Kamis, 18 Agustus 2011

Kemerdekaan dan Bulan Huru-Hara Politik

Laurens Bahang Dama

Dipublikasikan di rubric opini detik news.com Edisi 18 Agustus 2011

Jakarta - Baru kemarin kita merayakan HUT RI yang ke 66. Idealnya, kemerdekaan itu membuat orang bebas berbicara, bebas menyatakan apa saja termasuk menuduh, asal saja tuduhan itu sesuai dan berdasarkan fakta-fakta.

Bebas berbicara itu bisa menelurkan kebaikan, bukan malah membuat runyam apalagi memperkeruh suasana.

Tuduhan pun boleh saja, bila dengan tuduhan itu, bisa membongkar tumpukan konspirasi jahat untuk menghancurkankan tatanan kebaikan. Mungkin dalam konteks Indonesia saat ini, kita membutuhkan penuduh seperti Nazaruddin.

Sedikit banyak, dia punya kemerdekaan untuk berkorupsi dan keberanian untuk menuduh teman-teman semazhab korup-isme.

Di salah satu jejaring sosial, saya membaca status seorang user yang berbunyi, "Kok Nazaruddin diam? Apa ini ada hubungannya dengan proses pembungkapan politik?" Dus memang dengan cara pandang awam, kita bisa menduga, bahwa setiba di Indonesia, Nazaruddin tidak sefokal ketika dalam pelarian (buronan).

Dalam masa pelarian, Nazaruddin menegangkan saraf otak kita, karena dengan tuduhannya di beberapa media televisi swasta itu, ia mengumbar keterlibatan sejumlah oknum elit demokrat dan KPK dalam penggarukan uang negara. Baik dalam kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games di Palembang dan sejumlah mega proyek APBN yang nilainya triliunan rupiah.

Publik berharap, setibanya Nazaruddin di Indonesia, ia bisa mengurai rasa harap cemas, sekaligus kegemasan terkait siapa saja oknum yang telah korup berjamaah bersamanya. Paling tidak, Nazaruddin bisa memperjelas pernyataan yang disampaikannya ketika dalam masa buron.

Namun kini setibanya di Indonesia, harapan publik pun mengapung, Nazaruddin seolah membungkam atau bisa saja dibungkam. Itu perkiraan saja. Bungkamnya mantan anggota DPR Komisi III ini, menguraikan sejumlah tanya, kenapa? Ada apa? Di tengah-tengah rasa harap cemas itu, publik seolah dibuat pesimis.

Konon katanya, tas hitam yang dibawa Nazaruddin itu telah dimusnahkan isinya yang berupa barang bukti otentik terkait keterlibatan beberapa oknum pejabat dalam berbagai kasus korupsi.

Desas-desus soal pemusnahan barang bukti yang dimiliki Nazaruddin itupun membuncah dalam acara diskusi di salah satu stasiun TV swasta.

Adu mulut pun terjadi antara OC Kaligis (Kuasa Hukum Nazaruddin) dan Michael Menufandu (Duta Besar Indonesia di Kolombia) terkait hilangnya barang bukti dalam tas Nazaruddin itu lewat teleconference pada 16 agustus 2011. Konon katanya, barang bukti dalam tas hitam itu hilang, ketika dalam penahannya di Colombia.

Skenario baru ini dapat pula dibaca sebagai upaya sistematis untuk menenggelamkan berbagai bukti terkait kasus besar korupsi. Nazaruddin bahkan terlihat bak macan ompong dan tak segarang seperti ketika dalam pelarian.

Dengan kata lain juga, ini pembungkaman terstruktur, untuk menghilangkan jejak berbagai kasus korupsi APBN.

Jika benar barang bukti itu hilang akibat upaya terstruktur, maka kejelian pemerintah perlu dipertanyakan? Pasalnya, pemulangan Nazaruddin itu menelan biaya besar, kurang lebih Rp 4 miliar.

Tapi jika pemulangannya itu tidak berdampak pada pengungkapan berbagai skandal korupsi uang negara, maka sama juga bohong. Atau terjebak dalam kesia-siaan dan permainan citra.

Politik saling bungkam ini, menggurat keraguan publik, bahwa mustahil korupsi di Indonesia bisa diberantas sedemikian rupa. Karena membungkamnya Nazaruddin, bisa saja kaitannya dengan politik saling sandra. Nazaruddin Menyandera elit demokrat dan KPK, sementara KPK dan Elit demokrat pun saling menyandra.

Ini seperti lingkaran setan, pun ibarat seutas tali, kita tak mengerti dimana pangkal dan ujungnya? Serba kabur. Ini baru huru-hara namanya, serba tidak jelas.

*Penulis adalah Anggota DPR dan Pemerhati Masalah Korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar