Senin, 11 Juli 2011

Desentralisasi Tanpa Target?


Otonomi Kebablasa?
Oleh : Laurens Bahang Dama

Otonomi daerah saat ini, bias orientasi. Dari paradigma mendekatkan pelayanan menjadi lebih cenderung membagi-bagi kekuasaan dan desentralisasi korupsi. Atau menjadi alat produksi kekuasaan untuk menciptakan raja-raja baru di daerah. Kesan itu terlihat pada semakin besarnya jumlah Kabupaten/Kota, tapi justru disaat sama, desentralisasi secara faktual tidak membuahkan kemandirian yang kuat dari daerah. Ketergantungan yang teramat pada dana pusat (Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK) mengesankan bahwa modal otonomi daerah adalah semata mengandalkan suntikan dana dekonsentrasi.

Sejatinya, dengan diberlakukannya otonomi daerah, memberikan keleluasaan bagi daerah-daerah (Kabupaten/Kota) untuk memaksimalkan pencapaian prestasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan bagi warganya. Namun, pada perjalanannya, desentralisasi tersebut justru menjadi soal baru yang pelik dalam hal kemampuan daerah untuk berdiri dan mandiri dengan sumber daya yang dimilikinya.

Ada sejumlah “catatan merah” yang perlu kita beri, terkait perjalanan otonomi daerah dimaksud. Pertama, selama ini, otonomi daerah tidak berpijak pada asumsi kemampuan daerah untuk meng-create segala sumber daya yang dimilikinya untuk menopang daya fiskal secara mandiri. Akibatnya, kesan otonomi sebatas penggemukan kesempatan untuk berkuasa di daerah, tapi justru berharap dapat survive dengan injeksi dana pusat (Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK).

Kedua, Atonomi daerah saat ini, adalah akumulasi dari saratnya kepentingan kekuasaan di daerah yang tak sanggup lagi ditampung oleh Kabupaten/Kota tertentu, dan berakibat pada inisiasi pemekaran atau memisahkan diri (usulan pembentukan Kabupaten/Kota baru).

Dengan demikian, asumsi pemekaran daerah ini, lebih disebabkan oleh akomodasi kekuasaan lokal semata. Kecenderungan pemekaran daerah otonomi, juga dalam perspektif tertentu, dapat dilihat sebagai konsekuensi dari tak tertampungnya syahwat kekuasaan elit lokal yang berakhir pada tuntutan pembentukan Kabupaten/Kota baru. Kentalnya politik kekuasaan di daerah terhadap substansi pelaksanaan otonomi daerah inilah yang perlu ditelaah lebih kritis, agar tidak menajadi polemik pembiasan paradigma otonomi daerah. Sebagaimana ideal-ideal yang diamanahkan dalam UU No 32 Tahun 2004.

Desentralisasi fiskal
Setelah sistem transfer daerah berubah dari yang berbentuk spesifik menjadi berbentuk umum, istilah bantuan pemerintah diganti dengan dana perimbangan sesuai UU No 33 Tahun 2004.

Sejatinya jika kita cermati, semangat UUD No 33 Tahun 2004, khususnya terkait dana perimbangan yang terdiri dari DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil, sesungguhnya diprioritaskan untuk belanja infrastruktur dalam rangka mempercepat pembangunan daerah otonomi dan lebih khusus lagi percepatan pembangunan di kawasan daerah tertinggal.

Dana  DAU dan DAK khususnya, diperuntukkan pada derah dengan perhitungan selisih kebutuhan anggaran dan kapasitas fiskal yang tersedia. Dengan catatan bahwa daerah dengan kapasias fiskal terbatas, mendapat bantuan lebih besar dari daerah yang kapasitas fiskalnya baik. Dalam rangka merevitalisasi aspek-aspek pembangunan yang mendapatkan prioritas nasional tapi tidak didukung oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dengan demikian, dana perimbangan adalah dana yang diberikan dari pemerintah pusat, dengan catatan seiring perjalanan waktu, ada peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dan jika ada peningkatan, maka kebutuhan serta nilai dana dekonsentrasi yang diberikan pemerintah pusat ke daerah pun setiap periode mengalami penurunan volume karena ada peningkatan kapasitas fiskal daerah setelah mendapat transfer dana dari pemerintah pusat.

Namun anehnya, saat ini pemerintah daerah masih terkesan miskin dan tertinggal. Hal tersebut dapat  dilihat dari belum berubahnya volume dana DAU dan DAK dari tahun ke tahun. Bahkan dana dekonsentrasi tersebut, terus mengalami pembengkakan setiap tahun.

Berdasarkan hasil kajian Tim MEP FEB UGM 2011, transfer ke daerah meningkat dari 30 triliun pada tahun 1999 menjadi 344,5 triliun (2010). Meskipun transfer daerah mengalami pembengkakan dari tahun ke tahun, tetapi kondisi faktual menunjukkan kondisi terbalik, bahwa kesenjangan fiskal antar daerah semakin menganga lebar, khususnya di Kabupaten/Kota yang berada di luar Jawa. Artinya, alokasi APBN ke daerah meningkat dua kali lipat selama  lima tahun terakhir, namun jumlah ini tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan yang diciptakan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa, dana perimbangan yang selama ini diinjeksikan, belum diperuntukkan secara maksimal untuk belanja kebutuhan strategis yang berkaitan dengan infrastruktur penunjang perbaikan ekonomi. Idealnya, pemerintah pusat (Kementerian Keuangan) memiliki target secara periodik, bahwa daerah-daerah yang menerima dana DAU dan DAK, mesti terbebas dari kategori daerah tertinggal dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, dana DAU/DAK yang diberikan, memiliki faedah secara terukur. Bukan malah sebaliknya, volume pengalokasian dana tranfer pemerintah pusat dari tahun ke tahun semakin membesar ke daerah tapi tidak memiliki efek signifikan.

Jalan terbaik
Dengan ragam polemik ini, sebaiknya otonomi daerah mesti dievaluasi. Lebih khusus terkait desentralisasi fiskal. Ada sejumlah kecacatan dan mall praktek otonomi yang perlu diperbaiki. Olehnya itu, gagasan menggabungkan UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 adalah dalam rangka memperbaiki paradigma dana perimbangan yang selama ini bias substansi otonomi daerah. Ada pemahaman dan perspektif yang terpisah antara dana perimbangan dan esensi otonomi. Akibatnya, kesan otonomi daerah adalah perluasan serta desentralisasi korupsi dan penyimpangan. Menggabungkan UU 32 dan UU 33 ini, bermakna, pemerintah daerah dan keuangan daerah menjadi satu prinsip, uang mengikuti urusan atau fungsi (money follow function).  Dengan demikian dana APBN yang dialokasikan ke daerah dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Hal ini akan dapat terwujud, manakalah ada niat bersama untuk mensingkronkan kedua perspektif di atas (UU 32 dan UU 33). Jika disparitas makna kedua UU ini tidak dibenahi, maka selamanya otonomi kita kebablasan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar