Senin, 01 Agustus 2011

Runtuhnya Kapitalisme?

Default Amerika?

Dipublikasikan : detik news.com Edisi, 02/08/2011

Oleh : Laurens Bahang Dama


Negara adidaya itu (AS) kini terancam default atau gagal bayar utang. Wacana ini akan semakin terbukti, manakala dalam rapat parlemen AS, partai oposisi Republik tidak menyetujui kesepakatan menaikan plafon hutang AS. 

Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa nasib ekonomi AS kian di tepi jurang krisis terhebat setelah perang dunia II. Kondisi demikian juga mempertontonkan bahwa sistem ekonomi kapitalistik yang menghambakan diri pada pasar modal dan surat berharga (spekulasi moneter) tak mampu mengakar kuat, getas dan mudah runtuh oleh keserakahan para spekualan di pasar uang. 

Kekeroposan landasan ekonomi moneter ini, pun menunjukkan serta membuka mata khalayak dunia, bahwa pasar uang, adalah sistem ekonomi yang ter-segregasi dari sektor riil. Karena pilar ekonomi pasar uang, hanya mengandalkan spekulasi dan transaksi yang bersifat un-tangible (tak berwujud). 

Akan tetapi, bila sedikit saja menuai gonjangan, maka sentimen negatif dari pasar uang, dapat menimbulkan sekian rupa masalah dalam sistem riil ekonomi. Krisis ekonomi 1998, krisis global 2008 dan ancaman default AS saat ini, adalah realitas yang turut menelanjangi superioritas ekonomi kapitalisme yang moneter-minded.

Dalam pilar ekonomi pasar uang, kita sulit menemukan wujud atau implikasi nyata terhadap sektor riil, berupa investasi langsung yang berdampak pada perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan secara sistematis. 

Dengan gambaran demikian, maka kiblat ekonomi yang lebih mendalkan sektor pasar uang, tidak relevan lagi menjadi pilar ekonomi suatu negara. Kalau pun tetap dipertahankan, maka paradigma peruntukkannya harus jelas, yakni dalam bentuk investasi langsung yang berdampak riil pada ekonomi suatu negara. Bukan semata menyediakan ruang bagi para kartel.

Saat ini, seluruh bangun wacana optimisme pemerintah terhadap ekonomi Indonesia, adalah berdasarkan mengalir_derasnya modal asing ke Indonesia (capital inflow). Arus modal tersebut sudah pasti dalam bentuk surat-surat berharga negara (SBN) dan investasi asing langsung (foreign direct investment)

Derasnya arus modal portofolio global ke Indonesia jelas membawa manfaat, tetapi juga risiko. Dengan meningkatnya pasokan devisa, rupiah menguat dan akan menurunkan inflasi, sumber pembiayaan anggaran pemerintah lebih murah, dan tersedianya sumber pembiayaan untuk investasi di dalam negeri.

Namun alas ekonomi yang demikian, cukup riskan, manakala sewaktu-waktu terjadi spekulasi global atau kembalinya modal asing tersebut secara mendadak (sudden reversal). Maka akan menimbulkan goncangan berarti yang tentu bisa berdampak pada sektor ekonomi lain secara masif

Artinya, jika kiprah ekonomi pasar uang tidak terlalu besar berdampak pada riil ekonomi, maka keberadaannya dalam konstelasi perekonomian suatu negara patut ditinjau kembali. Hal demikian patut dipertimbangkan, dengan melihat kondisi ekonomi Amerika saat ini. 

Negara adidaya itu terancam bangkrut, akibat besarnya tanggungan hutang serta sentimen negatif pasar uang yang berakibat pada negara gagal atau bangkrut. Kondisi demikian juga sekaligus menggambarkan bahwa, rezim kapitalisme yang selama ini dikomendani AS, terancam gagal total dalam dalam menunjukkan kemampuannya dalam memperkuat ekonomi suatu negara. 

Dengan demikian, maka sudah saatnya kita kembali pada paradigma ekonomi yang lebih berkeadilan. Paradigma ekonomi yang lebih melihat aspek kesejahteraan suatu masyarakat sebagai urat dan akar ekonomi. Artinya, kita mesti bergeser dari paradigma capital-intrest ke paradigma human-intrest. Karena kebangunan ekonomi bukan modal an sich. Tapi lebih pada paradigma welfere state yang di dalamnya ada manusia sebagai suatu entitas jamak. Semoga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar