Jumat, 26 Agustus 2011

Opini

Usulan Bubarkan Badan Anggaran, Inkonstitusional
Oleh : Drs, Laurens Bahang Dama

Penulis adalah :
(Anggota Komisi XI DPR RI Periode 2009-2014)


Cullis John and Phillip Jones (1998) menyatakan bahwa secara rasional, nyaris tidak ada satu pendekatan pengalokasian anggaran yang sempurna. Karena tidak ada proses kelembagaan yang kokoh secara rasional, maka alokasi anggaran ditempatkan sebagai pilihan publik (public choice).

Dengan memosisikan politik anggaran sebagai pilihan publik ini, maka acap kali politik anggaran terjebak dan terpenjara dalam ragam kepentingan publik dan penyelewengan. Maka dengan demikian pula, untuk merehabilitasi struktur politik anggaran yang sehat, maka kelembagaan terkait, mesti dibenahi. Tidak kemudian secara serta-merta, diberangus atau membubarkan lembaga yang terkait dengan budget policy negara. Kalau ada usulan demikian, maka itu sebatas sensasi.

Wacana membubarkan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI akibat  telah dipenuh_sesaki mafia anggaran dan praktek percaloan, bukan ide baik. Lagi pula, fungsi anggaran DPR diwadahi oleh UUD 1945. Dimana salah satu fungsi DPR adalah fungsi anggaran. Dengan fungsi ini, maka DPR berperan memberikan persetujuan atau tidak terhadap rancangan Undang Undang APBN yang diajukan Presiden atau pemerintah.

Amandemen UUD 1945
Kendatipun DPR atau dalam hal ini Banggar tidak menyetujui usulan anggaran pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan atau Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL), pemerintah tetap memiliki otorisasi untuk menjalankan APBN. Tapi dengan menggunakan pagu pada APBN tahun sebelumnya sesuai Pasal 15 Ayat (6) UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Hal ini menggambarkan bahwa, Banggar tidak memiliki kewenangan lebih dari pemerintah dalam urusan APBN. Dengan demikian, tingkat penyelewengan anggaran, tidak terlalu berpotensi di Banggar.

Keberadaan Banggar sebagai alat kelengkapan DPR, adalah bersifat integrated sesuai Undang Undang. Olehnya itu, bila ada pernyataan yang menyebutkan bahwa Banggar perlu dibubarkan, karena alat kelengkapan DPR yang satu ini telah dilumuti mafia dan praktek percaloan anggaran, adalah pernyataan yang inkonstitusional. Sebab, Banggar, secara inheren bukan alat kelengkapan an sich tapi merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi dan peran DPR sesuai amanah Undang Undang Dasar 1945.

Dengan demikian, kalau mau membubarkan Banggar, maka amandemenkan dulu UUD 1945 untuk menghapuskan fungsi anggaran DPR. Lagi pula, pernyataan membubarkan Banggar, adalah pernyataan yang terburu-buru. Karena Banggar dalam kapasitas anggaran atau APBN, bukanlah pengusul anggaran, yang berpotensi menyulap atau mensiasati sedemikian rupa APBN. Karena yang berperan dalam mengusulkan anggaran adalah pemerintah dan dibahas bersama Komisi-Komisi yang ada di DPR.

Berfikir sistemik bertindak parsial
Banggar dalam kapasitas ini, hanya sebagai penyetuju atau melakukan sinkoronisasi terhadap berbagai usulan pengalokasian anggaran oleh pemerintah melalui Kemetrian atau Lembaga (K/L) yang telah dibahas di Komisi. Dengan demikian, ruang dan celah praktek percaloan itu tidak tepat bila dialamatkan pada Banggar secara serta-merta.

Usulan pembubaran Banggar tidak lebih dari cara berfikir yang sistemik tapi bertindak parsial. Karena bila sistem di Banggar telah keropos dan memberikan ruang eksploitasi yang lebar bagi penyeleweng, maka sistem ini perlu dibenahi. Dalam rangka memberikan proteksi atau menyumbat ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya praktek percaloan dan mafia anggaran. Bukan malah dibubarkan, yang pada akhirnya melahirkan implikasi konstitusi dalam tata laksana lembaga negara.

Memang secara faktual, tak dapat dinafikan juga bahwa praktek percaloan dan mafia anggaran berpotensi menggurita di Banggar, tapi ruang yang memberikan keleluasaan itu teramat kecil. Karena yang menentukan secara teknis operasional itu pemerintah, melalui Kementrian atau Lembaga (K/L). Baik melalui RKP ataupun RKAKL. Baik tidaknya proyek, serta akuntabilitas keuangan dalam APBN, adalah berkaitan dengan kontrol teknis atau operasional teknis pemerintah. DPR dalam hal ini Banggar, hanya terlibat dalam soal policy-nya saja.

Dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dengan demikian, Banggar hanya lalu lintas untuk mensinkronkan usulan pemerintah setelah RKAKL dibahas di setiap komisi.

Penyakit korupsi di Banggar adalah problem yang saling bertemali secara sistemik. Dengan demikian, pengobatannya pun harus bersifat sistemik. Tidak bersifat parsial, sebagaimana suara-suara sumbang yang mengatakan Badan Anggaran dibubarkan saja.

Jika banyak ruang yang bocor, dan memberi keleluasaan pada para pemain anggaran, maka sejatinya yang perlu di perbaiki adalah sistemnya. Terutama UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Bukan malah membubarkan Banggar, yang justru inkonstitusinal. ***

Kamis, 18 Agustus 2011

Kemerdekaan dan Bulan Huru-Hara Politik

Laurens Bahang Dama

Dipublikasikan di rubric opini detik news.com Edisi 18 Agustus 2011

Jakarta - Baru kemarin kita merayakan HUT RI yang ke 66. Idealnya, kemerdekaan itu membuat orang bebas berbicara, bebas menyatakan apa saja termasuk menuduh, asal saja tuduhan itu sesuai dan berdasarkan fakta-fakta.

Bebas berbicara itu bisa menelurkan kebaikan, bukan malah membuat runyam apalagi memperkeruh suasana.

Tuduhan pun boleh saja, bila dengan tuduhan itu, bisa membongkar tumpukan konspirasi jahat untuk menghancurkankan tatanan kebaikan. Mungkin dalam konteks Indonesia saat ini, kita membutuhkan penuduh seperti Nazaruddin.

Sedikit banyak, dia punya kemerdekaan untuk berkorupsi dan keberanian untuk menuduh teman-teman semazhab korup-isme.

Di salah satu jejaring sosial, saya membaca status seorang user yang berbunyi, "Kok Nazaruddin diam? Apa ini ada hubungannya dengan proses pembungkapan politik?" Dus memang dengan cara pandang awam, kita bisa menduga, bahwa setiba di Indonesia, Nazaruddin tidak sefokal ketika dalam pelarian (buronan).

Dalam masa pelarian, Nazaruddin menegangkan saraf otak kita, karena dengan tuduhannya di beberapa media televisi swasta itu, ia mengumbar keterlibatan sejumlah oknum elit demokrat dan KPK dalam penggarukan uang negara. Baik dalam kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games di Palembang dan sejumlah mega proyek APBN yang nilainya triliunan rupiah.

Publik berharap, setibanya Nazaruddin di Indonesia, ia bisa mengurai rasa harap cemas, sekaligus kegemasan terkait siapa saja oknum yang telah korup berjamaah bersamanya. Paling tidak, Nazaruddin bisa memperjelas pernyataan yang disampaikannya ketika dalam masa buron.

Namun kini setibanya di Indonesia, harapan publik pun mengapung, Nazaruddin seolah membungkam atau bisa saja dibungkam. Itu perkiraan saja. Bungkamnya mantan anggota DPR Komisi III ini, menguraikan sejumlah tanya, kenapa? Ada apa? Di tengah-tengah rasa harap cemas itu, publik seolah dibuat pesimis.

Konon katanya, tas hitam yang dibawa Nazaruddin itu telah dimusnahkan isinya yang berupa barang bukti otentik terkait keterlibatan beberapa oknum pejabat dalam berbagai kasus korupsi.

Desas-desus soal pemusnahan barang bukti yang dimiliki Nazaruddin itupun membuncah dalam acara diskusi di salah satu stasiun TV swasta.

Adu mulut pun terjadi antara OC Kaligis (Kuasa Hukum Nazaruddin) dan Michael Menufandu (Duta Besar Indonesia di Kolombia) terkait hilangnya barang bukti dalam tas Nazaruddin itu lewat teleconference pada 16 agustus 2011. Konon katanya, barang bukti dalam tas hitam itu hilang, ketika dalam penahannya di Colombia.

Skenario baru ini dapat pula dibaca sebagai upaya sistematis untuk menenggelamkan berbagai bukti terkait kasus besar korupsi. Nazaruddin bahkan terlihat bak macan ompong dan tak segarang seperti ketika dalam pelarian.

Dengan kata lain juga, ini pembungkaman terstruktur, untuk menghilangkan jejak berbagai kasus korupsi APBN.

Jika benar barang bukti itu hilang akibat upaya terstruktur, maka kejelian pemerintah perlu dipertanyakan? Pasalnya, pemulangan Nazaruddin itu menelan biaya besar, kurang lebih Rp 4 miliar.

Tapi jika pemulangannya itu tidak berdampak pada pengungkapan berbagai skandal korupsi uang negara, maka sama juga bohong. Atau terjebak dalam kesia-siaan dan permainan citra.

Politik saling bungkam ini, menggurat keraguan publik, bahwa mustahil korupsi di Indonesia bisa diberantas sedemikian rupa. Karena membungkamnya Nazaruddin, bisa saja kaitannya dengan politik saling sandra. Nazaruddin Menyandera elit demokrat dan KPK, sementara KPK dan Elit demokrat pun saling menyandra.

Ini seperti lingkaran setan, pun ibarat seutas tali, kita tak mengerti dimana pangkal dan ujungnya? Serba kabur. Ini baru huru-hara namanya, serba tidak jelas.

*Penulis adalah Anggota DPR dan Pemerhati Masalah Korupsi

Senin, 08 Agustus 2011

The end of Ideologi : Daniel Bell
Resensi buku

Judul buku      :The end of Ideologi
Penulis           :Daniel Bill
Tebal buku     :162
SBSN              :9799375193


Oleh : Laurens Bahang Dama


Kematian ideology. Itulah sepenggal pesan yang disampaikan Daniel Bell dalam bukunya yang berjudul Kematian Ideologi (terj). 

Dengan judulnya yang menohok itu, Daniel ingin menyampaikan pesan, bahwa kapitalisme saat ini telah menggurita dan menghegemoni. Artinya, ideologi lain telah dianggapnya mati dan tak berdaya.

Semisal kematian sosialisme yang ditandai dengan runtuhnya sosialisme Uni Soviet. Dan tentu, runtuhnya dan gagalnya sosialisme dalam membangun sistem ideologinya itu, memberikan ruang agresi yang jauh lebih luas bagi kapitalisme untuk mendeklarasikan kepenguasaannya terhadap dunia.

Dengan buku ini, Daniel ingin mengumandangkan pada masyarakat jagad, bahwa kedigdayaan kapitalisme tak tertandingkan. Dan ideologi lain mau tak mau harus tunduk dan meng-amini keniscayaan global yang kapitalistik. Dan dengan demikian pula, kapitalisme ibarat mulut raksasa yang bisa melumat sistem apa saja yang dinginkannya. 

Tulisan Daniel ini juga, membuka memori kita untuk mengingat tulisan “Kematian Sejarah” yang mengandaikan sejarah telah mati dalam genggaman tangan kapitalisme. Namun di balik semua argumentasi dan kepongahan itu, kita patut menyalami sisi lain dari kapitalisme.

Krtitik Ideologi
Kendatipun deklarasi kemenangan kapitalisme itu telah mendunia, paling tidak mendunia lewat coretan tangan beberapa teoritikus dan ideolog. Namun, hantaman demi hantaman terhadapnya (kapitalisme) pun cukup mengorek nalar kita untuk kembali melihat kemapanan dan ancaman kapitalisme sebagai suatu tata nilai yang meracuni dan mengobrak-abrik kehidupan masyarakat dunia.

Inilah kekhawatiran masyarakat di abad 21, yang kemudian memuntahkan kritik dan protes terhadap kapitalisme yang in-justice. Ketidakadilan kapitalisme itu memang dipertontonkan tanpa perasaan canggung dan berdosa lewat dominasi peran serta kerakusan untuk menggerus sumberdaya ekonomi negara-negara dunia ketiga. Termasuk lembaga donor raksasa yang senafas (kapitalistik) yang cenderung menghisap dengan argumentasi membantu. 

Lembaga-lembaga donor itu dengan serakahnya melumat sumber daya ekonomi di beberapa negara sedang berkembang dan negara dunia ketiga umumnya. Mereka menganjurkan perbaikan ekonomi dengan privatisasi dan restrukrisasi.Padahal, anjuran kebijakan ekonomi tersebut hanya memberikan ruang penggarukan yang lebih besar lagi, dan juga merupakan bentuk lain dari de-nasionalisasi. 


Ancaman default yang menibani pemerintah Amerika Serikat (AS), adalah tanda tanya besar, bahwa apakah sistem kapitalisme masih dianggap dalam percaturan ideologi ekonomi dunia? Tak ayal, keraguan pun membanjir bahwa kapitalisme dan rezimnya, tidak lebih dari mesin penghisap. Membiarkan ruang segregasi terus membengkak. Negara yang miskin diperas agar tetap miskin, dan negara-negara yang hendak berkembang dieksploitasi dengan ragam tawaran dan jebakan-jebakan ideologi politik ekonomi.

Dalam konstelasi yang demikian, maka buku yang ditulis Daniel Bell patut disimak dalam perspektif yang kritis. Dan tentu proporsional.Pertanyaan yang layak adalah apakahideologi lain telah mati dan saat ini kapitalisme patut menjadi jargon dalam parktek-praktek ekonomi secara mondial ? ***

Rabu, 03 Agustus 2011

Haruskah KPK Bubar?

Tulisan ini menyikapi wacana pembubaran KPK Oleh Ketua DPR-RI Marzuki Ali. Tulisan ini dipublikasikan di Harian Umum POS KUPANG Edisi 5 Agustus 2011

Haruskah KPK Bubar?
Oleh : Drs. Laurens Bahang Dama

Seramai apapun protes terhadap pernyataan Marzuki Ali, Ketua DPR-RI itu tetap PD alias percaya diri bahwa yang disampaikan itu bertujuan baik. Namun, di balik pernyataannya, Marzuki tak menyadari bahwa ia sedang menghadang begitu tingginya aprsied publik terhadap standar moral dan etika di negara ini. Singkat kata, pernyataan Marzuki itu seolah resistensif dengan standar moral umum yang selama ini dianggap publik sejak nenek moyang hingga kini.

Bagi publik, korupsi adalah laku atau pun tindak yang a-moral. Karena dengan sengaja mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dengan cara apapun itu. Perbuatan memberikan maaf pada koruptor, adalah suatu tindakan melawan konstruksi moral dan etika yang selama ini diyakini dan dipercayai publik. Maka dengan pernyataan yang “seolah” melegalkan korupsi, tak mendapat ampun dan dilumat caci dan hujatan dari berbagai kalangan.

Berpihak pada Koruptor?
Tak heran, bahwa beberapa saat setelah seruan Marzuki terkait pembubaran KPK, publik pun menanyakan sebenarnya ia berpihak ke siapa? Koruptor? Atau KPK sebagai lembaga yang dipercayai masyarakat Indonesia dalam pemberantasan korupsi? Tak urung partai Demokrat tempatnya berkarir politik pun, turut terkerek ke dalam gelombang protes publik terkait kekonsistenan dalam memberantas korupsi.

Tapi di balik gemuruh protes itu, sesungguhnya Marzuki tak pandai membangun komunikasi publik yang baik untuk mem-publish-kan niat baiknya. Bangunan komunikasi politik yang buruk, hanya melahirkan kekisruhan di tengah situasi yang serba tegang dan tidak pasti soal sederetan kasus korupsi yang juga melibatkan partai Demokrat.

Di tengah kegamangan publik yang semakin dis-trust terhadap lembaga-lembaga hukum, termasuk KPK, Marzuki malah membuat situasi semakin keruh. Dus perbincangan hangat publik soal korupsi yang tengah melumat pencitraan partai Demokrat pun pupus, karena terkecoh dan beralih ke pernyataan Marzuki yang tak berisi itu.

Pernyataan Marzuki juga jika ditinjau dari kajian komunikasi politik, dapat dilihat sebagai bentuk upaya peralihan isu. Ataupun bisa sebagai upaya mengamputasi KPK di tengah kerja keras berbagai elemen sosial untuk me-revitalisasi peran KPK. Hal ini karena ia tidak mampu memilah_pisahkan KPK secara kelembagaan, dan pimpinan KPK dalam dimensi tertentu sebagai oknum.

Ketidakmampuan untuk memilah-milah pernyataan inilah yang kemudian, bisa kita anggap sebagai menciptakan kekisruhan untuk mengalihkan isu. Tradisi mengalihkan isu ini, terlihat lumrah dalam skenario komunikasi politik. Isu yang satu meneggelamkan isu yang lain. Akibatnya, konsen publik untuk mengkritik suatu soal, tenggelam dan mengaram menjadi arsip-arsip berita media masa yang tak berguna.

Jika soalnya adalah perilaku okunum pimpinan KPK yang terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, maka sejatinya yang dilakukan adalah menonaktifkan oknum tersebut. Demikian pun meng-immun KPK agar jauh lebih steril dari perilaku banal oknum pimpinan. Kesalahan oknum KPK tidak serta-merta digeneralisir sebagai penyakit bawaan yang sulit disembuhkan. Lalu kemudian seruan untuk membubarkan KPK. Seruan Marzuki itu adalah kekonyolan yang teramat.

Blok persepsi
Wal hasil, dalam tinjauan komunikasi politik juga, pernyataan Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat itu melawan arus keyakinan publik yang kuat bahwa korupsi adalah perilaku hitam, dan sampai kapan pun sulit dimaafkan. Bagi publik, persoalan korupsi adalah soal “hitam-putih”. Maka pembelaan Marzuki yang datang kemudian bahwa yang disampaikannya itu sebuah “pengandaian” adalah hal yang keliru dan dianggap iseng.

Kecelakaan komunikasi demikian, atau menghambur-hambur wacana iseng, dianggap tidak relevan dilakukan oleh seorang pejabat penting. Apalagi jabatan tersebut mewakili aspirasi rakyat Indonesia. Karena hal demikian, hanya akan menguras energi positif negeri ini.

Pasca pernyataan Marzuki, melahirkan blok persepsi yang tidak karuan. Bahkan persepsi itu terbelah dalam faksi-faksi kepentingan yang mudah diendus. Dan juga di sisi yang lain, efek pernyataan itu semakin memompa ketidakpercayaan publik terhadap KPK. Akibatnya, otoritas KPK kian menjadi tumpul dan loyo. Yang jelas, para koroptor itu bertepuk sorai dan kian menggila. Karena KPK yang dianggap sebagai hantu bubuyutan itu telah mengalami distrust oleh masyarakat Indonesia.

Pastinya, pasca pernyataan Marzuki itu, beragam protes pun berdatangan baik yang pro maupun yang kontra. Tentu ini suatu hal yang tidak perlu. Atau sebaiknya kita perlu meng-efisienkan energi dalam berdemokrasi, apalagi memperdebatkan hal-hal yang tidak berguna. Atau anak sekarang bilang “ga penting kaleee”. Semoga


Senin, 01 Agustus 2011

Runtuhnya Kapitalisme?

Default Amerika?

Dipublikasikan : detik news.com Edisi, 02/08/2011

Oleh : Laurens Bahang Dama


Negara adidaya itu (AS) kini terancam default atau gagal bayar utang. Wacana ini akan semakin terbukti, manakala dalam rapat parlemen AS, partai oposisi Republik tidak menyetujui kesepakatan menaikan plafon hutang AS. 

Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa nasib ekonomi AS kian di tepi jurang krisis terhebat setelah perang dunia II. Kondisi demikian juga mempertontonkan bahwa sistem ekonomi kapitalistik yang menghambakan diri pada pasar modal dan surat berharga (spekulasi moneter) tak mampu mengakar kuat, getas dan mudah runtuh oleh keserakahan para spekualan di pasar uang. 

Kekeroposan landasan ekonomi moneter ini, pun menunjukkan serta membuka mata khalayak dunia, bahwa pasar uang, adalah sistem ekonomi yang ter-segregasi dari sektor riil. Karena pilar ekonomi pasar uang, hanya mengandalkan spekulasi dan transaksi yang bersifat un-tangible (tak berwujud). 

Akan tetapi, bila sedikit saja menuai gonjangan, maka sentimen negatif dari pasar uang, dapat menimbulkan sekian rupa masalah dalam sistem riil ekonomi. Krisis ekonomi 1998, krisis global 2008 dan ancaman default AS saat ini, adalah realitas yang turut menelanjangi superioritas ekonomi kapitalisme yang moneter-minded.

Dalam pilar ekonomi pasar uang, kita sulit menemukan wujud atau implikasi nyata terhadap sektor riil, berupa investasi langsung yang berdampak pada perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan secara sistematis. 

Dengan gambaran demikian, maka kiblat ekonomi yang lebih mendalkan sektor pasar uang, tidak relevan lagi menjadi pilar ekonomi suatu negara. Kalau pun tetap dipertahankan, maka paradigma peruntukkannya harus jelas, yakni dalam bentuk investasi langsung yang berdampak riil pada ekonomi suatu negara. Bukan semata menyediakan ruang bagi para kartel.

Saat ini, seluruh bangun wacana optimisme pemerintah terhadap ekonomi Indonesia, adalah berdasarkan mengalir_derasnya modal asing ke Indonesia (capital inflow). Arus modal tersebut sudah pasti dalam bentuk surat-surat berharga negara (SBN) dan investasi asing langsung (foreign direct investment)

Derasnya arus modal portofolio global ke Indonesia jelas membawa manfaat, tetapi juga risiko. Dengan meningkatnya pasokan devisa, rupiah menguat dan akan menurunkan inflasi, sumber pembiayaan anggaran pemerintah lebih murah, dan tersedianya sumber pembiayaan untuk investasi di dalam negeri.

Namun alas ekonomi yang demikian, cukup riskan, manakala sewaktu-waktu terjadi spekulasi global atau kembalinya modal asing tersebut secara mendadak (sudden reversal). Maka akan menimbulkan goncangan berarti yang tentu bisa berdampak pada sektor ekonomi lain secara masif

Artinya, jika kiprah ekonomi pasar uang tidak terlalu besar berdampak pada riil ekonomi, maka keberadaannya dalam konstelasi perekonomian suatu negara patut ditinjau kembali. Hal demikian patut dipertimbangkan, dengan melihat kondisi ekonomi Amerika saat ini. 

Negara adidaya itu terancam bangkrut, akibat besarnya tanggungan hutang serta sentimen negatif pasar uang yang berakibat pada negara gagal atau bangkrut. Kondisi demikian juga sekaligus menggambarkan bahwa, rezim kapitalisme yang selama ini dikomendani AS, terancam gagal total dalam dalam menunjukkan kemampuannya dalam memperkuat ekonomi suatu negara. 

Dengan demikian, maka sudah saatnya kita kembali pada paradigma ekonomi yang lebih berkeadilan. Paradigma ekonomi yang lebih melihat aspek kesejahteraan suatu masyarakat sebagai urat dan akar ekonomi. Artinya, kita mesti bergeser dari paradigma capital-intrest ke paradigma human-intrest. Karena kebangunan ekonomi bukan modal an sich. Tapi lebih pada paradigma welfere state yang di dalamnya ada manusia sebagai suatu entitas jamak. Semoga