Minggu, 31 Juli 2011

Reideologisasi Pancasila


Revitalisasi Pilar Bangsa
Sebagai sebuah negara, Indonesia terkonstruksi atas basis nilai dan ideologi yang menjadi landas pijak kehidupan masyarakatnya. Landas pijak ideologi tersebut adalah Pancasila dan UUD 1945 serta turunan nilai lainnya yang mengakar dan lahir sejak Indonesia ini ada.

Tentu Pancasila serta UUD 1945 ini, tidak lahir dari suatu ruang hampa atau diimpor secara serta-merta ke dalam tubuh republik ini menjadi satu falsafah bernegara. 

Pancasila dan UUD 1945, adalah suatu pelembagaan nilai-nilai luhur yang diwariskan sejak nenek moyang kita ada. Olehnya itu, Pancasila dan UUD 1945 adalah ultimate dari kecerdasan anak bangsa untuk mendirikan republik ini.

Karena Pancasila lahir dari rahim sosiologis masyarakat Indonesia, maka keberedaannya pun sekaligus menjadi kontrak sosial masyarakat Indonesia yang ragam dan plural. Dari sila 1-5 Pancasila, mewariskan semangat yang komprehensif bagi penataan perilaku orang per-orang, komunitas hingga masyarakat Indonesia secara luas dari berbagai etnis dan ras. Jika sejenak kita dalami, maka Pancasila dari ayat 1-5, memeliki beberapa aspek dasar ideologis. Diantaranya :
Pertama : Ketuhanan sebagai dasar spirit moralitas (sila 1). Kedua : Meletakkan dasar-dasar kemanusiaan berdasarkan perspektif keadilan dan keadaban (sila 2). Ketiga : Persatuan sebagai simbol kekuatan, sekaligus menepis perbedaan-perbedaan primordial/sektarian yang menjurus pada dikotomisasi dan suprioritas kelompok mayoritas terhadap minoritas  (sila 3). Keempat : Demokrasi sebagai frame politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam bentuk perwakilan melalui suatu mekanisme demokrasi yang sehat/jujur dan adil (sila 4). Kelima : Finalisasi puncak praktek bernegara secara ideal adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (sila 5).

Dari kelima substansi makna Pancasila di atas, maka terlihat jelaslah bahwa, sebagai ideologi negara, Pancasila secara rinci dan sistematis meletakkan frame negara (state) dalam satu tujuan yang dan cita-cita yang mulia (welfare state)

Namun dalam perjalanannya, nilai-nilai Pancasila di atas kian tergerus dan tenggelam dalam hegemoni globalisme. Suatu fase sejarah yang meniscayakan tidak ada lagi batas-batas dalam interaksi masyarakat dunia. 

Terkooptasinya sistem negara dalam arus hegemoni globalisme ini, mempertontonkan bahwa betapa Pancasila kian pupus dari dalam relung batin dan perilaku bernegara kita secara masif.

Akibatnya, sistem politik, ekonomi dan sosial budaya kita kian terkooptasi dalam semangat neoliberalisme-kapitalistik. Ekonomi kita cenederung berpihak ke asing, pendidikan kita semakin komersial, sementara sistem politik kita semakin liberalistik dan  jauh dari semangat keIndonesiaan yang etik dan humanis dan populis.
 
Menurut hemat saya, dalam posisi yang demikian, revitalisasi pilar kebangsaan seperti Pancasila, harus dilakukan secara terus-menerus. Dalam rangka memperbaiki kondisi negara yang ada agar jauh lebih baik.

Euforia reformasi dan de-legitimasi terhadap orde baru secara membabi-buta, telah membuat kita seolah memuntahkan begitu saja pilar-pilar kehidupan berbangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh rezim orde baru, tanpa pertimbangan risiko-risikonya masa depan Indonesia.

Di sekolah-sekolah, dari SD-Perguruan Tinggi, penataran P4 dihapuskan, sebagai akibat dari akumulasi dendamisme terhadap rezim yang sedemikian menggunung. Kita diibaratkan bangsa yang mengalami musim peceklik ideologi pasca orde baru. 

Walhasil saat ini, sistem reformasi jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kita hanya melakukan reformasi secara struktural, tapi secara substansial ideologis kita belum mampu.

Revitalisasi dan reideologisasi terhadap seluruh sistem di republik ini perlu dilakukan, dalam rangka menghidupkan kembali militansi ke-Pancasila-an kita. Kata kunci adalah proses pembumian Pancasila adalah “harga mati”.

(Gagasan ini disampaikan pada penguatan pilar kebangsaan di Beberapa Kabupaten di NTT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar