasi terhadap seluruh sistem di republik ini perlu dilakukan, dalam rangka menghidupkan kembali militansi ke-Pancasila-an kita. Kata kunci adalah proses pembumian Pancasila adalah “harga mati”.

(Gagasan ini disampaikan pada penguatan pilar kebangsaan di Beberapa Kabupaten di NTT)

Selasa, 19 Juli 2011

Press Release Tentang Sengketa Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada

Oleh Drs. Laurens Bahang Dama

Sengketa Perbatasan Manggarai Timur dan Ngada
Sengketa perbatasan Manggarai Timur dan Ngada menurut beberapa media lokal NTT dan sumber lainnya, telah terjadi sejak tahun 1973. Artinya, sengketa perbatasan ini sudah berlangsung lama dan belum ada pihak pemerintah dan stake holder terkait yang beritikad untuk mencari resulusi untuk menyudahi sengketa perbatasan antar kedua daerah tersebut. Menyikapi kondisi ini, dan dalam rangka mencari resolusi yang jernih dan bermartabat, maka ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan dalam rangka mencari penyelesaian sengketa tersebut. Poin-poin resolusi dimaksud adalah :

  1. Gubernur, selaku Kepala Daerah Tingkat tingkat Provinsi, memiliki tugas pokok berupa membina, mengawasi, dan mengkoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota. Olehnya itu, konflik-konflik antara Kabupaten termasuk yang teraktual saat ini soal sengketa perbatasan Kab Manggarai Timur dan Ngada, mengharuskan Gubernur NTT dapat mengambil sikap proporsional untuk menyelesaiakan persengketaan tersebut, sesuai tugas dan fungsi pembinaan dan pengkoordinasian Gubernur. Hal ini perlu dilakukan, agar tidak menimbulkan resultant konflik yang lebih luas dan menjurus pada konflik vertikal dan horisontal antar kedua Kabupaten yang bersengketa.

  1. Solusi konkretnya, Gubernur NTT harus terlibat langsung dan menjadi mediator untuk memediasi Kedua Kepala daerah (Manggarai Timur dan Manggarai Barat) untuk mencari penyelesaian terbaik agar tidak menimbulkan implikasi negatif dikemudian hari yang merugikan pemerintah dan khususnya masyarakat di kedua daerah tersebut.

  1. Gubernur Provinsi NTT juga diharapkan dapat melakukan peninjauan langsung di wilayah sengketa (Manggarai Timur dan Ngada) agar mengenal lebih dekat faktor-faktor utama penyebab sengketa perbatasan antar kedua daerah tersebut. Bahkan bila perlu, membentuk tim investigasi untuk mencari duduk soal persengketaan tersebut agar dapat dimediasi dan diarahkan pada proses pencarian solusi sebaik-baiknya yang tidak merugikan kedua Kabupaten yang sedang bersengketa.

  1. Gubernur Provinsi NTT juga diharapkan dapat memediasi otoritas adat (Kepala suku/adat) dan Otoritas Kelembagaan Agama (Uskup/Pastor/Pandeta/MUI) di Kedua Kabupaten tersebut, untuk duduk bersama dalam rangka mengurangi tensi ketegangan masyarakat di kedua daerah agar tidak berdampak pada kekerasan horisontal yang justru hanya akan merumitkan proses resolusi dan menelan biaya sosial (social cost) yang jauh lebih besar di kedua Kabupaten yang bersengketa.


  1. Kepala Daerah dari kedua Kabupaten yang bersengketa ini, diharapkan memiliki itikad baik untuk duduk bersama dalam mencari pokok soal serta penyelesaian atas persengketaan perbatasan. Hal ini perlu dilakukan agar mecairkan ketegangan-ketegangan vertikal dan horisontal antara masyarakat di kedua Kabupaten (manggarai Timur dan Kab Ngada)

  1. Proses resolusi ini dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh lokal dan organ masyarakat adat untuk menyelesaikan permasalahan dimaksud. Hal ini dengan tujuan agar terciptanya proses resolusi yang tidak menguras energi positif daerah yang sejatinya dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan ekonomi kedua Kabupaten yang sedang bersengketa.

Demikian Press release ini disampaikan dalam meilihat persoalan persengketaan perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada, dengan harapan, proses resolusi dapat dilakukan secepat-cepatnya dengan melibatkan semua pihak agar tidak menimbulkan implikasi buruk bagi kedua Kabupaten tersebut.


Senin, 18 Juli 2011

Catatan Saya Untuk RAPBN-P 2011

Pertumbuhan Ekonomi yang berkualitas
Oleh : Laurens B Dama

Menurut hemat saya, pertumbuhan ekonomi saat ini, belum benar-benar berakar dari penguatan sendi-sendi ekonomi nasional. Pasalnya, selama ini, pemerintah berdalih bahwa pertumbuhan ekonomi kita membaik karena lebih didorong oleh capital inflow. Padahal, jika sewaktu-waktu terjadi pembalikan arus modal asing secara mendadak (sudden reversal), maka akan sangat riskan mengganggu dinamitas pertumbuhan perekonomian nasional. Untuk itu hemat saya, kebergantung yang teramat pada kondisi ekonomi eksternal (global) seolah menggambarkan bahwa pemerintah belum memiliki strategi yang baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari kualitas pertumbuhan ekonomi pada semester I  2011, dimana pertumbuhan ekonomi naik menjadi 6,1 % tetapi disaat yang sama inflasi nasional pun melejit hingga 6,7% melampaui asumsi makro APBN 2011 5,3 ± 1%.  Kondisi ini menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada semester I belum mencerminkan pertumbuhan yang sehat. Olehnya itu, saya mengusulkan agar sejatinya asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam RAPBN-P 2011 sebesar 6,5 lebih didorong dan difokuskan pada sector-sektor ekonomi padat karya yang berbasiskan sendi-sendi ekonomi nasional dan tidak semata bergantung dan berdalih dibalik sektor ekonomi pasar uang semata.

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah yang dapat menggerakkan sector riil dan mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dalam rangka menekan tingkat kemiskinan. Data BPS yang menggambarkan bahwa pada semester I 2011, pemerintah hanya mampu mendorong tingkat kemiskinan  sebanyak 1 juta orang. Sementara pada periode yang sama di tahun 2010, kemiskinan dapat ditekan hingga 1,5 juta orang. Menurut hemat saya, pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas ini, lebih disebabkan oleh struktur perekonomian yang semakin didominasi dan dihegemoni oleh sektror non tradable. Struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor non tradable ini, membuat upaya menurunkan kemiskinan menjadi sulit dilakukan oleh pemerintah. Olehnya itu menurut Fraksi PAN, pertumbuhan ekonomi, sebaiknya didorong dan dimaksimalisasikan pada sector tradable. Karena sektor ini berdasarkan berbagai riset dan kajian para ahli atau ekonom, dapat mendorong tingkat kemiskinan 7 kali lipat bila dibandingkan dengan sektor non tradable.

Terkait SPN 3 bulan dalam RAPBN-P 2011, untuk mengantisipasi pembalikan arus modal secara mendadak dan serentak (sudden reversal), pemerintah menyiapkan skenario mengantisipasi kemungkinan buruk tersebut. Hal ini terlihat pada Rancangan Undang Undang tentang APBN-P 2011 Pasal 36-A. Dalam RUU APBN-P 2011 tersebut pemerintah menyodorkan pasal baru yang mengatur antisipasi bila terjadi pembalikan dana asing dengan menggunakan dana SAL untuk mendukung stabilisasi pasar SBN domestik. Menurut hemat saya, sebaiknya, dana SAL tersebut diperuntukkan bagi maksimalisasi penguatan pembangunan infrastruktur. Karena dana SAL merupakan sisa anggaran lebih yang bersumber dari rendahnya penyerapan anggaran K/L untuk pembangunan infrastruktur. Olehnya itu, sebaiknya dana SAL diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sementara itu, untuk mengantisipasi terjadinya sudden reversal, pemerintah bisa menggali sumber-sumber pendapatan lain atau yang berasal dari hasil pengetatan fiskal.Hal ini perlu dilakukan karena, negara yang pertumbuhan ekonominya baik adalah yang selalu didukung oleh belanja infrastruktur yang maksimal

Dalam asumsi makro APBN-P 2011 juga, ditetapkan asumsi inflasi nasional sebesar 5,65%. Saya mengusulkan agar untuk saat ini pemerintah mesti ekstra kerja keras dalam rangka menjaga dan menekan kemungkinan-kemungkinan membengkaknya inflasi sebagaimana yang terjadi pada Semester I APBN 2011. Hal ini karena, saat ini kita diperhadapkan pada beberapa kondisi kritis yang dapat memicu inflasi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut misalnya, terkait dengan melejitnya harga beberapa komponen pangan serta desakan dan dilemma BBM bersubsidi. Menurut Fraksi PAN, bila kedua kondisi ini tidak disikapi secara tegas, maka laju inflasi bisa melampaui asumsi pemerintah pada APBN-P 2011. Terkait dua kemungkinan dan potensi inflasi itu, jika kita kaitkan dengan data BPS, maka bila harga BBM bersubsidi naik 10%, atau Rp 500 tahun ini, akan berkontribusi pada inflasi sebesar 1%. Dan setiap kenaikan 1 % inflasi batas garis kemiskinan akan terkerek menjadi 1,5%. Hitungan BPS ini berdasarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar semisal BBM dan beras. Dengan demikian jika kita me-review berdasarkan data BPS tersebut, maka bila inflasi sulit dikendalikan, akan terjadi poenambahan jumlah kemiskinan sebesar 100.000-200.000 orang. Menurut saya, sebaiknya pemerintah mengambil langkah tegas dalam rangka meminimalisasi risiko inflasi yang disebabkan oleh dua kemungkinan dimaksud, agar inflasi tetap terjaga sebagaimana yang diasumsikan pada APBN-P 2011

Terkait dengan lifting minyak, maka untuk mencapai asumsi RAPBN-P 2011 sebesar 945, Dalam re-view saya agar pemerintah dapat merevitalisasi kembali sumber-sumber minyak yang selama ini belum dimaksimalkan dengan baik. Hal tersebut juga dapat dilakukan secara optimal untuk menjadikan lifting sebagai salah satu sumber pendapatan strategis nasional. Demikian juga tetap berupaya untuk mengeksplorasi sumber energi baru dalam mendorong diversifikasi energi untuk meminimalisasi kebergantungan pada energi BBM yang berlebihan. Jika diversifikasi energi ini tidak dilakukan, maka kebergantungan pada energi BBM akan menyebabkan pemerintah terus berhutang dalam rangka memenuhi kuota kebutuhan akan energi BBM yang selama ini belum dapat dipenuhi oleh target lifting nasional. Untuk meningkatkan lifting minyak, maka pemerintah sejatinya memfokuskan perhatian pada permasalahan percepatan infestasi dan operasional pada berbagai lapangan minyak. Terutama terkait dengan permasalahan pembebasan lahan serta belum dioptimalkannya sumur-sumur baru, dan keterbatsan teknologi pendukung. 

Dengan asumi sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, pertumbuhan ekonomi kita bisa sprint, tapi juga mampu menggerakan sektor riil dan menciptakan kesempatan kerja yang luas dan menekan tingkat kemiskinan lebih rendah lagi. ***

Senin, 11 Juli 2011

Desentralisasi Tanpa Target?


Otonomi Kebablasa?
Oleh : Laurens Bahang Dama

Otonomi daerah saat ini, bias orientasi. Dari paradigma mendekatkan pelayanan menjadi lebih cenderung membagi-bagi kekuasaan dan desentralisasi korupsi. Atau menjadi alat produksi kekuasaan untuk menciptakan raja-raja baru di daerah. Kesan itu terlihat pada semakin besarnya jumlah Kabupaten/Kota, tapi justru disaat sama, desentralisasi secara faktual tidak membuahkan kemandirian yang kuat dari daerah. Ketergantungan yang teramat pada dana pusat (Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK) mengesankan bahwa modal otonomi daerah adalah semata mengandalkan suntikan dana dekonsentrasi.

Sejatinya, dengan diberlakukannya otonomi daerah, memberikan keleluasaan bagi daerah-daerah (Kabupaten/Kota) untuk memaksimalkan pencapaian prestasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan bagi warganya. Namun, pada perjalanannya, desentralisasi tersebut justru menjadi soal baru yang pelik dalam hal kemampuan daerah untuk berdiri dan mandiri dengan sumber daya yang dimilikinya.

Ada sejumlah “catatan merah” yang perlu kita beri, terkait perjalanan otonomi daerah dimaksud. Pertama, selama ini, otonomi daerah tidak berpijak pada asumsi kemampuan daerah untuk meng-create segala sumber daya yang dimilikinya untuk menopang daya fiskal secara mandiri. Akibatnya, kesan otonomi sebatas penggemukan kesempatan untuk berkuasa di daerah, tapi justru berharap dapat survive dengan injeksi dana pusat (Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK).

Kedua, Atonomi daerah saat ini, adalah akumulasi dari saratnya kepentingan kekuasaan di daerah yang tak sanggup lagi ditampung oleh Kabupaten/Kota tertentu, dan berakibat pada inisiasi pemekaran atau memisahkan diri (usulan pembentukan Kabupaten/Kota baru).

Dengan demikian, asumsi pemekaran daerah ini, lebih disebabkan oleh akomodasi kekuasaan lokal semata. Kecenderungan pemekaran daerah otonomi, juga dalam perspektif tertentu, dapat dilihat sebagai konsekuensi dari tak tertampungnya syahwat kekuasaan elit lokal yang berakhir pada tuntutan pembentukan Kabupaten/Kota baru. Kentalnya politik kekuasaan di daerah terhadap substansi pelaksanaan otonomi daerah inilah yang perlu ditelaah lebih kritis, agar tidak menajadi polemik pembiasan paradigma otonomi daerah. Sebagaimana ideal-ideal yang diamanahkan dalam UU No 32 Tahun 2004.

Desentralisasi fiskal
Setelah sistem transfer daerah berubah dari yang berbentuk spesifik menjadi berbentuk umum, istilah bantuan pemerintah diganti dengan dana perimbangan sesuai UU No 33 Tahun 2004.

Sejatinya jika kita cermati, semangat UUD No 33 Tahun 2004, khususnya terkait dana perimbangan yang terdiri dari DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil, sesungguhnya diprioritaskan untuk belanja infrastruktur dalam rangka mempercepat pembangunan daerah otonomi dan lebih khusus lagi percepatan pembangunan di kawasan daerah tertinggal.

Dana  DAU dan DAK khususnya, diperuntukkan pada derah dengan perhitungan selisih kebutuhan anggaran dan kapasitas fiskal yang tersedia. Dengan catatan bahwa daerah dengan kapasias fiskal terbatas, mendapat bantuan lebih besar dari daerah yang kapasitas fiskalnya baik. Dalam rangka merevitalisasi aspek-aspek pembangunan yang mendapatkan prioritas nasional tapi tidak didukung oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dengan demikian, dana perimbangan adalah dana yang diberikan dari pemerintah pusat, dengan catatan seiring perjalanan waktu, ada peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dan jika ada peningkatan, maka kebutuhan serta nilai dana dekonsentrasi yang diberikan pemerintah pusat ke daerah pun setiap periode mengalami penurunan volume karena ada peningkatan kapasitas fiskal daerah setelah mendapat transfer dana dari pemerintah pusat.

Namun anehnya, saat ini pemerintah daerah masih terkesan miskin dan tertinggal. Hal tersebut dapat  dilihat dari belum berubahnya volume dana DAU dan DAK dari tahun ke tahun. Bahkan dana dekonsentrasi tersebut, terus mengalami pembengkakan setiap tahun.

Berdasarkan hasil kajian Tim MEP FEB UGM 2011, transfer ke daerah meningkat dari 30 triliun pada tahun 1999 menjadi 344,5 triliun (2010). Meskipun transfer daerah mengalami pembengkakan dari tahun ke tahun, tetapi kondisi faktual menunjukkan kondisi terbalik, bahwa kesenjangan fiskal antar daerah semakin menganga lebar, khususnya di Kabupaten/Kota yang berada di luar Jawa. Artinya, alokasi APBN ke daerah meningkat dua kali lipat selama  lima tahun terakhir, namun jumlah ini tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan yang diciptakan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa, dana perimbangan yang selama ini diinjeksikan, belum diperuntukkan secara maksimal untuk belanja kebutuhan strategis yang berkaitan dengan infrastruktur penunjang perbaikan ekonomi. Idealnya, pemerintah pusat (Kementerian Keuangan) memiliki target secara periodik, bahwa daerah-daerah yang menerima dana DAU dan DAK, mesti terbebas dari kategori daerah tertinggal dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, dana DAU/DAK yang diberikan, memiliki faedah secara terukur. Bukan malah sebaliknya, volume pengalokasian dana tranfer pemerintah pusat dari tahun ke tahun semakin membesar ke daerah tapi tidak memiliki efek signifikan.

Jalan terbaik
Dengan ragam polemik ini, sebaiknya otonomi daerah mesti dievaluasi. Lebih khusus terkait desentralisasi fiskal. Ada sejumlah kecacatan dan mall praktek otonomi yang perlu diperbaiki. Olehnya itu, gagasan menggabungkan UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 adalah dalam rangka memperbaiki paradigma dana perimbangan yang selama ini bias substansi otonomi daerah. Ada pemahaman dan perspektif yang terpisah antara dana perimbangan dan esensi otonomi. Akibatnya, kesan otonomi daerah adalah perluasan serta desentralisasi korupsi dan penyimpangan. Menggabungkan UU 32 dan UU 33 ini, bermakna, pemerintah daerah dan keuangan daerah menjadi satu prinsip, uang mengikuti urusan atau fungsi (money follow function).  Dengan demikian dana APBN yang dialokasikan ke daerah dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Hal ini akan dapat terwujud, manakalah ada niat bersama untuk mensingkronkan kedua perspektif di atas (UU 32 dan UU 33). Jika disparitas makna kedua UU ini tidak dibenahi, maka selamanya otonomi kita kebablasan?

Peserta Jambore Pramuka Asal NTT Mengunjungi Fraksi PAN



Jakarta- Senin (11/7) sekitar 50 an peserta Jambore Pramuka Asal NTT melakukan kunjungan dan bertatap muka dengan Anggota DPR-RI Fraksi PAN Asal NTT Drs. Laurens Bahang Dama. Dalam acara pertemuan tersebut, diisi dengan dialog tentang berbagai hal terkait lingkup kerja di DPR khususnya Komisi XI.

Pada kesempatan tersebut, Laurens Bahang Dama menyampaikan apresiasinya yang dalam terhadap peserta pramuka asal NTT yang telah menunjukkan kiprahnya di kancah nasional. Laurens berharap, acara Jambore nasional yang telah diikuti itu, semoga memberikan nilai konstruktif kepada peserta asal NTT.

Tegas Laurens, ke depan NTT sangat membutuhkan kader-kader terbaik untuk mampu berkiprah di kanca nasional maupun internasional. Menurutnya, salah satu faktor keterhambatan proses pembangunan di NTT adalah kendala SDM.

Sejatinya menuurt dia, konsepsi pembangunan NTT, mesti mampu meng-cover dan bersinergi dengan peningkatan SDM. Olehnya itu, ia menyambut baik kesungguhan peserta Jambore asal NTT. Ia pun berharap ke depan pemerintah daerah NTT lebih konsen pada kegiatan-kegiatan yang bermuatan edukasi seperti ini.

Kunjungan peserta Jambore Pramuka asal NTT ini juga mendapat apresiasi dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Acara yang berlangsung di aula rapat Fraksi PAN ini diakhiri dengan makan bersama dan silaturahim antara peserta Jambore dan sejumlah praktisi PAN. ***

Senin, 04 Juli 2011

Angka Kemiskinan Menurun Tipis 2011

Laurens Bahang Dama
Dalam prognosa APBN  Semesester II 2011, pemerintah memperkirakan semakin membaiknya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia. Pemerintah juga menjelaskan bahwa perbaikan ekonomi tersebut, tercermin pada rendahnya volatilitas nilai tukar rupiah dan terkendalinya inflasi. Namun secara observatif, jika kita melihat kondisi kekinian, maka ada beberapa persoalan krusial yang justru menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi yang mesti di fikirkan pemerintah.

Saat ini pemerintah berhadap-hadapan dengan ancaman inflasi. Ancaman inflasi ini terkait wacana menaikkan harga BBM bersubsidi dan meningkatnya harga beberapa komponen pangan. Berdasarkan data BPS kenaikan bahan pangan saat ini telah mencapai 1,27%. Kondisi ini tentunya akan berdampak atau berkontribusi terhadap membengkaknya inflasi.

Olehnya itu, menurut saya, pemerintah diharapkan bisa mengendalikan kenaikan harga beras jika tak ingin inflasi tidak melampu inflasi bulan Juni ini (0,55%). Ancaman inflasi ini perlu dirisaukan pemerintah, karena saat ini inflasi inti tahunan kita telah mencapai 4,73% (asumsi pemerintah batas inflasi inti 5%).

Jika dilihat secara menyeluruh, kerangka prognosa ekonomi yang semester II APBN 2011, maka kerangka asumsi makro tersebut berorientasi pertumbuhan (angka) an sich. Hal ini dapat dilihat dari sebegitu besarnya pemerintah menaruh harapan pada stabilitas ekonomi global dan capital inflow. Bukan penguatan kapasitas fiskal berbasiskan penerimaan domestik dan pertumbuhan ekspor serta sector ekonomi domestic lainnya (pertanian, energi, industri, dan perdagangan). Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakefektifan pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang komprehensif serta belum jelasnya grand design ekonomi nasional. Kondisi ini dapat dilihat dari beberapa dimensi :

Pertama : Ketika negara lain mengalami kenaikan pertumbuhan, tidak serta merta Indonesia juga mengalami percepatan pertumbuhan, oleh pemerintah selalu dikatakan ada faktor lain (selain faktor global) mengapa pertumbuhan tidak mencapai target maksimal? Artinya, pemerintah tidak memiliki standar dan desain jelas terkait upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga : Pada sisi yang lain, ketergantungan terhadap kondisi luar negeri juga mengabaikan makna dan potensi pertumbuhan yang disokong oleh produksi dan jual beli yang terjadi dalam negeri

Dalam prognosa APBN semester II 2011, pemerintah semestinya memperhatikan beberapa hal. Diantaranya adalah sinergisitas penyerapan anggaran dan pertumbuhan sector riil. Setiap pergerakan digit eknomi, sejatinya berimplikasi terhadap perbaikan sector riil. Selama ini, pertumbuhan ekonomi kita tidak singkron dengan kondisi ekonomi factual. 


Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun 1 juta jiwa selama periode Maret 2010-Maret 2011, lebih rendah dibandingkan dengan penurunan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,51 juta jiwa.  Data ini sebenarnya menunjukkan buruknya kinerja ekonomi pemerintah pada semester I  2011. Dengan demikian dapat kita simpulkan beberapa poin :


Dengan indikasi data yang dilaporkan BPS tersebut, menggambarkan bahwa kinerja pemerintah dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap sektor riil.

Apalagi bila penurunan angka kemiskinan tahun lalu jauh lebih baik dari tahun ini. Data BPS tersebuk juga menggambarkan bahwa terjadi penurunan prestasi kinerja ekonomi pemerintah.

Jika kita analisa, rendahnya penurunan angka kemiskinan ini lebih disebabkan oleh konsentrasi pembangunan ekonomi yang lebih memprioritaskan sektor ekonomi padat modal. Pemerintah saat ini selalu berdalih bahwa kita perlu menjaga stabilitas pasar uang. Sementara sektor ini tidak berdampak riil dan signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja.

Jika kita analisa, rendahnya penurunan angka kemiskinan ini lebih disebabkan oleh konsentrasi pembangunan ekonomi yang lebih memprioritaskan sektor ekonomi padat modal. Pemerintah saat ini selalu berdalih bahwa kita perlu menjaga stabilitas pasar uang. Sementara sektor ini tidak berdampak riil dan signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan.

Jika pertumbuhan ekonomi kita membaik (6,5% berdasarkan data BPS), semestinya berpengaruh terhadap penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Karena asumsinya adalah, setiap pertumbuhan ekonomi 1%, memberikan kontribusi penyediaan 400.000 lapangan pekerjaan. Dengan asumsi ini berarti tingkat kemiskinan kita semestinya menurun seiring terus membaiknya pertumbuhan ekonomi. ***