Rabu, 29 Juni 2011

Mau Kemana Politik Anggaran Kita?

Politik Anggaran?
Banyak hal yang perlu kita kritisi terkait postur APBN 2012. Pasalnya, asumsi yang disampaikan pemerintah, belum begitu signifikan dalam menggerakkan sektor riil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara subtantif. Hal ini  terlihat dari sempitnya ruang fiskal yang menggambarkan bahwa RAPBN kita hanya terfokus pada belanja-belanja terikat yang bersifat rutin dan tidak ekspansif.

Dengan demikian, bisa juga dikatakan bahwa RAPBN kita selama ini hanya terjebak pada rutinitas-rutinitas politik anggaran yang tidak berimplikasi signifikan pada perbaikan nasib rakyat. Akibat politik anggaran yang rigid tersebut juga, kita menemukan banyak kelemahan pada RAPBN 2012 yang tidak pro job dan pro poor sebagaimana yang dijanjikan SBY pada pemilu 2009.

Misalnya saja, untuk RAPBN 2012 ini, Menteri Keuangan mengusulkan agar dana sisa anggaran lebih (SAL) digunakan sebagai sumber pendanaan untuk mengurangi beban penambahan utang baru. Padahal, pada rapat sebelumnya, DPR sebegitu ngototnya terkait realisasi defisit yang untargeted pada pembangunan infrastruktur.

Bahkan DPR begitu kritis soal pemerintah yang terkesan seolah-olah berspekulasi agar anggaran defisit itu di-SAL-kan. Soalnya adalah, mau diapakan dana SAL itu? Yang dapat kita tangkap adalah, serapan anggaran yang lemah pada ranah infrastruktur, adalah pokok soal.

Pertumbuhan ekonomi tidak reliabel
Sejatinya, defisit dan SAL lebih diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur. Makanya, meski disimpan di kantong SAL, peruntukkan harus tetap pada ranah infrastruktur untuk periode anggaran berikutnya.

Pemerintah berdalaih bahwa, salah satu pengganjal investasi dalam negeri adalah kuatnya aliran capital inflow. Pemerintah khawatir, bila sewaktu-waktu capital inflow kita melambat, maka akan mengganggu stabilitas pasar Surat Berharga Negara (SBN). Untuk itu, penggunaan dana SAL untuk menjaga stabilitas pasar dan i
nvestasi dalam bentuk SBN adalah suatu keharusan.

Kita dapat berkesimpulan juga bahwa, pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini tidak reliabel. Pasalnya, klaim pertumbuhan itu lebih ditopang oleh interaksi pasar uang yang sangat bergantung pada dinamika eksternal (pasar uang global). Bukan penguatan infrastruktur dalam negeri dan riil ekonomi nasional.

Padahal kita tahu, bahwa negara yang kualitas ekonominya baik, adalah yang paling besar belanja infrastrukturnya. Pasar uang adalah salah satu sektor ekonomi padat modal. Saat ini, kita membutuhkan ekonomi padat karya yang mampu menyerap banyak angkatan kerja. Dalam rangka menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan.  

Demikian juga pasar uang dan komponennya seperti capital inflow mesti dibutuhkan, tapi tidak berimplikasi signifikan dalam menggerakan sektor riil. Modal asing dan sejenisnya, hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal besar (kapitalis/kartel) yang selama ini menciptakan tirani dalam pasar uang. Soalnya adalah pemerintah ini berpihak kemana? Rakyat atau kartel?

Kalau sampai pemanfaatan SAL untuk SBN dan sumber pendanaan beban penambahan utang ini disetujui DPR, maka kebijakan ini akan melahirkan implikasi ekonomi dan politik yang luar biasa. Atau tidak bedanya dengan kasus BLBI dan Bailout Century. Masalahnya adalah bila dana SAL yang hendak dijadikan sumber dana mengurangi beban penambahan utang dan sumber pendanaan untuk menjaga  stabilitas pasar surat berharga Negara (SBN) itu berjumlah puluhan triliun rupiah yang semestinya diperuntukkan bagi belanja infrastruktur.  

Utang yang mengutangkan
Saat ini, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang mencatat bahwa khusus untuk tahun ini (2011), kebutuhan untuk pembiayaan mencapai Rp. 288,76 triliun. Dengan rincian pengunaan adalah : Pembiayaan defisit Rp.124,7 triliun, dan kewajiban pembayaran utang Rp. 148,14 triliun.

Dalam beberpa press konferens, pemerintah mengklaim bahwa rasio pinjaman terhadap PDB terus menurun. Padahal, efektivitas pengelolaan utang tidak bisa dilihat hanya dari penurunan defisit, dan menurunnya rasio pinjaman terhadap PDB, akan tetapi yang perlu menjadi catatan kritis adalah, apakah pembiayaan utang tersebut berimplikasi pada sektor riil? Jika implikasinya rendah, maka utang tersebut tidak berkontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi, sementara di sisi yang lain, pemerintah terus membayar beban bunga dan sewaktu-waktu terancam oleh risiko utang.

Ada sejumlah anomali kebijakan makro ekonomi yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Khususnya terkait dengan manfaat dan tujuan pengelolaan utang. Sebagaimana diketahui, pembiayaan defisit APBN merupakan keputusan politik antara pemerintah dan DPR-RI antara lain kemanfaatannya untuk: 1). Menjaga stimulus fiskal melalui misalnya pembangunan infrastruktur, pertanian dan energi,dan proyek padat karya. 2). Pengembangan peningkatan kesejahteraan masyarakat misalnya PNPM, BOS, Jamkesmas, Raskin, PKH, Subsidi. 3). Mendukung pemulihan dunia usaha termasuk misalnya insentif pajak. 4). Mempertahankan anggaran pendidikan 20%. 5). Peningkatan anggaran Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista). Namun, persoaloannya adalah, bisakah pemerintah menunjukkan data terkait sejauh mana tingkat penyerapan anggaran “khususnya yang bersumber dari utang” terhadap lima komponen di atas? Ternyata hingga saat ini, indikator tersebut belum bisa ditunjukkan pemerintah, baik dalam bentuk data dan program.

Jika kita bersandar pada tujuan penggunaan utang dimaksud, maka bila tingkat penyerapan pada lima komponen di atas rendah, hal tersebut menandakan bahwa pengelolaan utang oleh pemerintah tidak memiliki ekses kemanfaatan bagi negara. Lalu untuk apa kita berhutang?

Selama ini, ada kecenderungan pemerintah untuk menyimpaan anggaran defisit yang tidak terserap pada kantong SAL dan Silpa. Sebenarnya ada banyak sisa anggaran yang setiap tahunnya mengucur dan terus berulang dari tahun ke tahun. Anggaran di pusat masih bersisah sekitar 15 % sedangkan anggaran dari daerah mencapai Rp 60 hingga 70 triliun.

Sepanjang 2005-2010, realisasi defisit anggaran terbesar terjadi pada 2009 dengan besaran mencapai Rp88,6 triliun atau sekira 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan realisasi 2010, defisit anggaran hanya sekira 0,7 persen atau sekira Rp 45,8 triliun. Padahal, dalam asumsi makro APBN-P 2010, defisit anggaran dipatok pada kisaran 2,1 persen.

Anehnya, meski ada sisa anggaran sejumlah itu, pemerintah masih tetap berhutang. Pertanyaannya, untuk apa utang? Sementara masih ada sisa anggaran yang tidak terpakai? Bukankah hal tersebut merupakan bentuk inefisiensi anggaran?

Rendahnya realisasi penyerapan defisit juga, membuktikan bahwa, pemerintah belum matang dalam menyusun rencana pembangunan. Semestinya, rencana anggaran dalam APBN sudah terintegrasi secara baik dengan target realisasinya. Pemerintah selalu berdalih bahwa ada hambatan. Sementara jenis hambatan yang sama terjadi dari tahun ke tahun. Apa artinya itu?

Apakah gembar-gembor pemerintah terkait penghematan anggaran birokrasi berhubungan erat dengan semakin mengecilkan ekspektasi utang pemerintah? Hal ini tentu bisa berdasarkan logika, bahwa bila pemerintah hemat, maka hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat efisiensi dan penurunan potensi utang. Namun apabila penghematan birokrasi dilakukan sementara ekspektasi utang terus meningkat, maka hal tersebut sebagai indikasi bahwa pemerintah gagal dalam pengelolaan utang negara. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar