Rabu, 03 Agustus 2011

Haruskah KPK Bubar?

Tulisan ini menyikapi wacana pembubaran KPK Oleh Ketua DPR-RI Marzuki Ali. Tulisan ini dipublikasikan di Harian Umum POS KUPANG Edisi 5 Agustus 2011

Haruskah KPK Bubar?
Oleh : Drs. Laurens Bahang Dama

Seramai apapun protes terhadap pernyataan Marzuki Ali, Ketua DPR-RI itu tetap PD alias percaya diri bahwa yang disampaikan itu bertujuan baik. Namun, di balik pernyataannya, Marzuki tak menyadari bahwa ia sedang menghadang begitu tingginya aprsied publik terhadap standar moral dan etika di negara ini. Singkat kata, pernyataan Marzuki itu seolah resistensif dengan standar moral umum yang selama ini dianggap publik sejak nenek moyang hingga kini.

Bagi publik, korupsi adalah laku atau pun tindak yang a-moral. Karena dengan sengaja mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dengan cara apapun itu. Perbuatan memberikan maaf pada koruptor, adalah suatu tindakan melawan konstruksi moral dan etika yang selama ini diyakini dan dipercayai publik. Maka dengan pernyataan yang “seolah” melegalkan korupsi, tak mendapat ampun dan dilumat caci dan hujatan dari berbagai kalangan.

Berpihak pada Koruptor?
Tak heran, bahwa beberapa saat setelah seruan Marzuki terkait pembubaran KPK, publik pun menanyakan sebenarnya ia berpihak ke siapa? Koruptor? Atau KPK sebagai lembaga yang dipercayai masyarakat Indonesia dalam pemberantasan korupsi? Tak urung partai Demokrat tempatnya berkarir politik pun, turut terkerek ke dalam gelombang protes publik terkait kekonsistenan dalam memberantas korupsi.

Tapi di balik gemuruh protes itu, sesungguhnya Marzuki tak pandai membangun komunikasi publik yang baik untuk mem-publish-kan niat baiknya. Bangunan komunikasi politik yang buruk, hanya melahirkan kekisruhan di tengah situasi yang serba tegang dan tidak pasti soal sederetan kasus korupsi yang juga melibatkan partai Demokrat.

Di tengah kegamangan publik yang semakin dis-trust terhadap lembaga-lembaga hukum, termasuk KPK, Marzuki malah membuat situasi semakin keruh. Dus perbincangan hangat publik soal korupsi yang tengah melumat pencitraan partai Demokrat pun pupus, karena terkecoh dan beralih ke pernyataan Marzuki yang tak berisi itu.

Pernyataan Marzuki juga jika ditinjau dari kajian komunikasi politik, dapat dilihat sebagai bentuk upaya peralihan isu. Ataupun bisa sebagai upaya mengamputasi KPK di tengah kerja keras berbagai elemen sosial untuk me-revitalisasi peran KPK. Hal ini karena ia tidak mampu memilah_pisahkan KPK secara kelembagaan, dan pimpinan KPK dalam dimensi tertentu sebagai oknum.

Ketidakmampuan untuk memilah-milah pernyataan inilah yang kemudian, bisa kita anggap sebagai menciptakan kekisruhan untuk mengalihkan isu. Tradisi mengalihkan isu ini, terlihat lumrah dalam skenario komunikasi politik. Isu yang satu meneggelamkan isu yang lain. Akibatnya, konsen publik untuk mengkritik suatu soal, tenggelam dan mengaram menjadi arsip-arsip berita media masa yang tak berguna.

Jika soalnya adalah perilaku okunum pimpinan KPK yang terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, maka sejatinya yang dilakukan adalah menonaktifkan oknum tersebut. Demikian pun meng-immun KPK agar jauh lebih steril dari perilaku banal oknum pimpinan. Kesalahan oknum KPK tidak serta-merta digeneralisir sebagai penyakit bawaan yang sulit disembuhkan. Lalu kemudian seruan untuk membubarkan KPK. Seruan Marzuki itu adalah kekonyolan yang teramat.

Blok persepsi
Wal hasil, dalam tinjauan komunikasi politik juga, pernyataan Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat itu melawan arus keyakinan publik yang kuat bahwa korupsi adalah perilaku hitam, dan sampai kapan pun sulit dimaafkan. Bagi publik, persoalan korupsi adalah soal “hitam-putih”. Maka pembelaan Marzuki yang datang kemudian bahwa yang disampaikannya itu sebuah “pengandaian” adalah hal yang keliru dan dianggap iseng.

Kecelakaan komunikasi demikian, atau menghambur-hambur wacana iseng, dianggap tidak relevan dilakukan oleh seorang pejabat penting. Apalagi jabatan tersebut mewakili aspirasi rakyat Indonesia. Karena hal demikian, hanya akan menguras energi positif negeri ini.

Pasca pernyataan Marzuki, melahirkan blok persepsi yang tidak karuan. Bahkan persepsi itu terbelah dalam faksi-faksi kepentingan yang mudah diendus. Dan juga di sisi yang lain, efek pernyataan itu semakin memompa ketidakpercayaan publik terhadap KPK. Akibatnya, otoritas KPK kian menjadi tumpul dan loyo. Yang jelas, para koroptor itu bertepuk sorai dan kian menggila. Karena KPK yang dianggap sebagai hantu bubuyutan itu telah mengalami distrust oleh masyarakat Indonesia.

Pastinya, pasca pernyataan Marzuki itu, beragam protes pun berdatangan baik yang pro maupun yang kontra. Tentu ini suatu hal yang tidak perlu. Atau sebaiknya kita perlu meng-efisienkan energi dalam berdemokrasi, apalagi memperdebatkan hal-hal yang tidak berguna. Atau anak sekarang bilang “ga penting kaleee”. Semoga


Tidak ada komentar:

Posting Komentar