Kamis, 30 Juni 2011

Konglomerasi Media


Oleh : Drs, Laurens Bahang Dama


Konglomerasi Media
"Chairul Tanjung Beli detik.com". Itulah judul berita salah satu media cetak nasional Kamis, (30/06). Sebagai orang yang bersimpati pada kerja dan idealisme pers, kok saya merasa, pers kita saat ini telah mengalami pengkooptasian pada kepentingan dan capital. Atau kasarnya, pers kita saat ini semakin mengalami konglomerasi. Tentu kondisi ini akan berakibat pada pergeseran paradigma pers. Dari paradigma sosial kritis menjadi paradigma pasar (market)

Paradigma pasar, meniscayakan pers kita akan berubah kelamin menjadi cenderung market-oriented. Ini naif, sekaligus mencedarai demokrasi kita. Padahal, pers adalah salah satu penyangga kokohnya demokrasi. Proses checks and balances tidak akan berjalan, manakala peran pers dilumpuhkan, atau sengaja dilumpuhkan, dengan menggantungkannya pada kemampuan modal an sich

Kendatipun modal diperlukan, tetapi kapitalisasi pers hanya akan merubah ruh keindependensian dan semangat kritisismenya. Di Indonesia saat ini, tidak sedikit media pers yang terkungkung dalam kepentingan pemilik modal. Logikanya adalah, kritik media tidak mungkin bersebrangan dengan pemodalnya. Kondisi inilah yang terjadi, bahwa pers kita telah tersegmentasi dalam kelompok kepentingan. Akibatnya, kita sulit mengidentifikasi keindependensian sebuah berita, manakalah berita tersebut bersentuhan dengan zona kepentingan yang melibatkan si pemodal. 

Bahasa media saat ini, sulit ditemukan social intrest dan kemurnian idealisme serta keberpihakan sosialnya. Saat ini, kita begitu mudah mengendus desain kepentingan apa di balik sebuah berita. Karena pengkooptasian pers dalam politik kepentingan itu, bukan rahasia umum lagi.

Sebab dari pengkroposan peran media ini, mengakibatkan mesin demokrasi kita berjalan tanpa kualitas.Kasarnya demokrasi kita berjalan hanya karena digerakkan oleh desain kepentingan.

Publik atau masyarakat pembaca hanya mampu dibentuk opininya, dengan harapan agar terkooptasi dalam politik kepentingan. Bukan proses pencerdasan demokrasi yang genuine.

Sampai pada titik ini, kita semestinya mampu menghentikan lajunya arus konglomerasi yang mengkooptasikan pers dalam proses industrialisme sempit. Itu pun kalau kita masih memiliki cita-cita demokrasi yang sama. Jika tidak, kita akan tetap gamang dalam memposisikan dimana seharusnya dunia pers berdialektika. 

Saat ini kita boleh akui bahwa dunia pers beitu berkembang pesat. Akan tetapi perkembangan atau menjamurnya pers tersebut, bukan serta-merta menandakan membaiknya peran social-demokratic pers. Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya pers (secara kuantitatif) tersebut, bisa juga berarti "pers merupakan lahan baru untuk proses pengkapitalisasian nilai demokrasi".



Tidak ada komentar:

Posting Komentar