Sabtu, 01 Oktober 2011

Reportase


Renegoisasi Kontrak Karya
PAN Dorong Renegoisasi Kontrak Karya Pertambangan

Fraksi PAN mendorong pemerintah untuk melakukan renegoisasi terhadap Kontrak Karya (KK) industri pertambangan. Hal  tersebut dieksplorasikan melalui kegiatan yang diselenggarakan pada Kamis, (29/8) di gedung Nusantara V DPR-RI. Ketua Fraksi PAN Tjatur Sapto pada acara tersebut menyampaikan, “Fraksi PAN sudah berencana untuk mendesainkan suatu kegiatan yang meng-endorse suatu pernyataan bersama dengan semua stake holder terkait renegoissai pertambangan yang selama ini merugikan negara dan rakyat Indonesia”. Demikian kata Tjatur.

Saat ini, pemerintah bertekad kuat merenegoisasi KK pertambangan yang selama ini merugikan negara. Pasalnya, meski Indonesia membutuhkan investasi besar untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, namun apabila investasi itu mencedarai rasa keadilan, maka sepatutnya investasi itu dibicarakan kembali (renegoisasi).

Terkait renegoisasi pertambangan dianggap mendesak, karena selama ini beberapa perusahaan asing tidak membayar royalti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Penerimaan negara dari sektor pajak relatif amat kecil bila dibandingkan volume produksi dan harga produksi lintas sektor yang dari waktu ke waktu semakin mahal.

Dr. Kartubi pengamat pertambangan menyatakan, kita menyambut gembira langkah pemerintah terkait renegoisasi KK. Sudah lama sekali pertambangan menyimpang dibiarkan. Penerimaan negara selama ini hanya sekitar 15-20% dari hasil pertambangan. Padahal kekayaan alam kita disedot habis-habisan dengan perolehan keuntungan besar oleh pihak asing.  Bila dibandingkan dengan harga produk tambang lintas sektoral, bedanya antara langit dan bumi. Kita ambil contoh Friport, dalam PP No 45 Tahun 2003 tentang tari penerimaan negara baik pajak atau PNBP,  royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen.

Namun, dari Friport McMorran, pemerintah menerima  royalti hanya sebesar 1% dan hingga saat ini belum berani melakukan renegoisasi. Fakta lain adalah terkait pembelian saham PT Newmont NTB, pemerintah bersikukuh membeli divestasi saham Newmont NTB sebesar 7%, namun, disaat yang sama, dengan saham 7% itu, pemerintah tidak eligible untuk mendapatkan posisi 1 orang komisaris. Pasalnya, untuk menduduki 1 kursi komisaris, membutuhkan kepemilikan sebesar minimal 10% saham. Boro-boro dapat posisi direktur, untuk posisi komisaris saja kita an-eligible.   

Selama ini, pendapatan kita di sektor pertambangan, khususnya minyak bumi semakin membaik, namun, hal tersebut disebabkan oleh produksi minyak anjlok tapi harga minyak bagus. Hal ini menyebabkan penerimaan negara di sektor ini membaik. Penyebab terpojoknya pemerintah dalam beberapa KK juga adalah karena masih menggunakan kontrak kerja produk kolonial. Akhirnya, pemerintah terus dibodohi oleh berbagai KK dengan pertambangan asing.

Logikanya, sebagai pemilik isi perut tanah di Indonesia sesuai semangat UUD 1945 Pasal 33, mestinya pemerintah mendapatkan royalti lebih besar. Namun faktanya, revenue pemerintah di sektor pertambangan sangat kecil dan tidak masuk akal.   

Hal lain yang juga perlu kita kritisi adalah, terkait risiko industri pertambangan. Idealnya daerah yang mengalami risiko pertambangan secara langsung, harus menerima royalti lebih besar. Karena berbagai implikasi ekologis di kawasan pertambangan yang akan merugikan rakyat sekitar.

Demikian juga selama ini, pemerintah tidak memiliki mekanisme atau alat untuk mengontrol mekanisme produksi,  biaya, harga jual dan pemasaran dalam KK. Penyebab penerimaan negara jomplang adalah, akibat sektor tambang umum masih manganut sisitim kontrak kolonial.Akibatnya negara dirugikan dari tahun ke tahun.  

Rekomendasi F-PAN adalah kembalikan sistem pengelolaan pertambangan sesuai konstitusi. Hanya Negara yang boleh menambang. Negara diwakili BUMN (Sesuai UUD 1945 Pasal 33 harus lebih progresif. Tambang tidak hanya dikuasai, tapi juga dimiliki oleh Negara). Karena BUMN sebagai entitas bisnis negara yang diberikan kuasa tambang. Sehingga ownership harus jelas milik negara.

Kontrak harus B to B kemudian posisi negara harus di atas kontrak, bukan negara sebagai yang mengontrak atau B to G, sehingga negara menjadi sejajar dengan kontraktor. Dengan demikian segala perubahan mekanisme pertambangan harus melalui persetujuan negara. Dengan catatan dalam jangka pendek royalti yang diterima negara harus disesuaikan dengan perkembangan harga jual. Karena selama ini, presentasi royalti dikunci mati pada formula harga jual sehingga negara berpotensi rugi.

Kontrak karya bukanlah hal baru, atau suatu hal yang langkah dalam dunia pertambangan. Sebab selama ini apabila terjadi KK, maka selalu ada klausul yang berkaitan dengan renegoisasi. Sehingga langka pemerintah ini  merupakan suatu hal yang sudah semestinya.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat lingkungan hidup Suripto mengatakan, renegoisasi itu kita bicara soal perundingan, kita harus mengetahui kelemahan dari pihak yang mau diajak berunding atau MNC yang mau diajak runding. Posisi pemerintah sejatinya di atas angin dalam renegoissai, karena kita adalah pemilik tambang. Selama ini kita lemah dalam soal low reinforceman. Dikatakannya, dalam klausul UU, belum teraneksasi tindak pidana atau sanksi pidana terhadap MNC yang gagal menjaga kelestarian lingkungan.

Selama ini KK kita belum meng-cover aspek ekologi secara ketat. Akibatnya lingkungan sekitar tambang rusak dimana-mana. Contohnya Friport 2003, Exon 2005, Newmont 2004 dan Minahasa, yang berakibat pada kerusakan lingkungan masif di sekitar kawasan pertambangan, tapi perangkat hukum kita tidak menjangkau itu. Dan lain pihak keberadaan MNC-MNC  itu tidak berimpec pada peningkatan sosial ekonomi di kawasan pertambangan secara wajar. Kasus-kasus seperti OPM, dan saparitisme di tempat lain,  jangan hanya dilihat dari sisi saparatisme saja, tapi juga dilihat dari sisi keteralienasian mereka dengan adanya pencemaran lingkungan yang kian ekspansif oleh MNC. Demikian pula masyarakat sekitar pertambangan yang tidak tersejahterakan oleh eksplorasi tambang.

Di Kalimantan Timur misalnya, ada sekitar 400 hektar kehilangan lahan pangan akibat tambang batu bara. Konsen pemerintah tidak sebaiknya cuma bicara royalti, tapi juga lebih memperhatikan keseimbangan ekologi dan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Bahkan renegoisasi lebih radikal ke nasionalisasi, agar kepentingan negara dan rakyat lebih diutamakan ketimbang kepentingan koorporasi.

Dalam UU sudah mengatur aspek HAM dan lingkungan dalam pertambangan. Namun kebanyakannya low reinforcemant tidak berjalan baik. Dari 67 yang sudah direnegoisasi tapi hanya enam perusahaan besar yang belum setuju untuk melakukan renegoisasi oleh pemerintah. Sejatinya, apabila 6 perusahaan itu menguasai 90 % dari saham pertambangan di Indonesia, maka sebaiknya diumumkan saja ke publik terkait perusahaan yang enggan melakukan renegoisasi..

Diakhir diskusi publik, Kartubi mengatakan “UU Migas yang digunakan pemerintah selama ini adalah hasil dari Kabinet pemerintah sebelumnya di zaman Gusdur, diamana saat itu Menteri ESDM nya SBY. Padahal UU Migas itu pernah diajukan oleh menteri sebelumnya yang juga ditolak oleh DPR karena berpotensi merugikan negara. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar